Ganti Rugi untuk Intoleransi

Pembubaran kegiatan keagamaan di Cidahu, Sukabumi. Dok. GAMKI

Saya termasuk orang yang tidak peduli dengan popularitas Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. Juga tidak tertarik pula mengikuti sepak terjangnya yang membanjiri berbagai platform media digital. Meski begitu, menyimak video pendek yang berisi konfirmasi dia atas peristiwa penyerangan terhadap kegiatan retreat jemaat Kristen di Sukabumi, sudah cukup bagi saya–mungkin juga banyak orang, untuk kecewa.

Ekspektasi orang terhadap Kang Dedi terlanjur tinggi. Ia harusnya mampu menghadirkan negara yang zero-tolerance terhadap tindakan kekerasan dan persekusi. Bukannya malah menjiplak logika kelompok mayoritas untuk ‘melindungi,’ atau setidaknya membiaskan peristiwa kekerasan itu sendiri. Dalam video itu, Kang Dedi tampak sebagai kepala daerah seperti lazimnya, konservatif dan tunduk pada moyoritarianisme.

Peristiwa kekerasan sendiri terjadi pada Jumat, 27 Juni 2025. Seperti tersiar luas melalui video di berbagai kanal, kekerasan itu dilakukan oleh segerombolan orang yang merusak properti, merobohkan salib sebagai simbol agama, mengintimidasi perserta retreat yang sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak. Tidak cukup itu, gerombolan juga merusak mobil-mobil peserta retreat di saat mereka melakukan evakuasi mandiri.

Tidak terbayangkan betapa trauma yang dialami oleh anak-anak yang sedang mendapat bimbingan rohani dan spiritual. Kerugian material yang ditanggung oleh pemilik rumah dan properti mungkin saja bisa diganti rugi. Tapi siapa yang bisa menggantikan kerugian mental dan sosial akibat pembiaran aksi kekerasan dan vandalisme tersebut, terutama dampaknya pada mental anak-anak?

Pemandangan dalam video pendek itu juga terasa janggal karena, di tengah-tengah aksi kekerasah tersebut, terekam beberapa personil kepolisian dan tentara. Karena jumlah yang terbatas, kedua unsur negara tersebut juga tampak tidak melakukan tindakan yang berarti untuk menghentikan kekerasan dan intimidasi. Pemandangan yang sebenarnya sangat lazim dalam banyak peristiwa serupa.

Beberapa saat sesudah peristiwa tersebut menjadi viral, Kang Dedi bereaksi. Dalam video pendek yang ia sebarkan sendiri, ia mengklarifikasi bahwa penyerangan yang dilakukan oleh gerombolan masyarakat, sebenarnya tidak dialamatkan pada suatu rumah ibadah. Bukan rumah ibadah, tetapi hanyalah bangunan villa pribadi milik salah satu warga di Desa Tangkil, Cidahu, Sukabumi.

“Dalam peristiwa itu tergambarkan seolah-olah ada perusakan terhadap rumah ibadah,” kata Kang Dedi sambil tersenyum. Sambil membawa pemilik villa yang dirusak untuk memberi testimoni, Dedi lalu menegaskan “intinya itu adalah rumah, bukan rumah ibadah.” Menimbang bahwa ini rumah pribadi yang digunakan sebagai kegiatan retreat tetapi sekaligus diisi dengan kegiatan kerohanian, maka inilah yang memantik kemarahan sebagian warga sehingga kekerasan terjadi. Begitu kira-kira susunan argumentasi yang disampaikan oleh Kang Dedi.

Penegasan bahwa rumah villa itu merupakan rumah pribadi, jelas-jelas bukan wacana yang lugu, tetapi dipenuhi oleh motif ideologi mayoritarianisme. Gubernur seperti ingin menegaskan bahwa, kekerasan yang terjadi di Cidahu, tidak bisa disebut sebagai konflik agama, atau setidaknya intoleransi atas nama agama mayoritas.

Kang Dedi seperti hendak ‘mencuci’ citra Jawa Barat sebagai salah satu wilayah paling intoleran di Indonesia karena banyaknya aksi persekusi serupa terhadap rumah ibadah kelompok minoritas.

