Islam Hijau: Apakah Menanam Pohon Sama dengan Ibadah?

Kredit: Agus, infopublik.id

Dalam beberapa tahun terakhir, gagasan “Islam hijau” telah mendapatkan momentum di seluruh dunia muslim. Dari pesantren ramah lingkungan di Indonesia hingga masjid-masjid berkelanjutan di Timur Tengah, umat Islam semakin membingkai kepedulian lingkungan sebagai sebuah tindakan keimanan.

Ayat-ayat Al-Qur’an tentang tanggung jawab manusia atas pengelolaan (khilafah), hadis-hadis kenabian yang mendorong penanaman pohon, dan seruan moral untuk melindungi ciptaan telah dipahami ulang sebagai akar teologis etika lingkungan.

Namun, di tengah antusiasme ini terdapat pertanyaan kritis: Apakah menanam pohon benar-benar sebuah ibadah atau sekadar interpretasi ulang modern yang dibentuk oleh wacana lingkungan dan politik hijau global?

Al-Qur’an memang memberikan landasan moral yang kuat bagi kesadaran lingkungan. Manusia digambarkan sebagai khalifah fi al-ard (QS. al-Baqarah [2]: 30), yang bertanggung jawab untuk menjaga keseimbangan (mizan).

Nabi Muhammad dikabarkan bersabda, “Tiada seorang muslim yang menanam pohon, lalu buahnya dimakan oleh seseorang, hewan ternak, atau burung, kecuali itu akan bernilai sedekah sampai hari kiamat.”

Ajaran-ajaran tersebut tampak menempatkan tindakan ekologis dalam ranah kewajiban moral dan spiritual. Namun, transformasi prinsip-prinsip ini menjadi gerakan lingkungan modern menimbulkan pertanyaan teologis dan politis yang kompleks. Apakah ini merupakan kelanjutan alami dari etika Islam, ataukah mencerminkan akomodasi Islam terhadap wacana sekuler tentang keberlanjutan?

“Islam hijau” dapat dipahami sebagai kebangkitan sekaligus artikulasi ulang. Di satu sisi, ia menghidupkan kembali dimensi kosmologi Islam yang terlupakan, rasa keterkaitan yang mendalam antara manusia, alam, dan Tuhan.

Di sisi lain, ia mengartikulasikan ulang nilai-nilai ini dalam bahasa lingkungan global, selaras dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB, target pengurangan karbon, dan kampanye keadilan iklim. Dalam artikulasi ulang ini, yang sakral sering kali diterjemahkan ke dalam yang sekuler, dan ibadah dibingkai dalam konteks kewarganegaraan etis atau tanggung jawab ekologis.

Hal ini meningkatkan ketegangan antara ibadah sebagai orientasi transenden kepada Tuhan dan aksi lingkungan sebagai respons duniawi, yang sering kali pragmatis, terhadap krisis ekologis.

Dalam teologi Islam tradisional, ibadah melibatkan niat. Menanam pohon bisa menjadi ibadah hanya jika dilakukan dengan niat beribadah pada Tuhan, bukan sekadar untuk mengurangi perubahan iklim atau meningkatkan citra publik seseorang.

Namun, dalam wacana “hijau” kontemporer, niat-niat ini mudah kabur. Kampanye seperti “Satu Muslim, Satu Pohon” atau “Eko-Jihad” sering kali mengandalkan bahasa aktivisme dan visibilitas, alih-alih kontemplasi atau pengabdian. Makna sakral dari aksi berisiko diencerkan menjadi kesalehan performatif, semacam pencitraan iman ekologis.

Lebih lanjut, perubahan lingkungan dalam Islam tidak dapat dipisahkan dari dinamika kekuatan global. Gagasan “Islam hijau” muncul pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 bersamaan dengan kebangkitan global “environmentalisme religius”, sebuah gerakan yang sebagian didanai dan dibentuk oleh LSM Barat, lembaga pembangunan, dan lembaga transnasional.

