Ala'i Nadjib Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Pengurus Lakpesdam PBNU; Redaktur Tashwirul Afkar.

Jangan Padamkan Obor Ilmu: Surat Untuk Pesantren

3 min read

Setelah hampir tiga bulan di rumah, Inilah waktu dimana anak-anak saya kembali ke pesantren dan bersekolah, sebagaimana kelaziman yang  sudah terjadi tiap tahunnya. Umumnya, tanggal 10 Syawal adalah hari masuk dan tahun ajaran baru bagi sekolah, khususnya di lingkungan pesantren, dengan kurikulum mandiri atau yang disetarakan.

Namun, seperti yang dirasakan penduduk dunia lainnya, rutinitas ini harus terhenti smentara karena masyarakat pesantren pun menghadapi banyak tantangan berat yang tidak mudah karena pandemi global, Covid-19. Sungguh keadaan yang tiba-tiba ini telah menghentikan semua kelaziman dan rutinitas yang sudah puluhan tahun berjalan dan kini harus didesain ulang karena berhadapan dengan sesuatu yang ‘gaib’ ini.

Saya lebih memilih diksi “puluhan tahun, bukan satu abad, karena sejarah pernah mencatat tentang wabah flu Spanyol tahun  1918. Dan, sejauh ini saya belum tahu bagaimaana wabah yang sampai di Indonesia itu juga menimpa pesantren.  Zanusso, seorang pasien  perempuan di Italia Utara yang berusia  103  tahun yang tercatat telah berhasil melewati masa pandemi flu Spanyol tahun 1918 dan selamat dari dua perang dunia, dinyatakan positif terkena virus Corona. Namun ketika dokter memperkirakan nyawanya tak akan tertolong. Ia justru selamat.

Covid-19  jelas tantangan yang memukul tradisi pesantren, selagi  virus ini belum hilang, ia akan  mengenyahkan kekhasan kehihupan pesantren yang komunal bukan individual serta suasana kehidupan yang egalitarian. Lantas, apa jadinya kalau sekarang mereka menjadi sendiri-sendiri dengan suasana yang berbeda di rumah masing-masing. Apalagi, bagi seorang santri, rumah lebih diposisikan sebagai tempat untuk pulang, bukan tinggal, karena mereka memang kesehariannya tinggal di pesantren.

Mungkin banyak  wali santri yang juga berfikir, ketika anak-anaknya kembali ke pesantren, apakah mereka bisa kembali hidup pada situasi “tirakat”  setelah tinggal dalam suasana yang permissive di rumahnya masing masing. Ghalibnya,  mereka hidup setara di hadapan kiai (di hadapan Tuhan apalagi), bahkan kalau perlu mereka yang ‘lebih’ membantu yang kurang, pun juga dalam situasi yang lain.

Baca Juga  Kenapa Kelompok Ahlus Sunnah Tidak Memperingati Musibah Wafatnya Imam Husein di Karbala?

Bukan hanya soal pangan, sandang pun  ada limitnya. mengapa? ya karena ruang berbatas, pondok bukan tempat show off  tapi tempat-tempat tepo seliro. Mungkin satu dua ada yang lebih, pakaiannya, lauknyaya, meskipun tapi tak seberapa. Ingat anak-anak pondok sekarang tidak seperti zaman saat generasi saya dan para pembaca yang budiman sekalian yang dulu punya romantisme terong gosong di dapur.  Pernik-pernik  pondok bisa  kita gali dari anak anak kita kalau mereka pulang libur pesantren .

Pada tanggal 11 Syawal, banyak pondok pondok memang telah mengeluarkan surat revisinya dan menerapakan protocol kesehatan yang ketat dan akan menunggu sampai 25 Syawal, ketentuan pertemuan fisiknya. Ada sejumlah persyaratan yang memang memerlukan pembiayaan, ya karena Kesehatan kan memang perlu sarana dan memang bukan lembaga bisnis. Ia hanya semacam jangkar perpanjangan ilmu untuk disemai kepada siapa saja yang datang.

