Membincang Kesetaraan Gender dalam Perspektif Sufisme

3 min read

Sufisme jika dilihat dari sudut pandang gender termasuk dalam sebuah diskursus bebas gender atau tidak terikat identitas maskulin maupun feminim. Maskulinitas tidak akan muncul jika tidak ada feminitas. Dengan demikian, tidak ada yang lebih superior dalam sufisme, karena keduanya diciptakan untuk saling berkorelasi.

Pengetahuan dalam konsep gender antara aspek maskulinitas dan feminitas sebagai tonggak utama dalam wacana sufi sebenarnya mempertegas konsep tentang cinta. Dengan demikian, salah satu tokoh sufi yaitu Ibn Arabi mengurai “misteri kekuatan” wanita. Artinya, tanpa wanita, pria bukanlah seorang pria karena konsep utama feminitas menginspirasi lahirnya unsur maskulin. Dalam konteks ketuhanan, konsep ini diorientasikan pada pihak feminitas.

Dunia sufi mempertegas bahwa tidak dikenal identitas gender. Unsur paling utama adalah bagaimana kondisi kalbu manusia berfungsi sebagai titik sentral kehidupan. Kalbu bersifat immateri sehingga secara esensi hanya bisa menyatu pada zat yang immateri pula, yakni Tuhan. Tuhan sebagai zat yang Maha Suci dan sangat mustahil apabila menyatu dengan sesuatu yang kotor. Oleh sebab itu, tasawuf memberikan arahan proses penyucian dan pembersihan hati kepada sang pelaku, terlepas dari laki-laki maupun perempuan.

Dalam diskursus gender, feminitas dan maskulinitas menjadi konsep utama. Feminim diidentifikasikan dengan nuansa penuh dengan kelembutan, perlindungan, kasih sayang, keibuan. Sedangkan maskulin cenderung dengan kegagahan, kekasaran, keperkasaan. Aspek dualitas dalam gender juga ada pada Tuhan, sehingga konsep dikotomik dalam gender sebenarnya juga ada pada diri Tuhan yang terlihat dari segi nama dan sifat-Nya.

Ditinjau dari aspek kosmologi sufi, maskulin dan feminim mempunyai karakter aktif dan pasif. Sehingga menjadi acuan munculnya kosmos (aktif), oleh karena itu Tuhan lekat dengan simbol maskulin, sementara kosmos adalah feminim. Terlepas dari hal tersebut, dalam wacana sufi muncul realitas bipolar yang menekankan pada sebuah kepastian. Realitas ini yang membedakan antara kosmos dengan Tuhan.

Baca Juga  Pembebasan Perempuan dari Belenggu Sejarah Patriarki

Kajian gender memberikan pemahaman perbedaan antara laki-laki dan perempuan, ketika dilihat dari stigma sosial budaya yang semakin berkembang. Pada era modern saat ini, baik laki-laki maupun perempuan terlihat bersaing serta mau menguasai dalam segala bidang. Dengan demikian, persoalan gender menjadi sesuatu yang sangat signifikan.

Konsepsi Gender Dalam Kajian Sufisme

Sebagian ulama sufi mendasarkan kaidah kesetaraan gender dalam sufisme pada Alquran, surat Shad (33) aya 75-76.

قَالَ يٰٓاِبْلِيْسُ مَا مَنَعَكَ اَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ ۗ اَسْتَكْبَرْتَ اَمْ كُنْتَ مِنَ الْعَالِيْنَ قَالَ اَنَا۠ خَيْرٌ مِّنْهُ خَلَقْتَنِيْ مِنْ نَّارٍ وَّخَلَقْتَهٗ مِنْ طِيْن

“Wahai Iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Aku ciptakan dengan kekuasaan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri atau kamu (merasa) termasuk golongan yang (lebih) tinggi?” Iblis berkata, “Aku lebih baik dari padanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.”

Dalam ayat tersebut, hal yang menarik ialah bahwa Tuhan menggunakan idhom خَلَقْتُ بِيَدَيَّ (yang aku cipta dengan kedua tangan-Ku), yakni dua pasang yang tidak terpisahkan, sebagaimana dua pasang antara laki-laki dan perempuan yang saling melengkapi.