Konteks ini memunculkan kekhawatiran dekolonial: Sejauh mana “Islam hijau” merupakan ekspresi otonom dari etika Islam, dan sejauh mana ia merupakan respons terhadap ekonomi moral global yang berkelanjutan?

Ketika organisasi-organisasi muslim menerima dana untuk “menghijaukan” lembaga mereka, mereka berpartisipasi dalam wacana global di mana kebajikan ekologis menjadi penanda modernitas moral.

Islam, yang dulu dipandang oleh narasi orientalis sebagai fatalistik atau pramodern, kini dicap ulang sebagai progresif yang ramah lingkungan. Namun, dalam proses ini, Islam berisiko didisiplinkan ke dalam kerangka epistemik modernitas global.

Bagaimanapun, mereduksi Islam hijau menjadi sekadar “greenwashing” juga sama simplistiknya. Banyak gerakan akar rumput—seperti pesantren ramah lingkungan di Indonesia atau masjid hijau di Turki—menafsirkan ulang spiritualitas Islam melalui praktik lingkungan nyata yang membentuk kembali kehidupan sehari-hari.

Visi mereka tentang kepedulian lingkungan tidak hanya teknis atau instrumental, tetapi berakar pada rasa sakral yang nyata. Ketika para santri belajar pengomposan sebagai bagian dari dakwah, atau ketika khotbah Jumat membahas etika konsumsi, agama menjadi terwujud dalam praktik ekologis.

Dalam konteks demikian, penanaman pohon dapat menjadi ibadah, bukan karena bermanfaat secara ekologis, melainkan karena memulihkan rasa keterhubungan antara manusia, ciptaan, dan Sang Pencipta.

Secara filosofis, gerakan ini mengajak kita untuk mempertimbangkan kembali batasan-batasan ibadah. Jika salat dan puasa merupakan ibadah yang mendisiplinkan diri, maka kepedulian ekologis dapat dipandang sebagai ibadah yang mendisiplinkan dominasi ego atas alam.

Kedua tindakan tersebut mengalihkan hasrat dari kepemilikan menuju kerendahan hati. Menanam pohon, dengan demikian, menjadi simbolis: sebuah upaya kembali kepada prinsip Al-Qur’an bahwa hidup itu sendiri adalah amanah suci.

Kendati begitu, tantangannya tetaplah untuk mempertahankan kedalaman teologis dari tindakan ini di tengah logika aktivisme dan visibilitas yang menggoda. Ketika kesalehan ekologis menjadi sebuah pertunjukan sosial—beredar melalui tagar, sertifikat, dan siaran pers—ia berisiko terlepas dari inti spiritualnya.

Pada akhirnya, pertanyaan “Apakah menanam pohon sama dengan ibadah?” tidak sekadar mengundang jawaban ya atau tidak, melainkan sebuah refleksi tentang apa arti ibadah itu sendiri di zaman modern.

Ibadah, dalam arti terdalamnya, tidak terbatas pada ritual, tetapi meluas ke semua tindakan yang berakar pada mengingat, hadir, dan keselarasan dengan kehendak ilahi. Jika penanaman pohon muncul dari kesadaran ini, ia melampaui sekadar lingkungan hidup; ia menjadi bentuk doa hening yang merasuk ke dalam tanah.

Namun, jika dilakukan hanya untuk tampak saleh, berkelanjutan, atau modern, ia malah merupakan tindakan penegasan diri, alih-alih penyerahan diri. Oleh karena itu, Islam hijau berada di persimpangan antara pengabdian dan wacana, antara pembaruan spiritual dan politik global.

Tantangannya bukan hanya menanam pohon, tetapi menanam kembali akar metafisik diri di dalam taman kepercayaan ilahi. Hanya dengan demikian, aksi lingkungan dapat menemukan kembali resonansi sakralnya, di mana setiap helai daun, seperti kata Rumi, menjadi lembaran wahyu.

1

Mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada—tinggal di anggaarifka.blogspot.com

Post Lainnya

Arrahim.id merupakan portal keislaman yang dihadirkan untuk mendiseminasikan ide, gagasan dan informasi keislaman untuk menyemai moderasi berislam dan beragama.