Anis Hidayatie Penulis; Guru SMP Islam 1 Pujon, Malang

Hingga Ujung Nyawa (3): Menanti Sebuah Usaha Bertaruh Nyawa

1 min read

Perjuangan suamiku telah melewati jalan berliku sebelum sampai ke HCU. Dari sakit vertigo dan mata, yang mengharuskannya kontro berobat setiap 3 hari sekali ke Rumah Sakit Umum Daerah Saiful Anwar Malang hingga diagnose sakit lambung yang mengantarku berbulan-bulan tak tidur di kasur rumah.

Namun, ternyata hasil akhirnya menyatakan bukan penyakit lambung, atau batu empedu, atau saraf seperti yang diduga beberapa dokter. Ternyata, sesudah CT scan terakhir di UGD, hasilnya menunjukkan ada tumor di otak suamiku.

Ringan, kata dokter yang menangani. Dibanding dengan kasus tumor otak serupa yang dialami orang lain, penyakit suamiku ini tergolong ringan. Kemungkinan sembuh cukup besar hanya dengan operasi kecil pembukaan sumbatan.

Alasan itulah yang membuatku setuju, kala operasi pembukaan saluran otak dilakukan. Kasus hydrocephalus katanya. Suatu kondisi penumpukan cairan di dalam otak yang mengakibatkan meningkatnya tekanan pada otak. Secara sederhana, dokter mengatakan bahwa adanya cairan di otak. Cairan serebrospinal biasanya mengalir melalui ventrikel dan menggenangi otak dan tulang belakang.

Aku setuju saja dengan berlembar kertas yang harus ditandatangani. Urgent, harus segera dioperasi. Tak bisa ditunda lagi supaya sumbatan cairan segera dapat dibuka. Cuma butuh lubang kecil, kata dokter. Ku iyakan, dengan tangis berurai berderai.

“Sabar ya bu, kami upayakan yang terbaik untuk suami ibu,” dokter berhijab menyodorkan kertas  menguatkan perasaanku.

Ku tatap tubuhnya. Bisa bergerak tapi tak bisa berkomunikasi. Diam seribu bahasa ketika diajak bicara. Ini yang membuat dokter saraf merekomendasikan operasi.

Aku diminta segera melepas semua pakaian yang dikenakan oleh suamiku. Tak terkecuali. Kaos berkerah  lengan pendek yang cukup sulit dilepas. Ada selang infus menghalangi.

“Digunting ya bu?”

Baca Juga  Jika Ada yang Mudah Kenapa Memilih yang Sulit, Begitu Kata Syekh Yusuf al-Qaradhawi

Anggukanku, membuat dua perawat yang menangani sigap mengambil gunting. Memotong di bagian lengan hingga dada. Mengganti dengan pakaian operasi.

Aku pasrah sudah. Instruksi apapun kulakukan termasuk harus menunggu di luar. Untuk nanti segera dipanggil menunggu di luar ruang operasi.

“Tak temani mbak, ruang operasinya di belakang, sepi.” Tawar Ani, sepupunya yang datang menjenguk.

“Iya, boleh,” aku suka ada yang menemani. Dingin malam butuh teman mengusir gigil sendiri.

Ada emak mertua sebetulnya, juga si sulung.

Tapi mereka tidak diperkenankan bisa masuk karena aturan pembatasan jumlah pengunjung. Disamping itu emak sudah terlalu sepuh juga. Kasihan kalau harus ke ruang tunggu yang sangat dingin ini.

Masuk ruang operasi pukul 7 malam dan selesai pukul 12. Sukses, hanya aku yang boleh ikut mengantar ke ruang ICU. Banyak kabel di tubuhnya, juga selang-selang. Oksigen menutup hidung dan mulutnya. Pun demikian, dia juga menggunakan penutup kepala dan baju operasi.

Ku selesaikan administrasi. Hanya diizinkan melihat sekian menit, sesudah itu aku harus pergi. Menanti kabar lagi di ruang tunggu UGD, berbaur dengan penunggu lain.

Pemulihan pasca operasi di ICU bikin detak jantung berdegup pula. Menanti panggilan seperti rindu tak berujung. Masih dua kemungkinan. Pindah ruang, melanjutkan perawatan ke tempat lain, HCU. Atau dipanggil untuk bisa pulang. Bertutup jarit  kematian.

Anis Hidayatie Penulis; Guru SMP Islam 1 Pujon, Malang