[Cerpen] Mengagumi Namun Tak Bisa Memiliki

3 min read

Siapa yang tidak senang ketika saat murāja’ah (mengulang) hafalan, ada orang yang membenarkan hafalan kita. Tentu akan lahir ikatan emosional karena sama-sama sedang berjuang menjaga ayat-ayat Ilahi, walaupun tidak aslinya tidak saling mengenal. Namun, bagaimana jika seseorang yang membenarkan hafalan tersebut tidak kita kenal. Tidak tahu siapa sosoknya. Tiba-tiba hadir, bak malaikat yang tak nampak wujudnya namun selalu mengawasi kita.

Tentu saja, timbul rasa penasaran dan ingin tahu tentangnya. Apalagi dia hadir bagaikan malaikat yang memberi pertolongan atas perintah Allah swt yang tak mampu dilihat oleh mata. Iya, memang dia tak dapat dilihat karena di pesantren laki-laki dan perempuan memang tidak dibolehkan untuk saling berjumpa.

Itulah sebuah kisah seorang santriwati di sebuah pondok pesantren yang ada di Jawa Timur, sebut saja namanya Karon. Ia adalah santriwati penjaga kalam-kalam Ilahi, yang waktunya dihabiskan untuk menjaga dan melafazkan ayat-ayat suci Alquran.

Pagi itu. Seperti biasanya, saat akan murāja’ah. Karon bergegas menuju musola pondok, ia lalu memilih duduk di dekat sekat kayu pembatas antara santri putra dan putri. Karon duduk menyila sembari memegang Alquran yang berwarna merah jambu.

Saat itu, hafalannya baru mencapai Juz 10. Ia muroja’ah seperti biasa, melafalkan ayat demi ayat dengan tenang. Dengan sesekali melihat Alquran, karena khawatir ada ayat yang terlewatkan.

Hingga pada suatu ayat, yang menurutnya benar. Tiba-tiba ada yang mendecakkan lidah sembari berdeham, lalu membenarkan ayat yang dibacanya tersebut. Seketika itu, Karon langsung membuka mushafnya untuk memastikan kebenaran ayat tersebut. Dan ternyata memang benar, dirinya yang salah melafalkan. “Ahmemalukan,” ucapnya dalam hati. Karon lalu kembali melanjutkan muroja’ahnya. Bagi para penghafal Alquran adalah sebuah kebahagiaan jika ada orang yang membenarkan saat muroja’ah.

Baca Juga  Siapakah “Anak Jalanan” dalam Q.S. al-Tawbah [9]: 60?

Keesokan harinya, kejadian seperti itu pun berulang. Sosok tersebut kali ini tidak mendecakkan lidah. Ya. Dia hanya berdeham, lalu melafalkan ayat yang benar untuk membenarkan hafalan Karon. Dan lagi-lagi, Karon mengecek ayat yang dia baca. Lalu, ia pun melanjutkannya.

Berulang kali kejadian seperti itu terjadi. Ia pun kepikiran dan bertanya-tanya tentang siapakah gerangan lelaki ini? Siapa dia? Mengapa dia mendengarkanku muroja’ah setiap ba’da ashar?” Karena rasa penasarannya yang tinggi, keesokan harinya setelah ngaji dhuha, Ia memutuskan untuk menuju musola. Mesiki tak ada tanda-tanda seorang santri pun di sana, namun Karon tetap melangkahkan kakinya untuk pergi ke dalam musola tersebut.

Tak lelah dengan usahanya yang nihil, ia pun akhirnya segera bergegas menuju sekat kayu pembatas, tempat di mana biasanya ia duduk mengulang hafalannya. Sungguh ia terkejut, ketika ia menemukan Alquran dengan cover berwarna hitam bergaris abu-abu. Ia agak ragu untuk mengambilnya, namun karena rasa penasarannya yang tinggi, ia memberanikan diri mengambil Alquran tersebut.

