Istilah new-normal mencerminkan keterbatasan manusia; keterbatasan bahasa dan pengetahuan. Manusia tidak memiliki kecukupan kosakata untuk menjelaskan banyak hal, termasuk untuk mengurai fase perkembangan hidupnya. Mereka, kemudian, hanya bisa mengulang kembali apa yang pernah mereka alami dan pahami. New–normal, post-truth, post-modernism, dan sejenisnya hanyalah sebuah “pengulangan-istilah”.
Pengulangan-istilah juga mencerminkan kerinduan. Pada sebuah masa, ketika manusia pernah mengidealkan fase tertentu dalam kehidupan mereka sebagai kondisi yang “modern”, “normal”, atau “benar”. Manusia mungkin ingin berhenti di sana, cukup menikmati yang “ideal” itu, tapi gerak zaman tidak pernah lelah mendorong mereka untuk terus laju. Waktu memaksa mereka untuk terus berpikir dan hidup. Hingga pada saatnya ketika mereka tak memiliki cukup pengetahuan untuk menjelaskan pemikiran dan kehidupan yang mereka alami, manusia harus menengok ke belakang: meminta bantuan pada sejarah. Pada istilah-istilah yang sudah pernah dicipta.
Berbekal kata “new’, “post”, “after”, “pre” dan sejenisnya, manusia—terkadang dengan dada yang membusung dan kepala ditegakkan—merasa memasuki babak baru. Dunia baru. Padahal, sebenarnya mereka tidak pernah benar-benar mencipta sesuatu yang baru.
Apakah manusia sudah kehabisan energi dan kreativitas untuk menjelaskan kehidupan yang sekarang mereka alami? Ataukah pengulangan adalah sebentuk kreativitas—serendah apapun—yang bisa dilahirkan manusia saat ini? Kenapa manusia tidak mencipta kosakata baru? Istilah baru? Ke manakah imajinasi bersembunyi? Di sinilah tempat yang tepat untuk menoleh dan bertanya: lalu bagaimana pada masa lalu orang-orang mencipta kata “modern”, “kebenaran”, dan “normal”?
Mungkin kerinduan-lah yang perlu disalahkan: romantisisme. Mungkin rasa-nyamanlah yang perlu disesalkan: status quo. Kenapa harus merindu kepada fase-fase sejarah yang dianggap nyaman dalam kehidupan manusia? Kenapa tahapan hidup selanjutnya hanya dianggap sebagai “pengulangan” dan “lanjutan”, dengan sedikit aransemen yang tidak esensial? Ataukah kita sedang mabuk menikmati irama koplo?
Kita mungkin pernah mendengar pepatah Arab yang mengatakan, lā jadīd tahta al-shams (tidak ada yang baru di bawah matahari, di muka bumi). Sejarah manusia hanya mengulang peristiwa-peristiwa yang sama, dengan aktor, ruang dan waktu yang berbeda. Klise ya? Benar. Sangat klise. Tapi apa yang bisa dilakukan manusia untuk tidak dikatakan klise, ketika untuk mencipta istilah baru saja mereka tidak (mau repot) melakukannya? Ketika untuk menjelaskan kondisi yang mereka alami harus menengok jendela masa lalu?
New, post, pre, after, dan kata-kata penanda waktu lain menyelamatkan manusia dari rasa malu. Kata-kata ini membantu mereka untuk mengulang dan mengimitasi fase sejarah yang dianggap pernah “ada”. Kita perlu berterima kasih kepada mereka, para pendahulu, yang sudah melahirkan kata-kata abadi, yang dijadikan mantra sakti untuk menjelaskan dinamika kehidupan selanjutnya.
Ini, saya kira, bukan semata keterbatasan bahasa. Lebih jauh dari itu, new-normal mencerminkan wajah “mandul” manusia modern berhadapan dengan pesatnya laju kehidupan yang mereka ciptakan sendiri. []