Achmad Hidayat Mahasiswa Institut Agama Islam Tribakti Kediri

[Resensi Buku] Menyoal Batasan Hijab dan Jilbab Perempuan

2 min read

Judul Buku: Jilbab & Aurat
Penulis: KH. Husein Muhammad
Penerbit: CV. AKSARASATU
Cetakan: I, Mei 2020

Perdebatan mengenai hijab nampaknya akan terus mewarnai citra Muslim perempuan, khususnya di Indonesia. Andaian ini dapat dilihat dari tidak sedikit dari golongan tertentu bersikukuh menganggap bahwa nilai yang dianutnya adalah paling benar, sehingga menimbulkan situasi penuh caci-maki-tanpa-etika berhamburan. Hal ini menunjukkan kemunduran kita, sebagai umat Muslim terbesar di dunia. Saya kira itulah salah satu alasan KH. Husein Muhammad menulis buku “Jilbab dan Aurat”.

Analisis yang beliau lakukan dalam buku tersebut sangat menarik, dengan bersandar mengutip pendapat para sahabat, tabiin, para ulama pendiri mazhab dan para pengikutnya. Beliau mengulas pendapat para ulama dengan melihat kultur sosial pada masanya. Hal ini menjadi kekuatan dari analisis yang dilakukan oleh Buya Husein (sapaan akrab KH. Husein Muhammad).

Beliau mengawali buku ini dengan menjelaskan perbedaan makna antara jilbab dan hijab. Meski dua kata ini sama-sama terdapat dalam surah Al-Aḥzab, tapi keduanya memiliki makna berbeda. Hijab tertera pada ayat 53 dan menunjukkan makna “sebuah sekat”, “tirai”, dan “pemisah” di dalam rumah Nabi, antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan jilbab terdapat pada ayat 59, yang menjelaskan bahwa hendaknya perempuan menjulurkan jilbabnya agar dapat dikenali, yaitu kain yang digunakan untuk menutupi kepala.

Dari sini dapat dilihat bahwa jilbab adalah sesuatu yang menutupi kepala, sementara hijab merupakan sekat pemisah. Akan tetapi, pada perkembangannya, terminologi tersebut selalu berubah. Dewasa ini, kedua kata tersebut diarahkan sebagai pakaian perempuan muslimah. Tidak cukup di sini, hijab dan jilbab juga menjadi alat ukur tingkat kesalehan seorang perempuan. Fenomena ini memberikan stigma bahwa perempuan yang tidak menggunakan hijab bukanlah perempuan yang saleh.

Baca Juga  [Resensi Buku] Kecenderungan Simbolik Masyarakat Indonesia

Menariknya, beliau juga membeberkan batasan-batasan aurat dari perbagai pendapat ulama. Secara garis besar, pendapat tersebut terwakili oleh yang mengatakan bahwa aurat perempuan adalah seluruh tubuhnya kecuali dua mata bahkan ada yang mengatakan satu mata sebelah kiri, seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Ada juga yang mengatakan kaki juga bukan aurat. Ada juga ada dari ulama mazhab Hanafi yang mengatakan separuh dari kaki, lengan, dan juga rambut yang terurai boleh terbuka. Pendapat terakhir ini tertuang dalam kitab al-Hidāyah Sharaḥ al-Bidāyah. Semua pendapat tersebut merupakan interpretasi dari ayat wamā ḍahara minhā (QS. Al-Nūr [24]: 31).

Selain pada perempuan merdeka, ulama juga berselisih dalam batasan aurat perempuan budak. Ada yang mengatakan sama seperti laki-laki, ada juga yang mengatakan sama seperti perempuan merdeka pada umumnya. Dasar yang digunakan oleh ulama untuk menentukan batasan aurat perempuan budak tidak mengacu pada nash otentik Alquran dan Ḥadis, karena kedua nash tersebut tidak ada yang secara eksplisit mengatakannya. Batasan ini merujuk pada teguran Umar terhadap perempuan budak yang menggunakan jilbab.

Dari sini dapat diketahui apa fungsi dari jilbab. Jika merujuk pada asbabun nuzul, secara tekstual jilbab akan menemukan pemahaman yang sama, yakni difungsikan sebagai penanda agar dapat dikenali. Ibnu Sa’d mengatakan bahwa setika istri Nabi malam-malam sedang memenuhi hajatnya, meraka diganggu oleh kaum munafiqin. Sehingga turunlah ayat 59 surah Al-Aḥzab tersebut. Ungkapan ini juga dapat dikuatkan dengan larangan Umar terhadap budak yang cara berpakainnya menyerupai perempuan merdeka. Sekali lagi, ini jika memaknai secara tekstual.

Mengenai alasan terjadinya perbedaan pendapat mengenai batasan aurat perempaun merdeka dan buda, beliau Buya Husein mengatakan bahwa semua terjadi karena kultur sosial yang mempengaruhi pandangan setiap para ulama. Selain itu, mengapa batasan aurat perempuan budak dibedakan dengan perempuan merdeka mengacu pada pertimbangan “demi keperluan” dan “menolak keberatan”. Karena budak mempunyai tugas untuk bekerja sesuai dengan kebutuhan majikannya, jika menggunakan pakaian tertutup akan membuatnya kesulitan bekerja. Ini sangat berbeda dengan perempuan merdeka yang dianjurkan untuk di rumah saja.

Baca Juga  Mengapa Harus Menggunakan New-Normal? Apakah Kita Sedang Rindu?

Dengan diksinya, beliau mengungkapkan, andai disepekati bahwa penetapan batas aurat perempuan merupakan respon terhadap sebuah fenomena, maka kedudukan aurat sama dengan kedudukan sesuatu yang sering kita sebut sebagai moral, etis, atau kesopanan: sesuatu yang disepakati oleh masyarakat atau lingkungan. Dengan kata lain, jilbab adalah sesuatu yang profan dalam agama, bukan sakral. Menutup aurat merupakan sesuatu yang wajib dalam agama, tetapi pada batasan-batasannya ulama saling berbeda pendapat.

Pandangan seperti ini tidak perlu untuk dicurigai dan ditakuti, karena di negara bebas dan sekuler pun cara berpakaian perempuan masih menggunakan norma yang layak untuk dilakukan. Sebagai subjek atas perubahan suatu tradisi, jika menghendaki terjadinya peningkatan dalam berpakaian, maka harus dilakukan dengan pendekatan personal, sehingga dapat menyentuh hati dan pikiran seseorang. Tidak perlu menggunakan instrumen negara. []

Achmad Hidayat Mahasiswa Institut Agama Islam Tribakti Kediri