Kang Dedi harusnya menginsyafi bahwa, peristiwa kekerasan atas nama agama yang terjadi di wilayahnya dalam periode yang panjang, tidak selalu menyasar pada bangunan ibadah, tetapi juga pada kegiatan keagamaan atau peribadatan kelompok-kelompok agama minoritas. Hanya karena alasan bahwa bangunan di Cidahu bukanlah rumah ibadah, bukan berarti bahwa peristiwa tersebut bukanlah suatu peristiwa intoleransi agama. Secara gamblang, peritiswa kekerasan itu merupakan intoleransi karena didorong oleh kebencian yang membuncah terhadap kegiatan kerohanian penganut agama lain.

Tampak jelas bagaimana simbol salib sebagai simbol agama, ‘dilecehkan’ sedemikian rupa dalam peristiwa tersebut untuk mewakili amarah segerombolan orang. Selain itu, upaya pembiasan bahwa yang terjadi di Cidahu bukanlah suatu peristiwa intoleransi, sadar ataupun tidak sadar, Kang Dedi hendak mengalamiahkan peristiwa kekerasan. Secara implisit ideologi yang menyertai pernyataan Kang Dedi adalah, kekerasan bisa ‘dimengerti’ karena masyarakat terganggu oleh kegiatan rohani (disebut ‘nyayian’ oleh Kang Dedi) yang dilakukan oleh peserta retreat.

Kang Dedi yang Mulia, kekerasan tidak pernah bisa ‘dimengerti’ dan apalagi dialamiahkan. Kekerasan tetaplah kekerasan yang harus diproses secara hukum. Kekerasan terhadap simbol-simbol keagamaan juga tidak pernah bisa ditoleransi karena itu mencederai kehidupan sosial-keagamaan masyarakat secara keseluruhan. Melukai jiwa kebangsaan Indonesia. Semua kekerasan itu harus dijerat oleh hukum bukan hanya karena ada landasan hukumnya, tetapi sekaligus merusak sendi kebangsaan Indonesia sebagai rumah bersama bagi semua agama.

Kang Dedi juga harus menginsyafi berapa sulitnya pilihan yang tersedia bagi kelompok-kelompok agama minoritas di Indonesia, terutama dalam hal mendirikan rumah ibadah. Dalam banyak kasus, kelompok mayoritas bersama-sama dengan pemerintah lokal sering menghambat berdirinya rumah ibadah melalui berbagai cara administrasi. Meski begitu, saat mereka harus menjalankan kegiatan peribadatan di rumah pribadi, juga tetap menghadapi ancaman persekusi.

Tidak mudah menjadi minoritas di Indonesia, dan karena itu bersikap mengalamiahkan dan ‘mengampuni’ kekerasan adalah suatu sikap yang bukan hanya tidak bijaksana, tetapi juga sikap yang tidak adil sejak dari pikiran. Apalagi, bila yang dimaksud sebagai penyelesaian komprehensif dalam kasus Cidahu, seperti ditegaskan dalam video pendek itu, hanyah suatu forum permintaan maaf dan ganti rugi atas kerusakan properti pemilik villa.

Tidak ada yang salah dengan permintaan maaf, tetapi ini adalah jalan penyelesaian potong kompas yang sering mengabaikan rasa keadilan kelompok-kelompok yang menjadi korban kekerasan. Umumnya mereka diajak berunding di hadapan kelompok penyerang, lalu melalui berbagai cara para pimpinan daerah sebagai penengah, juga menekankan agar kelompok ‘korban’ bisa menerima asas permusyawaratan seperti diminta oleh aktor-aktor kekerasan. Permusyawaratan dan penyelesaian cara kekeluargaan, menjadi identik forum ‘dagelan’.

Bila ingin membangun pondasi kebangsaan yang kokoh, demi masa depan Indonesia yang lebih baik, pimpinan daerah idealnya tetap melakukan penegakan hukum. Para pelaku kekerasan harus tetap diproses secara hukum, dan pada saat bersamaan pemerintah berkomitmen untuk mengambil langkah-langkah proteksi (to protect) yang proporsional dan adil. Menjamin semua warga negara bisa menjalankan agama/kepercayaan tanpa gangguan dan ancaman. [AA]

6

Direktur Institute for Javanese Islam Research (IJIR) dan Dosen UIN SATU, Tulungagung;

Post Lainnya

Arrahim.id merupakan portal keislaman yang dihadirkan untuk mendiseminasikan ide, gagasan dan informasi keislaman untuk menyemai moderasi berislam dan beragama.