Angga Arifka Mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada—tinggal di anggaarifka.com

Meninjau Kembali Antroposen: Mempertimbangkan “Capitalocene” dalam Krisis Ekologis

2 min read

Antroposen, istilah yang diusulkan untuk mendefinisikan zaman geologi saat ini, menggarisbawahi dampak luas aktivitas manusia pada kerja Bumi. Namun, beberapa pemikir berpendapat bahwa pandangan ini mengabaikan kekuatan struktural dan ekonomi yang mendorong degradasi lingkungan.

Sebaliknya, istilah Capitalocene (Kapitalosen) telah muncul sebagai alternatif penting, yang menekankan peran kapitalisme sebagai faktor utama kerusakan ekologi. Kita akan melihat bahwa sementara Antroposen menyoroti dampak kolektif manusia terhadap planet ini, Kapitalosen memberikan kritik yang lebih tepat dengan mengidentifikasi peran kapitalisme dalam krisis tersebut. Memahami perbedaan ini sangat penting dalam mengembangkan solusi efektif yang melampaui tanggung jawab individu dan mengatasi eksploitasi sistemik.

Antroposen dan Keterbatasannya

Konsep Antroposen menunjukkan bahwa aktivitas manusia secara keseluruhan telah mengubah iklim dan ekosistem Bumi. Industrialisasi, deforestasi atau penggundulan hutan, dan konsumerisme telah menyebabkan pemanasan global, hilangnya biodiversitas atau keanekaragaman hayati, dan polusi. Kerangka kerja Antroposen berfungsi sebagai peringatan, yang mendesak manusia untuk bertanggung jawab atas dampaknya terhadap lingkungan.

Namun, dengan menyalahkan manusia sebagai entitas tunggal, narasi Antroposen berisiko mengaburkan peran yang tidak proporsional yang dimainkan oleh sistem ekonomi dan politik, khususnya kapitalisme, dalam kerusakan lingkungan.

Generalisasi ini bermasalah karena, tak dapat dielak, tidak semua manusia berkontribusi secara setara terhadap kerusakan ekologi. Segelintir perusahaan multinasional dan negara-negara kaya bertanggung jawab atas sebagian besar emisi karbon dan degradasi lingkungan.

Sebaliknya, masyarakat adat, petani kecil, dan manusia yang terpinggirkan secara ekonomi berkontribusi paling sedikit tetapi menanggung beban krisis lingkungan. Kerangka pikir Antroposen yang luas gagal memperhitungkan kesenjangan ini, sehingga menjadikannya kerangka pikir yang tidak memadai untuk mengatasi akar penyebab kerusakan ekologi.

Kapitalosen: Pandangan yang Lebih Tepat?

Baca Juga  Media Islam Arus Utama dan Pentingnya Merebut Google Page-Rank

Kapitalosen, istilah yang dicetuskan oleh sejarawan lingkungan Jason W. Moore, mengkritik Antroposen dengan mengalihkan fokus dari manusia secara keseluruhan ke kapitalisme sebagai sistem historis yang mendorong kerusakan lingkungan.

Menurut perspektif ini, pengejaran keuntungan dan pertumbuhan kapitalisme yang tiada henti mengharuskan eksploitasi sumber daya alam, tenaga kerja murah, dan tanah. Perluasan industri, ekstraksi bahan bakar fosil yang tak terkendali, dan komodifikasi alam bukan sekadar aktivitas manusia, tetapi keharusan ekonomi menurut logika kapitalis.

Kapitalisme tumbuh subur dengan mengeksternalisasi biaya lingkungan, yang memungkinkan perusahaan mencemari ekosistem, mengeksploitasi sumber daya secara berlebihan, dan mendorong batas keberlanjutan ekologis demi keuntungan finansial.

Dorongan untuk ekspansi yang konstan telah menyebabkan penggundulan hutan, pengasaman laut, dan perubahan iklim, yang menciptakan utang ekologis yang akan diwariskan kepada generasi mendatang.

Tidak seperti Antroposen, yang menyatakan bahwa semua manusia sama-sama bersalah, kerangka pikir Kapitalosen menyoroti bagaimana struktur kapitalisme melanggengkan kerusakan lingkungan melalui ketidaksetaraan ekonomi dan kekuatan perusahaan.

