Saya mendengar kisah yang akan saya tulis ini dari ceramah KH. Ahmad Bahauddin Nursalim yang biasa dipanggil Gus Baha’. Di perjalanan atau di saat-saat senggang, saya biasa mendengarkan pengajiannya lewat Youtube, suatu kebiasaan yang mungkin juga dilakukan oleh ribuan orang. Sebagaimana adatnya, pengajian Gus Baha’ selalu berlangsung dengan ger-geran, khas pengajian kiai-kiai NU. Sepenting apapun pesan yang disampaikan selalu dinyatakan dengan cara sederhana dengan penekanan yang tidak membuat pendengar merasa terintimidasi.
Salah satu tema yang sering diulang-ulang adalah beragam jalan menjadi waliyullah. Waliyullah adalah manusia berderajat istimewa setelah derajat nabi/rasul. Menurut Abu Qasyim al-Qusayairi, seorang wali adalah orang yang ketaatannya terus-menerus tanpa terciderai oleh maksiat. Ia selalu dilindungi oleh Allah dengan penjagaan dan pemeliharaan sehingga terhindar dari kehinaan kemaksiatan.
Karena kedekatannya dengan Allah ini lah seorang wali biasanya memiliki karamah (keramat), yaitu kemampuan yang berada di luar nalar wajar manusia. karamah ini sepertti alnya mu’jizat yang dimiliki oelh para nabi dan rasul. Meskipun demikian, esensi dari kewalian seseorang bukan lah pada kekeramatannya, tapi pada ketaqwaannya kepada Allah.
Menurut Gus Baha’, untuk menjadi seorang wali, seseorang tidak perlu mengingkari keberadaannya sebagai manusia yang memiliki nasfu basyariah (bersifat kemanusiaan), seperti makan, minum, syahwat dan sebagainya. Seseorang bisa diangkat derajatnya menjadi wali bukan karena ia tidak memiliki nafsu basyariah, tapi karena sanggup mengelola dan melampaui nafsu-nafsu itu.
Seseorang dianggap saleh bukan karena ia tidak memiliki nafsu untuk kaya, namun karena ia sanggup tidak melakukan korupsi sekalipun nafsunya mengajak dan memiliki kesempatan untuk melakukannya. Seseorang dianggap sebagai hamba yang bertakwa bukan karena ia tidak memiliki syahwat, namun ketika memiliki kesempatan untuk melampiaskannya namun ia justru memilih untuk berlari dari perbuatan dosa.
Gus Baha’ kemudian meenceritakan kisah seorang pemuda yang menjadi wali karena memilih untuk tidak berbuat zina, padahal ia telah mendapatkan kesempatan penuh untuk melakukannya. Kisah ini diambil dari sebuah hadis muttafaqu `alaih (diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim).
Alkisah, tersebutlah tiga orang pemuda yang melakukan perjalanan. Ketika malam telah tiba mereka memutuskan untuk beristirahat di sebuah gua. Tapi betapa malangnya, ketika mereka berada di dalam gua, ada batu yang sangat besar menggelinding dari atas gunung dan menutup pintu gua. Ketiga pemuda itu terjebak di dalamnya. Kemudian, ketiga pemuda itu berdoa kepada Allah agar dibukakan pintu gua dengan menyebut amal kebaikannya yang secara tulus pernah dilakukan semata-mata mencari ridha Allah.