Karenanya jika ada sesuatu yang datang yang membutuhkan invest besar berupa materi, mencukupkan alat-alat kesehatan bagi santrinya , maka itu harus dilakukan secara swadaya. Pun demikian dengan sterilisasi tempat dan aturan physical distancing. Itu semua tidak murah, perlu waktu, perlu ongkos. Bagian dari ikhtiar menanggulangi wabah ini belum tentu bisa dilaksanakan, walapun mungkin ada yang bisa. “Bantuan Pemerintah?” Kendati  wakil presiden seorang santri, beliau tahu betul pembiayaan buat 26 ribu lebih positif covid adalah suatu yang luar biasa plus juga bantuan pangan pada rakyat yang terdampak.

Pada opsi dan  pilihan pilian yang berat itulah, antara  kembali  ke pondok dan belajar daring, ikhtiar extrim diperlukan agar semua selamat.

Sementara ini, yang bisa dilakukan adalah membuat jarak dengan pesantren, sementara tak datang atau sowan dan bermuwajah kepada guru dan kiai/nyai.  Sedih memang, yang biasanya ramai dengan suara suara nadham, sima’an bait-bait kitab, atau merdunya  barzanji serta ayat Quran yang menghanyutkan harus berganti menjadi keheningan dalam  tahanuts dan khusu’-nya para kiai dan  nyai yang bermunajat untuk semua anak-anak biologis dan sosiologisnya,

Baca Juga  Khilafah Sebagai Propaganda Politik Hizbut Tahrir

Namun pandemi ini tak boleh membuat pesantren menjadi  suwung secara mutlak, ia harus hidup. Jika protokol kesehatan tak membolehkan kerumunan, biarlah sebagian santri tetap ada menjaganya. bairkan mereka menjaga  para pengasuh dan kiai dan jangan biarkan mereka sendiri melewati kondisi ini.

Kalau  kami bisa memandangmu dari sini, barangkali kami sempatkan untuk hanya sekedar lewat, memandangi rumputan hijau depan pondok yang menyimpan rindu. Ada cerita disana, saat mengantri, saat menunggu panggilan karena ada yang sowan.

Kita memang diminta berjarak, menjaga jarak fisik. Tapi ada yang tidak boleh berjarak, yaitu doa doa, solidaritas  dan silaturahim. Tuhan memang  menciptakn virus namun Tuhan juga memberi kekuatan manusia untuk mengatasinya, Lihatlah tehnologi yang dianugerahkan  pada akal manusia, lihatlah pula santri sekarang yang sudah menjadi  mengglobal menjadi ‘warga dunia’.

Mereka menjadi Jemaah fesbukiyah, zoomiyah, sehingga kami tetap bisa  ngangsu dan mengaji.  Kami memang orang orang biasa, dikategorikan kaum tradisional, kaum sarungan. Etapi  tunggu dulu…, kami akan cepat menyesuaikan dan belajar dalam kenormalan baru  dengan segala peraturan ulil amri dan ulil ‘ilmi yang kami hormati. Tapi tahukah kami menyimpan rindu tak terbendung  bertemu guru dan mendekap buku buku matan. Rindu keteladanan yang terhijabi oleh dunia virtual.

Bagi para orang tua santri, inilah sebenar-benarnya tanggung jawab yang harus dijalankan. Sebab pengasuhan hakikatnya adalah tanggung jawabnya. Sekolah atau pesantren  hanya tempat berbagi. Biar mereka belajar realitas dan dunia luar, biar mereka tahu berbagi. Apalagi di Indonesia yang menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) lebih 60 persen pengasuhan anak didelegasikan (walau didalamnya tidak termasuk pengasuhan di pesantren).

Jangan bingung ya nak! jadikan rumah ini surge (jannah) yang diwasiatkan Nabi,  agar lebih dekat dan bersabar kepadaNya serta lebih bersyukur dalam setiap hembusan nafas, dalam jiwa raga yang sehat dalam melihat musuh yang tidak kasat mata, virus. Lihatlah Para ustaz,  kiai dan bu nyai dalam layar kotak yang semoga teman-temanmu bisa menjangkaunya semua, yang dalam keteduhan wajah mereka, bisa kau temukan damai dan sabar.

Ala'i Nadjib Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Pengurus Lakpesdam PBNU; Redaktur Tashwirul Afkar.

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *