Nama aslinya adalah Khaled Medhat Abou el Fadl, lahir pada tahun 1963 di Kuwait, kemudian menghabiskan masa kecilnya dan tumbuh berkembang hingga remaja di Mesir dan Kuwait. Ayahnya merupakan seorang ahli hukum Islam yang benama Medhat Abou Fadl, yang menjadi pengajar pertamanya untuk menentang segala bentuk penindasan. Setiap pagi Abou Fadl dibangunkan dari tidurnya oleh ibunya dengan lantunan bacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an yang membuat tentram di hati. (Fadl K. A., 2003).
Pada usia kurang lebih dua belas tahun, Abou Fadl mulai mempelajari sekaligus mendalami pemikiran dan tradisi Islam dengan memahami beragam teks-teks Islam terdahulu, ia juga sudah mampu menghafal seluruh ayat Al-Qur’an. Perjalanan hidup Abou Fadl dikelilingi dengan suasana sosial yang tidak menentu, baik karena ancaman dan teror, pergolakan politik perang yang mewarnai kehidupannya sejak masa kecil sampai ia menjelang remaja.
Dalam Islam, Abou Fadl membangun konsep otoritas dengan doktrin kehendak Tuhan dan kedaulatan Tuhan yang sudah tertulis. Pemegang otoritas setelah Tuhan itu adalah Nabi. Ketika Nabi meninggal, beliau mewariskan seperangkat sunnah yang telah dibukukan. Dalam konteks itu sudah terjadi proses pengalihan suara Nabi dan Tuhan terhadap teks-teks yang tertulis di dalam kitab-kitab sunnah dan mushaf Al-Qur’an.
Bagi Abou Fadl, kita harus mempedulikan tiga hal yakni pertama, berhubungan dengan autentisitas (kompetensi). Kedua, berhubungan dengan penetapan makna, dan ketiga, berhubungan dengan perwakilan. Tiga pokok persoalan tersebut menurut Abou Fadl menjadi tiga kunci dalam Islam untuk membedakan diskursus yang otoriter dan otoritatif.
Penafsiran yang tepat merupakan penafsiran yang menghargai otonomi, peranan dan integritas teks, menghormati otonomi teks bermaksud untuk menghindari otoritarianisme dan kooptasi pembaca kepada teks. Oleh karena itu, Abou Fadl mengatakan bahwa teks itu harus terbuka (Fadl K. A., 2004).
Sementara sikap otoriter merupakan upaya pemasungan teks sehingga teks tidak dapat leluasa berinteraksi dan bergerak dengan berbagai makna. Fenomena yang terjadi sampai sekarang ini merupakan wakil umum, mereka melaksanakan hal tersebut karena mereka melihat wakil dari ulama’ atau golongan tertentu mempunyai otoritas. Sehingga kelompok khusus ini menjadi otoritatif karena dilihat mempunyai pemahaman dan kompetensi yang khusus kepada kehendak atau perintah Tuhan.
Kelompok khusus ini disebut dengan wakil khusus, itu dipandang otoritatif tidak karena mereka memangku otoritas, jabatan formal sama sekali bukan relevan, namun karena pendapat wakil umum menyangkut otoritas mereka berhubungan dengan seperangkat petunjuk atau perintah yang menuju kepada jalan Tuhan. Proses penyerahan keputusan untuk memahami dan mengetahui kehendak Tuhan dari wakil umum terhadap wakil khusus pula mempunyai masalah hermeneutis sendiri (Abdullah, 2006).
Seperti diantara keduanya pada proses dialog dan tindak komunikasi. Abou Fadl menyatakan lima batasan buat menerima otoritas wakil khusus tersebut, seseorang dapat disebut otoritatif, selama lima hal ini terpenuhi. Kelima batasan itu yaitu; Pertama, kejujuran. Pada umunya masyarakat percaya terhadap kelompok wakil khusus ini bahwa mereka bisa dipercaya dan akan jujur dalam memahami perintah Tuhan.
Kedua, kalangan wakil khusus harus sepenuhnya mempunyai kesungguhan, dalam menyelami suatu persoalan ia diharuskan untuk sepenuhnya dalam mencurahkan kemampuannya. Ketiga, prinsip keseluruhan, kalangan wakil khusus tersebut dituntut memilah semua bukti dan argument.
Keempat, merupakan para wakil khusus tersebut harus secara rasional melaksanakan pencarian dan penafsiran perintah dari Tuhan. Kelima, semua wakil khusus harus dapat mengendalikan diri sendiri, ia tidaklah orang yang mengetahui semuanya, bahwa yang mengetahui hakikat dari segalanya hanya Tuhan semata.
Bagi Abou Fadl, sikap otoriter itu sendiri bisa terjadi ketika seorang manusia, baik berasal dari kalangan umat muslim pada umumnya atau wakil khusus, menyumbat kemungkinan adanya penafsiran orang lain, dan mengunci satu teks terhadap satu pemaknaan tunggal. Sesungguhnya sikap itu menampilkan bahwa dengan seolah-olah menetapkan satu pemaknaan terhadap satu teks, hanya dialah yang mengetahui hakikat makna yang sebenarnya. Seseorang tersebut seolah-olah mengetahui kehendak Tuhan dan menganggap penafsirannya menjadi absolut dan mutlak.
Otoritaritarianisme adalah istilah yang mengacu terhadap sebuah tindakan otoriter yakni bertindak dengan sewenang-wenang. Abou Fadl memberi penjelasan bahwa otoritarianisme adalah pengambilalihan Tuhan oleh wakil Tuhan dan pengabaian kepada realitas ontologis Tuhan, sehingga secara efektif wakil tersebut kemudian mengaju terhadap dirinya sendiri.
Tindakan tersebut berimplikasi terhadap ditolaknya integritas petunjuk teks dengan menutup kemungkinan untuk berbagai petunjuk tersebut untuk menyingkapkan dirinya sendiri, serta menghalau evolusi dan perkembangan makna komunitas interpretasi.
Bagi Abou Fadl tindakan tersebut sudah mewabah kepada masyarakat Islam kontemporer, yang mana berbagai ahli hukum sudah melaksanakan penafsiran yang otoriter kepada tradisi kenabian dan teks-teks Al-Qur’an. Dalam pengamatan Abou Fadl, kondisi ini sudah terjadi sejak tahun 1975, menurutnya berbagai tokoh agama bukan lagi berbicara mengenai Tuhan, namun mereka berbicara atas nama Tuhan. (mmsm)