Ibadah haji adalah wisata suci yang mendorong jamaah menjauh dari ketergantungan dengan dunia dan segala isinya. Haji merupakan perjalanan spiritual. Ibadah haji memerlukan sikap tawadhu dan melepaskan diri dari berbagai kesenangan materi untuk bersimpuh di hadapan keagungan Allah SWT. berseragam putih-putih ketika ihram untuk mengingatkan kain kafan yang akan membalutnya saat kematian. Mereka menunaikan manasik yang sama di tempat yang sama, mengumandangkan talbiyah yang sama, wukuf di Arafah, thawaf, mabit, dan melempar jumrah.
Adapun dalil tentang haji yang tertera dalam Al-Qur’an maupun hadis sebagi berikut:
- Ali Imran ayat 97
وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلْبَيْتِ مَنِ ٱسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِىٌّ عَنِ ٱلْعَٰلَمِينَ
Artinya: “…mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. Ali Imran: 97).
- Al Baqarah ayat 196
وَأَتِمُّوا۟ ٱلْحَجَّ وَٱلْعُمْرَةَ لِلَّهِ
Artinya:”Dan sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah karena Allah.” (QS. Al Baqarah: 196).
- Al Hajj ayat 27
وَأَذِّن فِى ٱلنَّاسِ بِٱلْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ
Artinya: “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh,” (QS. Al Hajj: 27).
- Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim:
عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: سَمِعْت رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم يَقُولُ: ” بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، وَإِقَامِ الصَّلَاةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَحَجِّ الْبَيْتِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ”. [رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ] ، [وَمُسْلِمٌ].
Artinya: Dari Abu Abdur Rohman Abdullah bin Umar bin Khoththob Rodhiya allahu anhuma Ia berkata: Saya telah mendengar Rosulullahi Shollallhu alaihi wa sallam bersabda:” Islam didirikan di atas lima perkara: Pertama: Tiada Tuhan yang berhak di sembah melainkan Allah dan sesungguhnya Muhammad utusan Allah, kedua: Mendirikan Sholat, ketiga: Membayar Zakat, keempat: Menunaikan haji di baitullah [Makkah], kelima: Berpuasa di bulan Romadhon. [HR Buhkori dan Muslim]
Itu lah dalil-dalil yang menerangkan haji baik yang dimuat dalam al-Qur’an maupun hadis. Haji merupakan perjalanan spiritual, oleh karena itu memahami Ibadah Haji dari dimensi spiritulitas adalah sangat penting. Dimensi spiritualutas haji perlu kita pahami sebagai makna batin, makna yang terkandung dalam hikmah Ibadah haji.
Lantas siapakah yang memang diwajibkan untuk berhaji, apakah semua umat muslim di seluruh dunia atau hanya sebagian orang yang memiliki kelebihan harta. Dalam hal ini Nabi Muhamamd SAW pernah bersabda bahwa “Siapa yang memiliki bekal dan kendaraan yang bisa mengantarkannya ke Baitullah kemudian dia tidak berhaji, maka dia berhak mati dalam keadaan Yahudi maupun Nasrani.” Hadis ini menjelaskan betapa pentingnya perintah haji ini bagi yang memiliki kemampuan menjalankannya.
Syekh Ali Ahmad al-Jurjawi dalam kitabnya Hikmah al-Tasyi’ wa Falsafatuhu menguraikan hadis Nabi di atas. Dalam kitab tersebut Syekh Ali Ahmad al-Jurjawi mengatakan:
(Sesungguhnya sunah nabi—setelah al-Quran—sangat menekankan seluruh umat Islam untuk bergegas melakukan kewajiban haji yang bisa mengubahnya dari satu keadaan menuju keadaan yang lain. Hal itu diterangkan dalam hadis Nabi Saw., “Siapa meninggal dan belum melaksanakan haji padahal tanpa adanya larangan dari penguasa lalim, sakit parah, atau musuh yang nyata, maka dia meninggal sesuai kehendaknya baik menjadi Nasrani maupun Majusi.” Dalam hadis yang lain beliau juga bersabda, “Siapa yang memiliki bekal dan kendaraan yang bisa mengantarkannya ke Baitullah kemudian dia tidak berhaji, maka dia berhak mati dalam keadaan Yahudi maupun Nasrani.”)
Sementara dari aspek wujud haji, haji merupakan bentuk penghambaan kepada Allah. Kegiatan dan model berpakaian selama di haji memiliki makna sendiri-sendiri yang semuanya berlabuh pada bentuk penghambaan kepada Allah. Pakaian ihram menampakkan kesahajaan dan menghindari berbagai ekspresi dandan dan keindahan, serta mengimajinasikan diri sebagai seorang hamba yang meminta ampunan karena kerendahan dirinya dan berhenti karena kesalahan-kesalahannya.
Dengan tawaf mengelilingi Baitullah yang dianggap sebagai rumah Tuhan, maka hal itu diposisikan layaknya seperti seorang hamba yang berdiri di depan pintu Tuannya (Allah) mengadu kepadanya. Ibadah haji dikatakan sebagai bentuk mensyukuri nikmat karena ibadah ini adalah gabungan dari ibadah jasmani dan ibadah materi. Dan haji merupakan ibadah yang tidak bisa dilaksanakan kecuali dengan kesiapan jasmani dan harta benda. Pertanyaan ini pernah ditulis oleh Syekh Ali Ahmad al-Jurjawi dalam kitab Hikmah al-Tasyi’ wa Falsafatuhu.
Baitul Haram dijadikan tempat berhaji oleh Allah bukan tanpa alasan. Terdapat beberapa alasan mengapa Baitul Haram dijadikan sebagai tempat berhaji:
- Untuk mengingat perjuangan Nabi Ibrahim. Dengan mengingatnya, maka setiap Mukmin akan menyadari bahwa Nabi Ibrahim-lah yang membangun Ka’bah dan merestui orang-orang untuk berhaji.
- Tempat-tempat ini merupakan tempat kelahiran dan kampung halaman Nabi Muhammad SAW yaitu di kota Mekkah
- Di tempat inilah muncul agama yang benar dan cahayanya memancar ke seluruh pelosok dunia.
- Di tempat inilah doa Nabi Ibrahim dikabulkan oleh Allah SWT. Allah mengabulkan doa Nabi Ibrahim; dan akhirnya kota Mekkah dan sekitarnya menjadi makmur
- Tempat-tempat suci dan sakral tersebut adalah semenanjung Arab terbebas dari eksistensi non-Muslim sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadis, Tak akan berkumpul dua agama di kepulauan Arab.
Itulah alasan dibalik eksistensi haji itu sendiri. Dibalik alasan ditempatkannya haji di Baitul Haram hingga laku ibadah selama berhaji bertujuan untuk menghambakan diri kepada Allah. Gelar, kepangkatan, hiasan, kaya, miskin, semua mengenakan pakaian putih tak berjahit yang menandakan adanya kesetaraan antar manusia. (mmsm)