Zacky Umam Wakil Kepala Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities Universitas Indonesia

Ketika Muslim Turki Melihat Islam di Indonesia

2 min read

Saya menginap beberapa hari di villa Bang Tayip, bukan nama sebenarnya, seorang warga Turki yang menikahi perempuan Bali dan sudah menetap di Indonesia 13 tahun. Setelah ngobrol sana-sini, saya iseng tanya, “Istri anda tetap Hindu atau jadi muslimah?” Tayip menjawab, “Dia sudah syahadat waktu menikah tapi sebatas KTP saja, belum banyak belajar!”

Lantas saya tanya balik, “Mengapa tak memanggil ustad-ustad untuk mengajarinya?” Saya kaget dengan jawabannya. Begini katanya, “Saya gak percaya ustad sini, mereka tak mengajarkan Islam asli. Saya sudah minta seorang profesor Turki di Jakarta untuk mengajarinya. Si profesor ini memberi buku terjemahan Quran dan penuntun lainnya. Tapi istri saya gak baca juga.”

Saya pikir dia memang angkuh tanpa sebab akan kehebatan Islam dari negerinya sendiri. Lalu saya tanya, “Mengapa anda berpikir ustad Indonesia gak mumpuni?” Lalu dia bercerita panjang lebar. Singkatnya: saat Jumatan di sebuah masjid tak jauh dari Ubud, seorang pengurus takmir mesjid merapikan barisan salat jamaah dengan tendangan kaki, hingga seorang anak kecil terlepar mengenai knalpot motor hingga kulitnya melepuh bahkan berdarah.

Lalu Tayip marah dan debat emosional dengan si takmir itu. Seluruh pengurus takmir bersatu. Tayip sendirian dan bilang “Silakan kalau mau mengeroyok saya, saya tidak takut!” Tayip mengutip ungkapan Nabi dan Umar bin Khattab tentang agama yang disiplin tapi santun. Sekadar catatan kecil: muslim Turki, mesti tak kelihatan saleh secara kasatmata, banyak yang mengelu-elukan sebuah Islam yang disiplin, rapi, tapi rahmat.

Tayip membela sebuah Islam versinya. Pengurus takmir merasa apa yang mereka perbuat benar. Mungkin mereka menganggap ungkapan dan sikap “warga asing” ini sebagai intervensi atas tradisi kelokalan. Ada benarnya. Seorang sopir GoCar saat saya ke bandara bilang: memang ketimbang warga Bali lainnya, di Ubud banyak orang egonya tinggi-tinggi. Mereka seperti menunjukkan sikap “insular” tertutup pada yang lain/liyan, apalagi liyannya bukan-Indonesia.

Baca Juga  Pengeras Suara dan Noise Pollution

Memahami hal ini saya jadi bersimpati pada Tayip. Tayip benar, tapi dia sepertinya belum memahami karakteristik orang Indonesia umumnya untuk memberi nasihat tapi tanpa marah atau menggurui—ini lebih baik. Sayangnya, atas insiden ini, Tayip melakukan generalisasi pars pro toto atas muslim Indonesia. Di atas kepala Tayip, Islam-nya Turki lah yang paling benar. Muslim Bali dalam kasus ini juga beranggapan demikian.

Padahal jika mau belajar lebih, Tayip bisa menemukan titik temu tradisi Islam Nusantara dan Islam Rumi-Anatolia (Rumi adalah ungkapan diri orang-orang Usmani dulu sebagai orang Rum, atau Romawi Timur, penerus Bizantium meskipun mereka menaklukannya; bdk. dengan Muslim Demak atau Mataram sebagai penerus Majapahit!). Ini menarik jika dikaitkan dengan apa yang dibahas Mas Ulil dalam catatannya pagi tadi.

Saya tidak mengetahui banyak subjek muslim Bali di sini seperti apa. Kata Tayip, mazhab mereka Syafii. Saya pikir sebelumnya ada mazhab lain di masjid itu. Dalam level lokal, saya kira kedua aktor di sini, sama-sama bukan ulama, hanya muslim biasa (tentu penting juga sebagai subjek) yang menerima, mengamalkan, dan berpikir sesuai dengan tradisi yang sudah membentuk mereka masing-masing.

Yang ada akhirnya prasangka masing-masing. Walaupun, dalam ruang perseteruan itu, sikap Tayip benar tapi tidak ditempuh dengan cara makruf. Api ketemu api. Tayip akhirnya menggeneralisasi: tak percaya ustad ‘gadungan’ seluruh Indonesia. Jika orang emosi, maka simaklah dengarkan saja. Karena itu, saya tidak langsung menasihatinya, saya bukan pula seorang yang ingin dan pintar menasihati orang lain. Mungkin seiring waktu sembari berkomunikasi.

Saya sebelumnya membayangkan, istri Tayip ini tetap Hindu. Tapi pernikahan antaragama di negeri ini belum menemui hukum negara dan sosial yang memberi payung. Di sisi lain, tampaknya mustahil seorang muslim Turki menikahi seseorang berbeda agama—melihat sejarah panjang ke belakang, kecuali kalau murni penganut‘laiklik’ (dari bahasa Prancis: laique plus -lik supaya jadi nomina) atau sekularisme.

Baca Juga  Ilmu Laduni dan Ilmu Hikmah, Sama Atau Beda?

Tapi Tayip bukan sekuler. Saat tragedi Syekh Jarrah dan Ghaza kemarin, keislaman Turkinya bangkit. “Demi Allah, saya sudah daftar jika dibutuhkan sebagai sukarelawan resmi dari Turki untuk pergi ke Palestina, akhirnya gencatan senjata, saya pun mengurungkan diri,” tegas Tayip berapi-api. “Masa iya kita berdiam diri, minimal kita emosional melihat kezaliman terjadi,” lanjutnya.

Untuk standar Indonesia, sikap seperti Tayip ini ‘normalnya’ berpakaian religius. Tapi ia tidak. Suka bercelana pendek, ngegym, dan tampilan kasual. Itu biasa di Turki. Barangkali, tampilan luar Tayip ini dipandang para takmir masjid sebagai tidak saleh. Jadi kesalehan di sini, dalam bahasa akademiknya, “contested.” (MMSM)

Sekian.

Zacky Umam Wakil Kepala Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities Universitas Indonesia