Hatinya pun berkata, “Aku benar-benar takut”. Dengan membaca bismillah sembari menahan degup jantungnya yang terasa menggema seantero musola. Ia pun mengambil Alquran tersebut.

Ia pun mulai membuka Alquran tersebut dan melihat tanda hafalannya. Tepat di halaman kedua terakhir sebelum Surah Al-Mulk. “Ah dia sudah mau selesai.” ucap Karon dalam hatinya. Mengetahui hal itupun, Karon sangat senang dan kagum. Entah mengapa. Namun, apa yang membuatnya senang pun tak mampu dijelaskannya.

Karon pun segera membawa Alquran tersebut ke kamarnya. Kemudian, ia membeli kertas kado berwarna coklat tua dengan motif kayu-kayu di koperasi pondok. Lalu, mulailah ia sampul Alquran milik seorang santri putra tersebut.

Baca Juga  Gus, Hatimu Permata

Entah apa yang mendasarinya melakukan hal ini. Seakan-akan tangannya dengan segala keikhlasannya, ingin menghias Alquran sang santri putra tersebut. Tak lupa, Karon juga menuliskan ucapan terima kasih lalu diselipkannya tepat di halaman hafalannya. Beberapa saat kemudian, Karon kembalikan lagi Alquran itu sebelum pemiliknya datang. Dengan perasaan ketakutan, dalam hatinya ia berkata; “Aku khawatir dia tiba lebih dulu sebelum aku meletakkan Alquran itu kembali di tempat semula”.

Setibanya di Musola, Karon sedikit bernafas lega, karena kondisi musola masih sama seperti tadi. Sepi dan tidak ada tanda-tanda ada santri di dalamnya.

Karon lalu meletakkan kembali Alquran tersebut tepat diatas sekat kayu pembatas. Dadanya berdegup kencang. Irama jantungnya bisa dirasakan dan didengarnya. Namun ia benar-benar menikmati irama detak jantungnya tersebut.

Ia pun kembali ke kamar dengan perasaan entah yang bagaimana ia sendiri tidak bisa uraikan. “Tersipu? Ah entahlah. Aku juga tidak tahu” gumamnya dalam hati.

Keesokan harinya, Karon kedatangan tamu bulanannya. Itu tandanya ia tidak bisa ke musola selama kurang lebih seminggu.

Waktu terus berjalan, sudah beberapa tahun Karon telah meninggalkan pondoknya tersebut. Namun, ia tetap tak tahu siapa dia dan bagaimana sosoknya. Karena Karon juga tidak pernah mencoba untuk mengetahuinya dari siapapun. Ia menyimpan hal itu semua rapat-rapat. Niatnya hanya ingin berterima kasih padanya. Karena sudah membenarkan bacaannya saat muroja’ah dalam rentang waktu yang panjang.

Karon hanya berharap dia bisa merasakan apa yang dirasakannya. Walaupun Karon tidak tahu di mana dia ataupun dia sudah bersama dengan seseorang. Karon hanya ingin dia tahu, bahwa dirinya pernah begitu menyemogakan. Dan sungguh berterima kasih karena telah hadir dan menjadi bagian dalam cerita hidupnya. Dalam hatinya, Karon hanya mbatin, “Tuhan memang kadang hanya mempertemukan namun tidak menyatukan dalam sebuah ikatan.

Baca Juga  Ibnu Taimiyyah, Pemikiran Sufistiknya “Jarang” Diakui oleh Pengagumnya [Bag 2]

Dan ia selalu yakin, mungkin lain waktu, entah kapan. Akan tiba saatnya Allah mempertemukan dengan seseorang yang pernah hadir dalam perjalanan hidup kita. Entah dimana dan dalam situasi apa. Karon selalu menunggu saat itu terjadi. Semoga. Karon hanya mampu terus menerus berdo’a, kelak dipertemukan dengan orang-orang yang bisa melengkapi kekurangannya, dan membimbing dirinya untuk menjadi seorang perempuan yang bisa bermanfaat untuk banyak orang. [AA]