Pandemi dan Dua Pakaian Santri

Foto: https://www.nu.or.id/

“Besok kalau kalian sudah lulus dari pondok, kalian harus memakai dua lapis pakaian (rangkepan). Pakaian yang dalam adalah baju “kesantrianmu” dan pakaian luarnya terserah, yang penting dibenarkan oleh syariat”.

Begitulah kira-kira pesan dari kiai kami kepada saya dan kawan-kawan saya sebelum kami lulus dari sebuah pondok pesantren di daerah pantura. Pesan yang bagi saya bukan hanya untuk dipamerkan sebagai quotes yang dipajang di fitur story berbagai media sosial. Bukan juga pesan yang hanya dipajang sebagai quotes di kaos-kaos yang bernilai materi.

Pesan inilah yang menjadi kekuatan bagi saya dan kawan-kawan saya tentunya. Untuk berani melangkah dan bermimpi lebih jauh dari batas mainstream lulusan pesantren, yang mana selama ini distigmakan hanya sebagai tukang tahlil, tukang doa dan sebagainya. Pesan ini tak akan bisa ditukar dengan materi.

Ada beberapa poin penting yang saya pahami dari pesan kiai saya di atas;

Pertama, sudah saatnya santri untuk berani tampil di berbagai lini kehidupan. Bukan hanya sebagai calon pemuka agama yang selama ini telah menjadi stigma mainstream. Lebih dari  itu, sudah saatnya santri mengisi lebih banyak lini di bidang kehidupan lainnya. Menjadi pakar ekonomi, pakar hukum, dokter, fisikawan, polisi, tentara bahkan sudah saatnya santri lebih banyak mengisi di pemerintahan. Sehingga tidak boleh lagi ada perkataan “santri kok jadi pegawai, santri kok kedonyan” lagi. Stigma seperti itu sudah harus dibuang jauh-jauh.

Santri tidak boleh minder atau takut untuk menggeluti dunia “luar pesantren”. Sekali lagi, sudah saatnya santri mengisi lebih banyak lini kehidupan. Poin ini tidak boleh dipahami sebagai anjuran kepada santri untuk menjadi materialistik, kedonyan, gila jabatan. Ini pemahaman yang salah. Logical fallacy.

Mari kita sedikit membaca sejarah kejayaan Islam. Sekitar tahun 750 M-1258 M, merupakan tahun kejayaan Islam. Pusat peradaban berada dalam genggaman umat Islam.

Banyak ulama-ulama Muslim yang berkontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Ulama-ulama tak hanya menekuni bidang keagamaan seperti tafsir, fiqih dan tasawuf saja. Banyak ulama-ulama yang menyumbangkan ide untuk keilmuan umum seperti matematika, astronomi, kedokteran, dan filsafat. Pada masa itu, sekat dikotomi antara keilmuan Islam dengan keilmuan umum hampir tidak terasa. Peradaban yang penuh keyakinan bahwa semua ilmu pengetahuan berasal dari-Nya.

Masa kejayaan Islam sebagai pusat peradaban telah berhasil melahirkan banyak ilmuwan, insinyur, dan filsuf. Sumbangan keilmuan mereka juga bisa kita rasakan sampai sekarang. Namun dalam tulisan ini, saya tidak akan membahas tokoh-tokoh Muslim di era itu. Tulisan tentang ilmuwan-ilmuwan Muslim sudah banyak berserakan di berbagai buku dan internet. Membaca sejarah adalah salah satu cara untuk mengubah diri menjadi lebih baik.

Kembali kita ke zaman sekarang. Era yang  banyak mengubah cara kehidupan manusia menjadi lebih instan. Kecanggihan teknologi dan kemajuan ilmu pengetahuan telah mengubah cara pandang manusia terhadap kehidupan. Era yang telah membelah dimensi kehidupan manusia menjadi dunia nyata dan dunia maya. Era tatap muka namun tanpa bertemu secara langsung. Kita semua telah sampai di zaman yang semuanya serba ada dalam genggaman. Dan, santri harus siap dalam mengahadapi era teknologi ini.

Untuk itu, pesan kiai saya di atas adalah pelecut bagi santri untuk setidaknya bisa mengikuti arus zaman ini, atau bahkan melampauinya. Bukan terseret arus yang membuat kita kebablasan. Bukan juga melawan arus yang pada akhirnya hanya membuat kita kelaparan. Sekali lagi, santri harus berpakaian dua lapis. Pakaian luarnya adalah cara menggengam dunia.

Poin kedua dari pesan kiai saya di atas adalah, bahwa fondasi sebagai santri harus mengakar kuat. Santri bukan sekadar status sosial. Lebih dari itu, santri adalah simbol moral. Pemahaman keagamaan harus senantiasa tertanam dalam hati. Status moral sebagai santri harus menjadi landasan di setiap langkahnya. Prinsip yang dibangun selama mengaji dan mengkaji di pesantren harus senantiasa menjadi nafas dalam setiap perbuatannya. Kapanpun dan di manapun.

Apapun pakaian luarnya, landasannya adalah pakaian kesantrian. Pakaian inilah yang mengontrol pakaian luar seorang santri dalam menggengam dunia. Orientasi dunia seorang santri adalah untuk agama, untuk kehidupan yang lebih abadi. Ini keniscayaan bagi seorang santri.

Pandemi yang datang secara tiba-tiba ini setidaknya juga menguji eksistensi santri dan kehidupan pesantren itu sendiri. Pandemi corona mengharuskan kegiatan pembelajaran di pesantren dilaksanakan secara daring. Kabar baiknya, platformplatform media sosial mulai dibanjiri oleh kajian khas pesantren, yang mana selama ini memang kehidupan pesantren seolah malu untuk tampil di dunia media sosial. Kajian di media sosial di beberapa tahun terakhir telah disesaki oleh kajian paham ekstremis. Pandemi ternyata juga memberi dampak positif.

Datangnya pandemi ini telah menguji santri dalam melaksanakan prinsip “menjaga tradisi yang baik dan berinovasi dalam hal yang lebih baik”. Kecanggihan teknologi adalah inovasi yang lebih baik jika digunakan secara baik pula. Ini adalah salah satu momentum bagi santri untuk mengikuti arus. Bukan melawannya atau bahkan justru terbawa olehnya.

Dua lapis pakaian santri ini harus dipakai sebaik mungkin. Pakian luar sebagai inovasi dan pakaian bagaian dalam sebagai prinsip. Dua lapis pakaian ini adalah cara hidup santri. Termasuk dalam kondisi sulit seperti pandemi sekarang ini. [MZ]

0

Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Arab UIN Sunan Kalijaga; Sedang Mengabdi di PP Wahid Hasyim Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Post Lainnya

Arrahim.id merupakan portal keislaman yang dihadirkan untuk mendiseminasikan ide, gagasan dan informasi keislaman untuk menyemai moderasi berislam dan beragama.