
Kartini (1879-1904), yang sering dipuji sebagai pelopor emansipasi perempuan di Indonesia, hidup di persimpangan dua dunia: aristokrasi Jawa tradisional dan cita-cita liberal modern dari dunia kolonial Belanda. Surat-suratnya, khususnya yang disusun dalam Door Duisternis tot Licht (terkenal dengan terjemahan: Habis Gelap Terbitlah Terang), merupakan permadani yang kaya akan kerinduan, kritik, kekaguman, dan perlawanan.
Surat-surat tersebut menunjukkan jendela unik tentang bagaimana seorang perempuan muda Jawa, yang sangat melekat dengan tradisinya, memandang Barat, bukan sebagai pengagum yang tidak kritis, tetapi sebagai teman bicara yang reflektif di mana ia mengharapkan transformasi sosial baik dalam masyarakatnya sendiri maupun dalam struktur kekuasaan kolonial yang lebih luas.
Tulisan-tulisan Kartini sering dibaca melalui lensa feminisme Barat, tetapi pembacaan seperti itu berisiko mengempiskan kompleksitas pemikirannya. Tak dapat dielak, ia mengagumi peran perempuan di ruang publik di masyarakat Barat, terutama gerakan yang berkembang untuk pendidikan perempuan dan partisipasi publik yang mulai berkembang di Eropa pada akhir abad kesembilan belas.
Namun demikian, kekaguman Kartini tidaklah pernah membabi buta. Sebaliknya, kekagumannya diseimbangkan dengan kesadaran Kartini yang mendalam akan kontradiksi kolonialisme Barat dan penderitaan yang ditimbulkannya pada rakyat Hindia Belanda.
Ketertarikan Kartini pada Barat sebagian besar berasal dari pendidikan yang diterimanya dan korespondensi yang ia jalin dengan perempuan Belanda. Dalam surat-surat mereka, Kartini menemukan gagasan tentang kesetaraan, keadilan, dan kemajuan. Bagi Kartini, cita-cita ini menyegarkan, dengan kata lain, membuka imajinasinya terhadap kemungkinan-kemungkinan di luar struktur kaku patriarki feodal Jawa.
Kartini pernah menulis, “Saya ingin bebas, agar saya dapat membebaskan orang lain.” Pernyataan ini tidak hanya mencerminkan kerinduan pribadinya, melainkan juga keyakinannya pada kekuatan transformatif pendidikan dan pemberdayaan, terutama bagi perempuan.
Namun, Kartini bukanlah perempuan yang sekadar kagum atas cita-cita Barat. Ia menyadari bahwa Barat yang ditemuinya dalam buku dan surat tidaklah sama dengan rezim kolonial yang memerintah negerinya.
Bahkan, ia sering menyampaikan kritik tajam terhadap cara pemerintah Belanda mengelola Hindia Belanda. Dalam salah satu suratnya yang paling mencolok, ia bertanya mengapa Belanda, yang membanggakan nilai-nilai liberalnya, menoleransi dan melestarikan sistem kolonial yang menindas. Ia melihat pemerintah kolonial Belanda sebagai orang yang munafik, merayakan kebebasan di dalam negerinya sendiri sementara menolaknya di daerah jajahan.
Dualitas kekaguman dan kritisisme ini menandai posisi Kartini sebagai seorang intelektual yang kompleks. Ia menganggap cita-cita Barat sebagai cermin bagi kekuatan kolonial itu sendiri, menyingkapkan kesenjangan moral antara citra yang ingin diproyeksikan oleh Belanda dan kenyataan di lapangan.
Refleksi Kartini terhadap masyarakatnya sendiri tidak kalah tajam. Sebagai seorang perempuan yang lahir dari kelas priyayi (bangsawan), ia memiliki akses terhadap pendidikan dan privilese tertentu, tetapi ia juga menjadi korban dari batasan sosial yang kaku.
Kartini membenci budaya pingitan terhadap perempuan, kurangnya akses ke pendidikan formal, dan harapan untuk menikah dini. Ia melihat praktik-praktik ini bukan sebagai sesuatu yang melekat pada budaya Jawa, tetapi sebagai hasil dari tradisi yang stagnan dan terkikisnya nilai-nilai yang dapat mendukung masyarakat yang lebih egaliter.
Pada saat yang sama, Kartini tidak menolak warisannya. Ia bangga menjadi orang Jawa dan melihat kebangkitan budaya sebagai inti dari kebangkitan nasional. Yang ia harapkan adalah reformasi dari dalam, suatu pembaruan yang dapat diambil dari kedalaman etika budaya Jawa sambil mengintegrasikan aspek-aspek pembebasan dari pemikiran modern. Ia membayangkan masa depan di mana perempuan Jawa, yang terdidik dan berdaya, dapat berkontribusi bagi masyarakat sebagai intelektual, seniman, dan pemimpin.
Dalam visinya, pendidikan adalah jembatan antara yang lama dan yang baru. Ia bermimpi mendirikan sekolah untuk anak perempuan (dan akhirnya terwujud pada tahun 1903), tidak hanya untuk mengajarkan mereka literasi, tetapi juga untuk menumbuhkan pemikiran kritis, penilaian etis, dan tanggung jawab sosial. Dalam pengertian ini, Kartini tidak hanya mengadvokasi kebebasan individu, tetapi juga untuk kemajuan komunal. Ia membayangkan masyarakat diubah oleh pendidikan yang disediakan untuk para perempuan.
Meskipun Kartini meninggal sebelum munculnya nasionalisme terorganisasi di Indonesia, pemikirannya beresonansi dengan kesadaran proto-nasionalis. Kritiknya terhadap pemerintahan kolonial, seruannya untuk pembaruan budaya, dan keyakinannya pada pendidikan sebagai alat untuk emansipasi, kesemuanyanya itu mengarah pada visi penentuan nasib sendiri.
Memang Kartini belum berbicara dengan istilah atau bahasa negara-bangsa (nation-state), tetapi amat jelas bahwa ia sebetulnya tengah menabur benih kesadaran nasional yang didasarkan pada martabat, keadilan, dan identitas budaya.
Yang menarik, visi Kartini tentang pembebasan bersifat inklusif. Ia tidak hanya peduli dengan emansipasi perempuan belaka, tetapi dengan persoalan yang lebih luas tentang keadilan, kemiskinan, dan ketidaksetaraan sosial. Dengan demikian, pemikiran tampak melampaui batas-batas feminisme elite dan justru menyentuh pada kalibrasi ulang masyarakat dengan lebih radikal.
Pandangan Kartini terhadap dunia Barat dan Hindia Belanda dibentuk oleh imajinasi dialogis. Ia menggumuli persoalan keduanya secara kritis, memanfaatkan yang terbaik dari masing-masing untuk membayangkan masa depan yang bebas, setara, dan bermartabat.
Warisan krusial Kartini tidak terletak pada dikotomi Timur-Barat yang sederhana, tetapi pada kemampuannya untuk menahan kontradiksi, bermimpi dalam keterbatasan, dan menulis dengan kejelasan moral tentang kemungkinan-kemungkinan kemajuan manusia. Di dunia yang masih berjuang dengan warisan kolonialisme dan tantangan hibriditas budaya, suara Kartini tetap sangat relevan: suara harapan, akal sehat, dan pemberontakan yang tak nampak. Selamat Hari Kartini!
Mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada—tinggal di anggaarifka.com