Nama Jalaluddin Rumi sudah amat familiar bagi kita. Sebagai seorang sufi kelahiran Balkh pada 30 September 1207 M, namanya kini masih bermekaran di mana-mana. Selain pokok ajarannya yang berpancang pada ajaran Islam cinta dan penuh kedamaian, nama Rumi sebenarnya dikenal luas lantaran puisi-puisinya.
Dalam khazanah tasawuf, puisi atau syair menjadi bagian yang berkelindan di dalamnya. Banyak sufi merasakan bahwa pengalaman mistik merupakan pengalaman estetik, dan melalui bahasa puitiklah pengalaman tersebut—setidaknya—dapat dibahasakan.
Tak bisa dipungkiri bahwa jantung ajaran Islam sendiri menjelma sebagai kata-kata, firman Tuhan, yakni Al-Qur’an. Dalam hal ini, Al-Qur’an sendiri, sebagai kitab pedoman, merupakan kata-kata yang di dalamnya Tuhan dapat menuntun umat Islam. Pada saat yang sama, firman Tuhan terefleksikan secara penuh dan gamblang baik di dalam makrokosmos (alam semesta) dan mikrokosmos (manusia).
“Sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu Dia hanya berkata kepadanya, ‘Jadilah!’ Maka jadilah sesuatu itu.” (QS. Yasin [36]: 82).
Para sarjanawan muslim kerap menunjukkan signifikansi dari peran kreatif firman Tuhan dalam alam semesta dan dalam Al-Qur’an. Dalam hal ini, Rumi banyak berbicara mengenai kekuatan kata-kata secara umum, lebih-lebih sebagai medium untuk mengungkapkan kebijaksanaan Tuhan.
Rumi memilih puisi sebagai sarana yang representatif untuk dapat mendedahkan dan membabarkan pengalaman-pengalaman spiritualnya—yang tentu saja sebenarnya tak terbahasakan. Rumi menyatakan, “Dalam kemurahan-Nya, kata-kataku menjelma mutiara” (Chittick: 2001).
Dalam petikan di atas, Rumi hendak menunjukkan bahwa kata-kata yang ia gubah merupakan ilham yang dicucurkan oleh Tuhan, sehingga ia dapat menggubah kata-kata, atau puisi, laksana mutiara.
“Cinta-Mu telah menjelmakan bait-bait dan gazal (puisi) bagai tiap helai rambutku! Ekstase-Mu telah menjadikanku sebuah tong madu!” kata Rumi (Chittick: 2001).
Dalam sepotong larik tersebut, Rumi meluapkan pengalaman spiritualnya dalam kata-kata. Ia memercayai bahwa kata-kata dapat menampung keadaan tersebut, bahkan ia menggamblangkan bahwa cinta Tuhan menjelma dalam bait-baitnya,
Tanganku biasanya memegang Al-Qur’an
Tapi sekarang menggenggam cangkir cinta
Mulutku biasanya penuh wirid keagungan
Tapi sekarang hanya menguntai puisi dan nyanyian
(J. T. P. de Brujn: 2003)
Tentu saja bait di atas tidak bisa dipahami secara harfiah, sebab Rumi menggunakan imaji-imaji yang cukup kontroversial. Hemat saya, dalam bait di atas Rumi telah menyublimasi relasi hamba-Tuhan menjadi relasi pencinta-Kekasih. Hal ini tentu cukup menarik untuk disoroti bahwa di dalam puisi, seorang sufi dapat mengungkapkan pengalamannya secara puitik, pengalaman spiritualnya yang tidak lain juga merupakan pengalaman yang estetik.
Kekuatan kata-kata di dalam puisi melaju pada dua dimensi, yaitu dimensi lahir dan dimensi batin. Dalam dimensi lahiriah, seorang sufi memanuverkan imaji atau citra simbolik dalam pengucapan imajinatif untuk menguatkan “bobot kata” yang merepresentasikan autentisitas pengalaman sehingga dapat menggerakkan hati dan pikiran.
Sementara itu, dalam dimensi batiniah, kata-kata dalam puisinya ditempa dari visi kerohanian dan ditimba dari inspirasi ilahiah yang keduanya ditempuh dengan menjalankan suluk atau mujahadah lahir dan batin. Oleh karenanya, puisi Rumi dilambari secara kuat dengan kualitas inspirasi yang didapat olehnya.
Dalam hal ini, tentu absah dan kongruen bagi Rumi untuk mengekspresikan bahasa cintanya kepada Tuhan dan sebaliknya (cinta Tuhan kepadanya) melalui medium puisi, yang di dalamnya citra imaji dan simbol dapat disublimasikan untuk menampung gerak-gerak pengalaman spiritual yang amat subtil.
Satu lagi yang perlu dicatat bahwa pengalaman spiritual, bagi Rumi, bukan sekadar pengalaman mistik, melainkan juga sebagai pengalaman estetik, pengalaman perjumpaan antara dia dengan Tuhan Yang Maha Indah (al-Jamal). Pengalaman perjumpaan Rumi dengan Yang Maha Indah bukan sekadar pengalaman religiositas semata, melainkan terutama sebagai pengalaman cinta spiritual. Di sinilah mengapa puisi dioptimalisasikan oleh Rumi.
Hanya saja, Rumi bukanlah orang yang gampang ditebak. Ia tak serta-merta dengan begitu mudahnya mengafirmasi puisi dan kata-kata secara mutlak. Ia skeptis atas kata-kata dan puisi. “Ambillah sajak ini dan robeklah ia, bagai sajak usang! Karena makna-maknanya mengatasi kata-kata dan angin dan udara,” sergah Rumi (Chittick: 2001).
Rumi mendua dalam menyikapi kata-kata dan puisi. Ia benar-benar tahu bahwa tak seorang pun dapat mengandalkan dan menisbahkan pengalaman spiritual pada kata-kata. Bagi Rumi, yang esensial bukanlah kata-kata, bukan puisi, bukan kulit. Ia menyeru, “Biarkan banjir merenggut rima-rima dan kata-kata indah ini! Ia adalah kulit! Kulit! Hanya otak-otak sajak!” (Chittick: 2001).
Kata-kata, bagi Rumi, sekadar kulit, dan semestinya tak seorang pun menginginkan kulit, termasuk Rumi sendiri. Hal ini menunjukkan pemberontakan Rumi atas puisi. Pada level ini, Rumi ingin lepas dari segala sesuatu yang bertanda. Ia tak ingin menganjurkan orang-orang untuk sekadar terkesima oleh tanda dan lupa pada sesuatu yang ditandai.
“Jika kau ingin menyusun sajak dan berpuisi, pergi! Enyahkan kata-katamu. Jangan berjalan di atas bait dan tulisan!” gertak Rumi (Chittick: 2001). Cukup mengagetkan ketika mengetahui Rumi yang kita kenal sebagai penyair sufi kondang itu sendiri, pun ternyata, menolak puisi dan sajak. Sebenarnya Rumi menyadari kelemahan puisi yang di dalamnya kata-kata hanyalah onggokan kulit.
Persoalan cinta, lebih-lebih cinta spiritual, tidaklah berkaitan dengan kulit dan cangkang. Di sinilah mengapa Rumi menjadi cukup antipati terhadap puisi. Dalam kondisi kemabukan cinta, tak satu entitas pun dapat menjelaskannya. Meskipun puisi dan bahasa menjadi alat penafsir untuk menjelaskannya, tetapi cinta sebenarnya lebih jelas tanpa penafsiran dan bahasa.
Terakhir, diakui sendiri secara nyaring oleh Rumi, bahwa, “Ketika cinta datang, pena-pena akan patah.”[]