Banyak orang bertanya, apakah Gus Dur pernah merasa takut? Melihat gayanya yang ceplas-ceplos dan keberaniannya dalam melawan siapapun yang dianggapnya bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar yang diyakininya, banyak kalangan yang menganggap Gus Dur adalah sejenis manusia yang tak mengenal rasa takut. Semua terasa enteng di hadapannya. Seberat apapun masalahnya, dengan ringan dia akan mengatakan “Gitu saja kok repot!”.
Tapi Gus Dur juga manusia biasa. Dia memiliki kekhawatiran dan ketakutan sebagaimana manusia umumnya. Yang membedakan adalah caranya melampaui dan mengelola kekhawatiran dan ketakutan.
Sebagaimana yang dikisahkan oleh Mbak Nay, panggilan akrab Inayah Wulandari Wahid, putri bontot Gus Dur, saat bedah buku Goro-goro Menjerat Gus Dur karya Ahmad Zainul Hamdi. Mbak Nay berkisah tentang suatu malam di istana, ketika Gus Dur menjadi presiden. Saat itu adalah hari-hari penuh gejolak politik menjelang Gus Dur dilengserkan. Suasana politik terasa mencekam.
Sebagai putri presiden yang tinggal di istana, Mbak Nay tahu bagaimana hari-hari itu berlangsung. “Hari-hari terasa panjang dan kelam,” tuturnya.
Suatu malam, tepatnya dini hari sekitar pukul 2.30, dia masuk ke kamar Gus Dur yang berada di samping kamarnya, melalui conneting door yang selalu terbuka. Saat masuk, dia mendapati Gus Dur sedang salat malam. Suasana kamar temaram setengah gelap. Mbak Nay merasakan bagaimana lelahnya sang ayah menghadapi situasi politik saat itu.
Tidak ingin mengganggu kekhusyukan shalat sang ayah, Mbak Nay yang saat itu seorang remaja belia, bergerak mendekati Gua Dur dari arah belakang tanpa bersuara. Ketika dirasa Gus Dur sudah selesai salat, Mbak Nay menawarkan bantuan untuk melipatkan sajadahnya.
Rupanya suara yang tiba-tiba dengan nada agak tinggi khas Inayah Wahid itu membuat Gus Dur kaget. Sepontan Gus Dur menjerit. Mbak Nay juga ikut kaget dan menjerit. Di sebuah kamar di istana presiden, menjelang fajar, kedua orang itu menjerit-jerit bersama karena kekagetan bercampur ketakutan.
Begitu tahu bahwa yang ada di belakangnya adalah putrinya sendriri, Gus Dur seketika tertawa terkekeh sambil memeluk anaknya yang dikenal sekocak dirinya itu. Mbak Nay juga ikut tertawa terbahak-bahak. Kamar temaram dalam istana itu sontak dipenuhi gelak tawa, kontras dengan situasi di luar istana dini hari itu yang dicekam aura kegentingan politik ibu kota.
Apa pesan yang ingin disampaikan dari cerita ini? Mbak Nay menyatakan, bahkan dalam situasi yang penuh kekalutan, selalu ada sisi-sisi dalam hidup yang bisa ditertawakan. Jangan lupa tertawa ya! [AA]