Selepas subuh di masjid kompleks saya tinggal digelar pengajian rutin. Kali ini temanya tentang akidah. Sang ustad mengajarkan kitab Aqīdatul Awām. Bagi kalangan pesantren, kitab ini tentu tak asing lagi. Kitab karangan Syaikh Ahmad al-Marzuqi ini merupakan kitab dasar yang dipelajari hampir di seluruh madrasah Islam di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Kitab ini berisi 57 bait nazham syair tentang asas-asas akidah Ahlussunnah wal Jama’ah, berdasarkan paham Asy’ariyah yang dianut mayoritas kaum muslimin di dunia.
Ada banyak ulama yang mensyarah kitab ini. Salah satunya ditulis oleh seorang ulama nusantara, Syaikh Nawawi al-Bantani, judulnya Nūruzh Zhalām: Syarh Manzhūmah Aqīdat al-Awwām.
Ahad itu kajian sang ustad sampai pada bait ke-10, tentang sifat 𝑗𝑎’𝑖𝑧 bagi Allah.
وجـائـزٌ بـفـضـلِهِ وعدلِهِ تـركٌ لـكـلِّ مـمـكـنٍ كَفِعْلِهِ
Inti bait nazam ini, 𝑗𝑎’𝑖𝑧 bagi Allah untuk melakukan atau tidak melakukan apapun yang Dia kehendaki. Hal ini juga bermakna bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak-Nya. Dia-lah yang menciptakan baik dan buruk. Dia-lah yang memberi manfaat dan mudarat. Begitu penjelasan sang pengarang Nūruzh Zhalām.
Sebab itu, tak pantas hati manusia untuk bergantung pada apapun dan siapapun. Yang bisa (dan harus) dilakukan manusia hanyalah ikhtiar, sedangkan hatinya tetap harus bergantung pada Allah. Dalam ungkapan Syaikh Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi, al-Jawārih ta’mal wa al-qulūb tatawakkal (silakan ragamu bekerja, tapi hatimu tetap bergantung kepada-Nya).
Terkait akidah ini, Syaikh Nawawi mengetengahkan sepenggal kisah Nabi Musa.
Suatu ketika, Nabi Musa menderita sakit gigi. Kemudian beliau mengadu kepada Allah swt.
“Wahai Musa, ambillah sejenis daun tanaman, lalu balurkan pada gigimu yang sakit”. Perintah Allah Swt.
Nabi Musa segera mencari daun yang dimaksud, lalu beliau balurkan pada gigi yang sakit. Seketika, sakit gigi yang beliau rasakan langsung sembuh.
Beberapa waktu kemudian, sakit gigi Nabi Musa kembali kambuh. Dengan segera, beliau pun segera mencari daun yang sama sebagai obat. Tetapi setelah dibalurkan pada gigi yang sakit, ternyata sakitnya tidak hilang, bahkan bertambah perih.
Nabi Musa pun kembali mengadu kepada Allah Swt:
“Ya Allah, bukankah Engkau pernah menunjukkan padaku bahwa daun ini adalah obat sakit gigi?”.
Allah menjawab. “Wahai Musa, yang menyembuhkan adalah Aku, yang menyehatkan adalah Aku, yang memberi mudarat adalah Aku, yang memberi manfaat adalah Aku. Ketika engkau sakit gigi pertama kali, engkau datang bergantung kepada-Ku, maka Aku pun menyembuhkanmu. Tapi yang kedua kali, engkau langsung datang bergantung pada daun itu, bukan kepada-Ku.”
(Sumber cerita: Nūruzh Zhalām, 47-48).