Bagi kalangan sufi, kata “kedua tangan Tuhan” ini dimaknai sebagai isyarat bahwa manusia adalah makhluk Tuhan satu-satunya yang diciptakan dengan segala anugerah pada sifat kesempurnaan-Nya. Sifat tersebut terdiri atas sifat Jalal dan sifat Jamal. Sifat Jalal dilambangkan sebagai “tangan kanan” sedangkan sifat Jamal dilambangkan sebagai “tangan kiri”.

Hal tersebut membuktikan bahwa keserasian serta perpaduan Tuhan melambangkan bentuk Kemahasempurnaan-Nya. Dalam konteks “kedua tangan Tuhan” mengandung makna potensi manusia yang sempurna karena didalam individual terdapat sifat-sifat Jalal dan Jamal Allah Swt. Jalal identik dengan sifat-sifat maskulin dan Jamal dengan sifat-sifat feminin.

Pendekatan Kajian Sufi Sebagai Paradigma Kesetaraan Gender

Baca Juga  Ada Rasulullah di Antara Aisyah dan Khadijah

Konsep pendekatan sufistik menjadi acuan yang baik dalam perdebatan perihal apakah laki-laki maskulin lebih tinggi daripada perempuan yang feminim, ataukah keduanya setara. Pada dasarnya, sudah dijelaskan dalam Alquran dan hadith yang secara tekstual memberi kesan bahwa perempuan ialah secondary creation sedangkan laki-laki adalah the first sex.

Kajian tasawuf lebih menekankan pada aspek kualitas watak dan perangai dari gender maskulinitas dan feminitas tanpa melihat dari sisi laki-laki dan perempuan sebagai makhluk yang berbeda jenis kelamin. Karena, kelamin tidak menjadi faktor pembeda secara esensial, sebagaimana atribut lahiriah lainnya, seperti kulit, rambut, suara, cara berjalan dan lain sebagainya.

Secara kontekstual, kedudukan laki-laki dan perempuan sederajat dan setara pada dimensi moral maupun ritual dalam  hak dan kewajiban untuk melaksanakan kepatuhan terhadap Tuhan.

Tasawuf lebih mementingkan pada dimensi “dalam” serta melihat pada inti, yaitu karakteristik jiwa manusia dengan cara menyucikan jiwa. Meskipun secara lahiriah laki-laki sebagai simbol maskulin dan perempuan simbol feminim, sebenarnya perbedaan antara peran dan fungsi yang ada pada diri mereka yang tentunya tidak perlu dibesar-besarkan; apalagi sampai menimbulkan pertikaian antar keduanya.

Keduanya seharusnya justru saling melengkapi dan membangun sinergitas yang harmonis demi terciptanya kedamaian; serta mewujudkan impian semua umat manusia dalam menjalani kehidupan. Dalam hal pendekatan diri kepada Tuhan, perempuan secara kodrati sebagai hamba (Yin) dan laki-laki sebagai khalifah (Yang). Dari segi tasawuf laki-laki diasumsikan muatstsir yang berdampak pada pengaruh dalam segala hal, sedangkan perempuan diasumsikan ma’tsur yang menerima pengaruh.

Sebenarnya sikap pasrah pada perempuan jauh lebih penting dibandingkan sikap kejantanan pada laki-laki. Sebab, dalam perspektif tasawuf kepasrahan dalam Islam merupakan sayarat mutlak (sine qua non) yang harus dimiliki oleh semua individu. Sementara, relasi fungsional sebagai dasar kemanusiaan, dimana laki-laki sederajat di atas perempuan “wa ala ar-rijal ‘alaihinna darajah”. Lalu ketika keduanya bersatu maka akan menjadi manusia yang sejati.

Baca Juga  Ibu, Ramadan, dan Covid-19

Dengan demikian, kita menyadari bahwa di dalam diri setiap manusia, baik laki-laki atau perempuan, terdapat sisi maskulin dan feminim. Masing-masing dari keduanya memiliki sisi positif dan negatifnya.

Tugas dari setiap insan ialah berusaha agar sifat positif maskulin dapat bersinergi dengan sisi positif dari feminin. Sebab, apabila sisi negatif masih menguasai antara feminin dan maskulin, hal itu tidak menjadikan kedamaian serta ketenteraman melainkan kehancuran, marginalisasi, penindasan, dan lain sebagainya.