Peran Agama dalam Menentang Kapitalosen

Dalam hal ini, tradisi agama menawarkan narasi tandingan terhadap nilai-nilai kapitalis tentang konsumsi dan eksploitasi tanpa akhir. Banyak ajaran spiritual yang menganjurkan pengelolaan, moderasi, dan keterhubungan, prinsip-prinsip yang sejalan dengan kehidupan berkelanjutan (sustainable).

Umat beragama dapat memainkan peran penting dalam menentang kerusakan lingkungan kapitalis dengan mempromosikan alternatif ekonomi yang etis dan membangun gerakan akar rumput untuk keadilan ekologis.

Tradisi agama menekankan perawatan yang bertanggung jawab terhadap Bumi daripada dominasi atas alam. Konsep pengelolaan Kristen, prinsip khalifah Islam, dan ajaran Buddha tentang saling ketergantungan semuanya menganjurkan koeksistensi yang harmonis dengan lingkungan. Nilai-nilai ini menentang logika ekstraktif kapitalisme dan mendukung pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan.

Baca Juga  Mudahnya Panggung Dakwah untuk Mualaf di Indonesia

Kapitalisme tumbuh subur dengan konsumsi yang berlebihan, tetapi banyak tradisi agama mendorong kesederhanaan dan pengendalian diri. Konsep zuhud dalam Islam, seruan Kristen untuk bersikap rendah hati, dan perspektif Hindu tentang keterpisahan dari kekayaan materi, semuanya menyediakan kerangka etika untuk melawan budaya konsumeristis yang didesakkan oleh sistem kapitalisme.

Dengan mempromosikan konsumsi yang penuh kesadaran, ajaran agama dapat membantu mengekang permintaan barang yang tidak berkelanjutan yang memicu kerusakan lingkungan.

Komunitas agama telah lama menjadi garda terdepan dalam gerakan keadilan sosial. Mengingat kerusakan lingkungan akibat kapitalisme secara tidak proporsional merugikan komunitas yang terpinggirkan, organisasi berbasis agama dapat mengadvokasi keadilan lingkungan. Dari Laudato Si’ Paus Fransiskus hingga gerakan iklim lintas agama, kelompok agama berpotensi menantang struktur kekuasaan yang mendorong Kapitalosen.

Melangkah Maju: Dari Antroposen ke Kapitalosen

Mengakui peran utama kapitalisme dalam krisis ekologis tidak berarti mengabaikan Antroposen sepenuhnya. Sebaliknya, hal itu berarti menyempurnakan kerangka pikir untuk memperhitungkan realitas ekonomi dan struktural.

Sementara Antroposen meningkatkan kesadaran akan dampak manusia terhadap alam, Kapitalosen memberikan kritik yang lebih tajam dengan mengidentifikasi kapitalisme sebagai akar penyebab eksploitasi lingkungan.

Untuk mengatasi krisis ekologis secara efektif, solusi harus melampaui tanggung jawab individu dan berfokus pada perubahan sistemik. Hal ini mencakup advokasi kebijakan yang mengatur kerusakan lingkungan oleh perusahaan, beralih ke ekonomi pasca-kapitalis yang memprioritaskan keberlanjutan ekologis, dan mendukung inisiatif yang dipimpin masyarakat yang menentang eksploitasi kapitalis terhadap alam.

Krisis ekologis menuntut penilaian ulang terhadap narasi yang kita gunakan untuk memahaminya. Sementara Antroposen menyoroti konsekuensi planet dari aktivitas manusia, Kapitalosen memberikan kritik yang lebih akurat dengan menghubungkan kerusakan lingkungan dengan ekspansi kapitalis.

Baca Juga  Doktrin Hizbut Tahrir Melalui Sistem Pendidikan Islam Terpadu

Mengatasi krisis ini tidak hanya membutuhkan solusi ilmiah dan berbasis kebijakan, tetapi juga perlawanan etika dan moral terhadap sistem eksploitatif. Tradisi agama, dengan penekanannya pada pengelolaan, kesederhanaan, dan keadilan, dapat memainkan peran penting dalam mengajak umat manusia menuju masa depan yang lebih berkelanjutan dan adil. Dengan mengakui dan menantang struktur kapitalis yang mendasari krisis ekologis, kita bergerak lebih dekat ke perubahan lingkungan yang bermakna dan langgeng.

Angga Arifka Mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada—tinggal di anggaarifka.com