Rekayasa Genentika Dalam Islam

2 min read

Seiring dengan perkembangan zaman dan perkembangan teknologi pastinya juga diikuti dengan perkembangan dari pola pikir masyarakatnya. Sehingga, salah satu efek yang ditimbulkan dari perkembangan tersebut memanjakan masyarakat untuk kemudahan-kemudahan teknologi dari segala aspek kehidupan. Bahkan, efek itu juga  berpengaruh dengan semakin majunya teknologi semakin terbukanya pemikiran masyarakat dalam dunia saat ini, apalagi kalau  berkaitan dengan ilmu pengetahuan pasti akan banyak  menghasilkan temuan-temuan baru.

Salah satu temuan baru yang telah digunakan manusia untuk membantu memenuhi kebutuhan dan keinginannya adalah merekayasa genetika. Tujuannya untuk menciptakan suatu jenis baru yang lebih sesuai dengan selera manusia. Penerapan teknik-teknik biologi molekuler untuk mengubah susunan genetik dalam kromosom hewan atau tumbuhan telah berhasil sehingga bisa mengubah sistem ekspresi genetiknya.

Hasil-hasil dari rekayasa genetika seperti tomat yang bewarna ungu namanya buah grapple  yaitu hasil perpaduan apel dan anggur, buah cucamelon merupakan buah hasil rekayasa yang mengombinasikan tiga jenis buah, yakni semangka, mentimun, dan jeruk nipis. Dan masih banyak contoh lagi tentang rekayasa genetika telah diterapkan di berbagai unsur seperti bioteknologi untuk keperluan pertanian, dan yang terbaru adalah cloning pada hewan dan manusia. Saat ini sudah ratusan produk rekayasa genetika yang tersebar di seluruh dunia. Bagaimanakah pandangan Islam dalam hal ini?

Pada tahun 2013, majelis ulama’ Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang membahas tentang kasus rekayasa genetika. Hasilnya  gen atau DNA (deoxyribose nucleac acid) adalah substansi yang penting dalam membawa sifat menurun dari sel ke sel dan generasi ke generasi. Gen atau DNA itu terletak dalam kromosom yang memiliki sifat antara lain sebagai materi tersendiri yang mengandung informasi genetika. Hasil rekayasa genetika ini dapat menentukan sifat-sifat dari suatu individu dan dapat menduplikasi  diri pada peristiwa pembelahan sel.

Baca Juga  Memahami Relasi Etika dan Agama dalam Kehidupan Sosial

Menurut Fatwa yang dikeluarkan oleh MUI, melakukan rekayasa genetika dengan mengubah dan merekayasa sel kromosom terhadap tumbuhan, hewan dan mikroba hukumnya adalah mubah (boleh). Hal ini boleh dilakukan dengan memperhatikan beberapa persyaratan yang diberikan oleh MUI. Aspek penting yang harus diperhatikan adalah tujuan daripada rekayasa genetika tersebut yaitu agar memberikan manfaat dan kebaikan bagi kemaslahatan serta tidak menimbulkan mudharat dan bertentangan dengan kaidah agama. Lantas bagaimana dengan melakukan rekayasa genetika terhadap manusia?

Akhir-akhir ini banyak para ilmuwan yang sudah melakukan penelitian dengan merekayasa genetika terhadap manusia, seperti melakukan cloning terhadap manusia dan bayi tabung (inseminasi).Pengkloningan pertama dilakukan terhadap hewan, namun tidak dipungkiri pula dilakukan terhadap manusia. Dalam Islam cloning masih jadi perdebatan, sama seperti rekayasa genetika lainnya, jika tujuannya mendapatkan manfaat demi kemaslahatan dan tidak bertentangan dengan hukum islam maka hukumnya boleh. Para ulama’ mengkaji tentang cloning dimulai dari Q.S Al-Hajj ayat 5, yaitu:

“Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki”

Dalam kutipan ayat di atas salah satu tokoh cendekia Muslim yaitu Abul Fadl Mohsin Ebrahim berpendapat, bahwa ayat tersebut menampakkan paradigma al-Qur’an tentang penciptaan manusia mencegah tindakan-tindakan yang mengarah pada kloning. Dari awal kehidupan hingga saat kematian, semuanya adalah tindakan Tuhan. Segala bentuk peniruan atas tindakan-Nya dianggap sebagai perbuatan yang melampaui batas.

Selain ayat di atas ada juga Q.S Ali Imran ayat 59 yang menjadi landasan untuk permasalahan cloning, yaitu:

“Sesungguhnya misal (penciptaan) `Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: “Jadilah” (seorang manusia), maka jadilah dia”

Dalam ajaran Islam mengajarkan bahwa proses untuk mendapatkan keturunan dapat dihasilkan dengan jalan perkawinan yang sah sesuai agama, hal ini karena dalam perkawinan terjadinya pertemuan antara dua sel yang nantinya akan memberikan identitas terhadap anak, jika dalam cloning sendiri hanya menggunakan sel tunggal dan memiliki satu DNA tunggal jadi juga dapat mengganggu persoalan waris dalam keluarga.

Baca Juga  Melampaui Layar Ponsel Pintar: Menyelami Moralitas dan Kemanusiaan di Media Sosial

Namun dalam ajaran Islam manusia juga diajarkan untuk tidak boleh mengingkari dan harus terbuka terhadap kemajuan ilmu pengetahuan. Dalam kasus cloning sendiri jika dikaji dari dua ayat diatas dan juga keterbukaan memahaminya dengan akal maka kita dapat melihat bahwa cloning juga termasuk dalam kehendak (takdir) Allah yang dikuasai manusia. Selama zat yang direkayasa  atau digunakan (sel somatis dan sel telur yang belum dibuahi) masih turun dari Allah maka itu tidak menyalahi agama.

Sama halnya seperti bayi tabung, dalam tujuannya tindakan ini bisa disebut juga dengan ikhtiar bagi pasangan yang belum mampu memiliki keturunan dan hukumnya menjadi mubah. Namun, sesuai dengan Fatwa MUI, bayi tabung yang berasal dari sel pasangan suami istri yang sah namun dititipkan kedalam rahim wanita lain maka hukumnya jadi haram.

Selain hal diatas, melakukan bayi tabung karena ikhtiar, hal ini juga harus dilakukan atas persetujuan suami istri dan juga tidak boleh dilakukan karena keinginan, misalnya karena menginginkan jenis kelamin anak dan sebagainya.

Jadi sudah jelas mengenai rekayasa genetika dalam pandangan Islam mengenai hal tersebut. Yang terpenting adalah sebagai umat Islam harus memahaminya sebagai kemajuan ilmu dengan akal dan pemikiran terbuka dan tidak pula mengurangi keimanan yang mungkin akan memunculkan berbagai hal-hal positif dan negatif yang dapat ditimbulkan.