Sambil belajar di IAIN Surabaya saya diberi amanah oleh almarhum KH Zainal Arifin, Lc, pengasuh PM Al Islam Nganjuk untuk ikut mengabdi di sana. Senin sampai kamis di Surabaya, kamis sore sampai ahad sore di Nganjuk. Ini adalah fase yang saya rasakan penuh berkah meskipun selama ber tahun-tahun bergelantungan di atas bis menjadi ibnu sabil (anak jalanan), tapi pengalaman menjadi semacam “ustaz” adalah hal yang membanggakan, meskipun saya merasa belum pantas dengan panggilan itu.
Salah satu pengalaman yang menguji toleransiku adalah ketika datang sepucuk surat dari Klenteng (tempat beribadah penganut Konghucu) Sukomoro yang intinya mohon izin perluasan area aula karena jamaahnya butuh tempat yang agak longgar. Pak kiai memanggil saya untuk meminta pendapat, mungkin karena saya masih mahasiswa S2 Perguruan Tinggi Agama Islam. Saya jawab bahwa Klenteng itu sudah ada sejak lama, jemaahnya ada, dan perluasan itu juga di tanah mereka. Jadi tidak perlu izin ke kita. Pak kiai tersenyum dan berkata bahwa beliau hanya menguji saya karena surat sudah dibalas sehari sebelumnya, persis seperti yang saya katakan dengan tambahan supaya lebih menjaga silaturahim dan meningkatkan toleransi.
Dari kejadian itu saya mulai penasaran bagaimana sebenarnya kehidupan para penganut Konghucu itu. Maka menjelang Imlek tahun 2000 saya mengajak teman senior saya ustaz Zamroji untuk berkunjung ke Klenteng Sukomoro yang sering kita lewati karena berada di pinggir jalan jalur Jogja-Surabaya. Kebetulan ustadz Zamroji memiliki ketertarikan yang sama namun belum ada moment yang tepat untuk merealisasikannya. Tahun itu adalah tahun ujian toleransi atas keberagamaan dan kebangsaan kita, karena tatanan sosial sedang hancur lebur terkena bom atom reformasi.
Kita berjalan kaki dari pondok karena memang jaraknya hanya sekitar 700 meter. Ketika sudah dekat dengan Klenteng hati saya mulai ragu, akankah diterima dengan baik, bagaimana kalau diusir. Belum selesai kekalutan saya, ustaz Zamroji bicara lirih, “Ustaz, saya kok merinding ya”, saya jawab, “tenang taz, kalo diusir ya pulang”, sambil terus melangkah padahal hati saya juga kacau tidak karuan. Maklum lah propaganda toleransi pasca-reformasi belum sesukses hari ini, bahkan sentimen anti-Tionghoa (rata-rata penganut Konghucu) sempat menjadi duri dalam kehidupan berbangsa.
Ketika memasuki pintu gerbang, kita disambut oleh bapak-bapak paruh baya yang sedang menyapu halaman. Saya lupa namanya, tapi beliau adalah tukang bersih-bersih Klenteng yang rumahnya utara pasar Sukomoro, dan seorang muslim yang taat. Membersihkan Klenteng tidak membuat seseorang menjadi Konghucu karena di dalam hatinya ada iman, ada keyakinan. Orang desa yang tidak kelihatan akademis ini telah mengajarkan toleransi yang luar biasa, sebuah sikap yang kadang justru tidak dimiliki oleh akademisi Muslim picisan.
Beliau mempersilahkan kita untuk masuk. Bangunan Klenteng yang didominasi warna merah dan emas menjadi ciri khas yang artistik dengan patung ular di atas genting. Suasana magis sangat terasa, kanan kiri pintu masuk berjajar patung-patung besar berpakaian bak jenderal di film-film kungfu shaolin. Asap dupa mengepul dengan aroma magis yang bikin merinding. Tampak beberapa orang-orang yang sedang sibuk menata buah-buahan dan makanan di ruang depan di kanan dan kiri dupa. Dengan ramah mereka mempersilahkan kita masuk sambil berbicara, “masuk saja mas, kalo makanan ini belum boleh diambil, besok setelah sembahyang bisa diambil, dibagikan pada masyarakat”. Tahu saja mereka apa yang saya pikirkan, saya memang kelihatan ingin makan buah segar.
Di ruang dalam telah menunggu kakek-kakek tua sekira usia 70 tahun, berbadan langsing, berkulit putih dan bermata sipit. Beliau adalah penunggu Klenteng (bukan kiai utama) dan tinggal di salah satu ruangan belakang. Asalnya dari Mojokerto dan sudah 5 tahun tinggal di Klenteng tersebut bersama istrinya. Sayangnya, saya juga lupa namanya, karena kita selalu memanggilnya “Koh”. Ruangan yang agak lebar ini ternyata aula yang dulu minta izin pelebaran pada masyarakat sekitar, termasuk izin ke pondok saya. Ternyata juga tidak sebesar yang saya bayangkan, pada dinding aula terpampang lukisan biksu Tong Sam Cong bersama ketiga muridnya, Sun Go Kong, Cu Pat Key, dan Whu Cing.
Setelah berbasa-basi beberapa waktu dan situasi keakraban mulai terjalin ditandai dengan guyonan, saya memberanikan diri bertanya yang sedikit nakal. “Koh, itu gambar biksu Tong ya? Dia yang mengambil kitab suci kok tidak disembah? Terus, masak orang memiliki murid para siluman dan binatang?”, benar-benar pertanyaan nakal dari orang yang baru kenal. Koh melihatku sambil tersenyum kemudian tertawa sampai gigi putihnya kelihatan. Lega lah hati saya, karena ustaz Zamroji menyentuh kaki saya dengan ujung jari kakinya ketika saya mengajukan pertanyaan itu.
