Genap sudah setahun, aku belajar tentang aksara di fakultas sastra. Sebuah kampus berembel-embel teknologi di jawa timur.
Seorang senior datang menyapa. Memberiku suguhan tentang indahnya hijrah. Sungguh istimewah. Ia memang mahasiswa informatika fakultas teknik, tapi kecakapan bicaranya membuat diriku terbuai begitu saja. Kami berada dalam naungan rohis yang sama yang sering mendiskusi berbagai ayat dengan cara pandang kaku, berbeda dari Abah dan Umi kala membahas di mushala kecil kami.
Lelaki dengan nama Azam itu, bahkan berniat datang meminang. Katanya, tak perlu berlama-lama menggapai surga Allah. Ia berjanji memboyongku pada cinta hakiki, sesuai lembaran baku firmanNya. Aku akan menjadi pengantin yang akan mendiami sebuah negeri bahagia. Tentu, bagaimana bisa aku menolaknya?
“Temanmu itu tidak baik, Nduk? Mana ada bikin kajian kok tertutup begitu?” tutur Umi sambil menuangkan sayur di piringku.
“Coba kamu tanya dia itu lulusan pondok mana? Kok menjelaskan ayat serampangan begitu.” Lanjut Umi yang membuatku tak bisa berkutik.
Umi masih saja terus berbicara, sementara pikiranku terlempar jauh di kampus sana. Di mana sore itu, saat aku duduk di taman berdua dengan Azam.
“Kak Azam dulu mondok dimana? Lancar sekali ketika menerangkan ayat?” tanyaku pada lelaki kalem dengan sejuta pesona itu.
“Apa harus mondok untuk menemukan kebenaran agama?” Aku tercekat mendengar jawabannya. Tetapi rasaku telah mengalahkan logika.
Setiap kata yang meluncur dari Kak Azam laksana sekuntum wangi mawar. Aku semakin terhanyut.
“Nduk, ngelamun opo? Ndang dimaem lontong sayurnya. Keburu nggak enak.” Tepukan Umi menyadarkanku. Entah perasaan apa yang telah mengelayuti hati ini.
Bang Re, begitulah aku biasa memanggil kakak kandungku, datang dengan membawa setumpuk kitab dengan lembaran kuning dari perpustakaan pribadi Abah.
“Kalau sudah selesai makan coba ke sini, Dek! Abang ingin menunjukkan sesuatu padamu,” ucap Bang Re.
“Enjeh, Bang. Ini Kamila sudah selesai.” Kuhampiri Bang Re dan duduk bersimpuh di hadapan tumpukan kitab-kitab tebal.
“Apa si Azam itu berbicara tentang negeri bahagia dengan wujud khilafah, Dek?” Aku hanya mengganguk tanpa bersuara.
Bang Re menggeleng-ngelengkan kepala. Mendengus kesal. Aku masih bergeming.
“Ada yang salah dengan khilafah-kah, Bang?” lirih suaraku sedikit ragu.
“Tak ada yang salah dengan impian bahagia, Dek. Hanya salah menempatkan saja. Tidakkah hidup kita sudah indah dengan segala perbedaan, Dek. Bahkan Gusti Allah dengan jelas mengatakan perbedaan itu rahmat. Kenapa harus kembali pada yang lalu?” Ucap abangku
Aku hanya menunduk mendengar penjelasan Bang Re. Ada yang berkecamuk dalam dada.
Bang Re membuka sebuah kitab Tarikh al-Thabari. “Bacalah, Dek! Tidakkah engkau masih ingat cara membacanya, walau sekarang ilmu yang kau dalami berbeda.” Kitab itu seketika berada persis di pangkuan, saat Bang Re meletakkannya.
Mataku berkaca-kaca. Luruh. Menit berikutnya, air mataku telah mengganak sungai saat membaca pidato indah dan menyentuh cucu kesayangan Rosulullah Saw.
“Lihatlah nasabku! Pandangilah siapa aku ini! Lantas lihatlah siapa diri kalian! Perhatikan apakah halal bagi kalian untuk membunuh dan mencederai kehormatanku? Bukankah aku ini putra dari anak perempuan Nabimu? Bukankah….?”
Aku tergugu. Tak sanggup lagi kuteruskan baris-baris kalimat yang tepat di depan mataku.
Bang Re hanya menepuk bahu dan menguatkanku. Ia bercerita tentang bagaimana perebutan kekuasaan pada zaman khilafah. Bagaimana tanpa ampun, khalifah Yazid bin Mu’awiyyah menurunkan titah membunuh Husein bin Ali bin Abi Thalib.
Air mataku semakin berderai kala Bang Re bercerita tentang kepiluan Ummu Salamah, istri Rosulullah, saat menceritakan tentang kesedihan Nabi saw dalam mimpinya.
“Maafkan Kamila, Bang! Maafkan!” Sesalku dengan isak yang tak lagi bisa kutahan.
***
Umi memberi banyak doa saat aku pamit kembali ke kota Surabaya. Berpesan agar aku lebih bijak saat berhadapan dengan hal-hal yang terkait keagamaan.
Tiga jam berikutnya, aku telah sampai di gedung C. Tempat Kak Azam kuliah. Senyum lelaki itu mengembang saat melihat hadirku.
“Ternyata kau cukup lama berada di kampung, Mil,” sapanya sambil menarikku duduk di bangku taman.
“Maaf, Kak.”
Sejujurnya, diskusiku dengan Bang Re semalam membuatku sedikit gamang dengan pria yang sekarang ada di hadapanku.
“Kakak tidak ada kelas?”
“Ada sebenarnya, Mil. Hanya saja aku sedang ada tugas dari ketua rohis.”
“Apa penting sekali, Kak?”
Lelaki itu hendak menjawab, tapi kemudian ucapnya terhenti saat gawainya berdering. Dia mengambil jarak saat menjawab orang di seberang. Sementara ransel yang tadi di punggung. Ia letakkan di sisi tempat dudukku. Sedikit penasaran kubuka tas itu.
Aku tercenggang. Kutangkupkan tangan ke mulut. Tak lagi bisa mencerna apa yang sedang aku lihat di dalam tas itu. Hatiku remuk redam. Segera kututup kembali resleting. Menahan agar air mata tak segera tumpah.
“Kak, aku harus segera ke kos,” ucapku seketika.
“Mau diantar?”
“Tak perlu, Kak.”
“Jangan lupa nanti malam kita bertemu di masjid komplek dekat Polsek, ya!”
Aku hanya mengganguk, sementara kakiku kupaksa melangkah lebih cepat.
Melihat isi tas itu, mengingatkanku pada akhir hayat dari Sinan bin Anas bin Amr Nakhai, Khawali bin Yazid, dan Shamir bin Dzil Jawsan. Orang-orang yang tanpa ampun mengorok serta menyiksa cucu Nabi saw.
Sungguh aku terluka saat kutahu Kak Azam akan menjadikanku sebagai pengantin. Bukan untuk dirinya, akan tetapi pengantin yang membawa rompi di dada. Pengantin yang didotrin bawa surga adalah balasannya. [AA]