Di sinilah kisah ini bermula. Satu per satu pemuda itu berdoa kepada Allah dan menyebut amal kebaikan yang mereka rasa sungguh-sungguh dilakukan karena Allah. Salah satu pemuda berdoa sebagai berikut:
اللَّهُمَّ إِنَّهُ كَانتْ لِيَ ابْنَةُ عمٍّ كانتْ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَيَّ”وفي رواية: “كُنْتُ أُحِبُّهَا كَأَشد مَا يُحبُّ الرِّجَالُ النِّسَاءِ، فَأَرَدْتُهَا عَلَى نَفْسهَا فَامْتَنَعَتْ مِنِّى حَتَّى أَلَمَّتْ بِهَا سَنَةٌ مِنَ السِّنِينَ فَجَاءَتْنِى فَأَعْطَيْتُهِا عِشْرينَ وَمِائَةَ دِينَارٍ عَلَى أَنْ تُخَلِّىَ بَيْنِى وَبَيْنَ نَفْسِهَا ففَعَلَت، حَتَّى إِذَا قَدَرْتُ عَلَيْهَا”وفي رواية: “فَلَمَّا قَعَدْتُ بَيْنَ رِجْليْهَا، قَالتْ: اتَّقِ اللهَ وَلاَ تَفُضَّ الْخاتَمَ إِلاَّ بِحَقِّهِ، فانْصَرَفْتُ عَنْهَا وَهِىَ أَحَبُّ النَّاسِ إِليَّ وَتركْتُ الذَّهَبَ الَّذي أَعْطَيتُهَا، اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتُ فَعْلتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فافْرُجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيهِ، فانفَرَجَتِ الصَّخْرَةُ غَيْرَ
Arti bebasnya sebagai berikut: “Ya Allah, aku memiliki sepupu wanita yang sangat kucintai layaknya seorang laki-laki yang menggebu-gebu mencintai seorang perempuan. Aku ingin menggaulinya, tapi dia selalu menolak ajakanku. Datanglah musim paceklik. Dia datang kepadaku untuk meminta bantuan. Aku memberinya seratus dua puluh dinar dengan syarat dia mau aku gauli. Dia pun setuju. Saat aku sudah berada di antara pahanya, dia berkata: “Bertaqwalah kepada Allah, jangan pecahkan tutup (bersetubuh) kecuali dengan cara yang haq. Seketika aku tersadar dan lari meninggalkannya. Padahal, dia adalah perempuan yang paling kucintai. Uang yang telah kuberikan kepadanya tidak aku ambil lagi. Ya Allah, jika perbuatanku itu aku lakukan semata-mata untuk mencari ridha-Mu, maka berilah padaku jalan keluar.” Lalu, batu itu pun bergeser….
Dengan gaya khasnya, Gus Baha’ menjelaskan bahwa sebagaimana manusia biasa, pemuda itu juga memiliki syahwat. Sebagai laki-laki, dia memiliki syahwat yang menggebu-gebu kepada perempuan yang sangat dicintainya. Dia dengan segala cara merayu perempuan yang dicintainya untuk berbuat kemaksiatan.
Sebagaimana banyak kisah lelaki yang memperdaya perempuan malang dengan kekayaan, pemuda itu pun bermaksud memperdaya si perempuan dengan uang yang dimilikinya. Dia menawarkan bantuan keuangan kepada si perempuan yang sangat membutuhkan dengan barter tubuhnya. Karena sangat membutuhkan, si perempuan meng-ya-kannya.
Mari kita bayangkan, kecamuk seperti apa yang ada di dalam batin perempuan yang terpaksa menyerahkan tubuhnya untuk beberapa receh uang yang sangat ia butuhkan. Luka seperti apa yang menggores hatinya. Sedalam apa dia merasa terhinakan.
Marilah kita bayangkan tawa seperti apa yang ada di dada laki-laki yang merasa akan bisa mengangkangi tubuh perempuan dengan kekayaannya. Apakah si laki-laki berpikir tentang kehancuran dan kehinaan si perempuan? Yang ada di benaknya mungkin hanya kepongahan karena gairah yang sekian lama dipendam akhirnya akan segera bisa terlampiaskan hanya dengan beberapa receh uang.
Dalam detik-detik krusial seperti itu, saat laki-laki itu telah berada di antara paha perempuan yang sepenuhnya telah dikuasainya, si laki-laki masih sanggup membuat pilihan untuk lari dari perbuatan nista. Kalimat “Bertaqwalah kepada Allah!” yang keluar dari bibir perempuan suci yang lemah masih sanggup mengembalikan iman dan taqwanya.
Detik-detik itu adalah saat yang paling menentukan untuk membuat pilihan. Tak setiap orang sanggup melakukannya karena membelokkan syahwat saat ia berada di puncaknya dan kesempatan yang sepenuhnya terbuka adalah pilihan yang nyaris mustahil. Tapi, justru karena inilah Allah mencintai pemuda itu dan mengabulkan doanya.
Jadi, jalan untuk menjadi waliyullah (hamba yang dicintai Allah) bukan dengan cara mengingkari eksistensi kemanusiaan kita dengan segala nafsunya. Tapi, mengakui kemanusiaan kita dan mengeola segala nafsu yang melekat di dalam diri kita agar sesuai yang diinginkan Allah. Di sinilah kita akan mendapatkan ridha-Nya, insya Allah! [AA]