Setelah mempersilahkan kita menikmati air mineral, Koh mulai menjelaskan dengan santai dan sesekali disertai dengan candaan. Meski sudah tua namun tetap humoris. Mungkin itu cara beliau menghibur diri karena jauh dari keluarga besarnya untuk menjalankan tugas suci agamanya. Biksu Tong bukanlah pendiri Konghucu, namun seorang guru yang yang sangat terkenal karena keberhasilannya menebarkan ajaran kebajikan. Hidupnya dihabiskan membimbing orang-orang yang dikuasai siluman, kerasukan nafsu setan dan hewan.
Seperti biksu lainnya ia selalu menyapa orang dengan salam khas Konghucu, “amithaba”, dengan merapatkan tangan kiri secara tegak di depan dada dan menarik tangan kanan sambil menggenggam di belakang pinggangnya. Ini saya tanyakan ke Koh tadi apa maksudnya? Menurut ajaran Konghucu, kebajikan itu harus disembunyikan sementara kejelekan diri ditonjolkan, disimbulkan dengan salam hormat selalu mengedepankan tangan kiri dan menyembunyikan tangan kenan sebagai simbol kebaikan ke belakang.
“Tiga murid biksu Tong adalah perwujudan dari sifat manusia, jadi bukan mengajari hewan lo ya”, kata Koh sambil tertawa melihat kita yang sudah keracunan film Kera Sakti. Film yang sangat saya gemari dan juga masyarakat Muslim pada umumnya. Melihat film Konghucu tidak akan membuat kita menjadi Konghucu. Jadi, Sun Go Kong adalah perwujudan sifat manusia yang kuat, cerdas, memiliki beragam kompetensi, tapi memiliki sifat sombong, nafsunya untuk selalu menang telah menjerumuskan hidupnya. Dalam Islam, iblis tergelincir dari surga ke dunia karena sombong, manusia tergelincir di dunia karena memperturutkan hawa nafsu setan dan mewarisi kebodohan binatang, meskipun hewan sebenarnya bisa cerdas dalam dunianya.
Sementara Cu Pat Key adalah perwujudan sifat manusia yang sukses, berkarier cemerlang, bahkan mencapai puncak karier, namun sifatnya yang terlalu disetir oleh hawa nafsu terhadap wanita telah membuatnya terjerumus pada sifat Babi. Sedangkan Wu Ching adalah penggambaran manusia yang penurut, rajin, tidak memiliki ambisi selain pengabdian, namun bodohnya berlipat-lipat, akhirnya juga terjerumus dalam kesengsaraan. Sun Go Kong dengan kompetensinya (kesaktiannya) memang sering menolong banyak orang, namun tidak membebaskan. Cu Pat Key terlalu banyak membangun istana lamunan sehingga kehilangan istana sesungguhnya, dan Wu Ching sering bertindak konyol meskipun hatinya baik dan tulus, karena beragama tidak butuh hanya sekadar ketulusan tapi juga kecerdikan. Penganut Konghucu yang berhasil menaklukan tiga sifat tadi maka akan menempati posisi istimewa menjadi seorang Buddha.
Biksu Tong berusaha menundukkan murid-muridnya yang memiliki ketiga sifat tersebut untuk kembali pada kitab suci (dalam Islam dikenal istilah al-rujū’ ilā al-Qur’ān wa al-Sunnah), tapi tidak dalam bentuk teks book letterlijk, melainkan dengan perbuatan nyata dalam ranah sosial, membebaskan masyarakat dari cengkraman (siluman) yang pada hakikatnya tiga sifat di atas (liyukhrija al-nās min al-dulumāt ilā al-nūr). “Dulumāt adalah kesombongan, keserakahan, dan kebodohan. Hanya saja untuk memudahkan pembelajaran, maka dibuatlah film yang disukai anak-anak”, seloroh Koh sambil tertawa melihat kita yang juga akhirnya tertawa.
Akhirnya, kita kembali ke pondok dengan perasaan lega. Pengalaman 20 tahun yang lalu itu tidak pernah kita lupakan. Memang berharga dan selalu saya ceritakan kepada para murid, mahasiswa, bahkan jemaah pengajian saya, bahwa pemahaman kita akan konsep beragama orang lain itu penting, bukan untuk menyerang mereka, tetapi pengetahuan yang akan membuat kita lebih luas memandang dunia. Kebetulan di pondok juga diajarkan satu kitab yang berjudul al-Adyān, yang berisi tentang ajaran agama-agama yang ada di dunia ini. Sehingga terbentuk jiwa toleransi yang baik, sekaligus penguatan akan aqidah dalam diri kita. Mengambil pelajaran dari pengalaman hidup bukan berarti kehabisan sumber ajaran dari agama kita sendiri, namun membangun kesadaran bahwa kita tidak sendirian hidup di dunia ini.
Mereka memiliki konsep penaklukan hawa nafsu. Kita juga punya konsep yang komprehensif yaitu pengendalian nafsu dengan puasa Ramadan yang mencerahkan jiwa dan raga. Nafsu adalah anugerah yang diberikan Allah. Dunia akan mati tanpa nafsu. Yang dibutuhkan adalah bagaimana mengendalikannya. Bukan untuk mencapai puncak tertinggi menjadi Buddha seperti Konghucu, tapi menjadi insan yang bertakwa. Boleh jadi kita adalah Sun Go Kong, Cu Pat Key atau Wu Ching yang perlu menundukkan nafsu, menaklukkan sifat setan (syaitāniyyah) dan hewan (hayawāniyyah) dalam diri kita. Jadi apa jeleknya belajar pada outsider seperti biksu Tong, apa salahnya belajar pada Sun Go Khong? [0]