Beberapa Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKIN) di Indonesia, khususnya di pulau Jawa telah mencoba mengembangkan konsep integrasi ilmu. Salah satu sumber yang digali adalah warisan dakwah Walisongo. Oleh karenanya, sebagian besar PTKIN berstatus Universitas Islam Negeri (UIN) di Jawa bernamakan tokoh-tokoh Walisongo.
Dalam kaidah Islam sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Taimiyah bahwa “al-ism yadulla ‘ala ma yusamma” (Nama menunjukkan apa yang dinamai). Maka muncul pertanyaan, benarkah nama seperti Sunan Kalijaga, Sunan Ampel dan Sunan Maulana Malik Ibrahim yang menjadi nama UIN-UIN itu tercermin dalam pengembangan keilmuan, atau hanya sekedar tempel nama? Maka tulisan ini akan mendedah spirit dakwah Walisongo dalam pengembangan tiga UIN, setidaknya pada tiga aspek:
Pertama, Islamitas (Islamicity). Pada aspek ini, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang nampak lebih Islami. Hal ini ditunjukkan pada penggunaan logo lembaga yang menggunakan lema Ûlû al-Albâb yang tertulis dalam bahasa Arab. Kata dan profil Ûlû al-Albâb berdasarkan QS. Ali Imrân [3]: 190-191. Ayat ini menggambarkan penyandang Ûlû al-Albâb adalah orang yang selalu berzikir dalam keadaan berdiri, duduk dan berbaring, serta selalu memikirkan ciptaan Allah baik yang ada di langit maupun di bumi.
Sementara logo UIN Sunan Ampel Surabaya tergambar: (1) Sembilan sudut yang bermakna jumlah Walisongo; (2) Rajutan dengan membentuk sembilan sudut yang saling terkait. Ini menandakan simbol Bhinneka Tunggal Ika, atau harmoni dalam keberagaman; dan (3) Simbol Twin Towers berwarna kuning emas. Simbol ini menunjukkan integrasi keilmuan yang melambangkan puncak kejayaan.
Sedangkan logo UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tergambar bunga matahari dengan satu tangkai dan dua lembar daun warna hijau bercorak bunga menyerupai jaring laba-laba, yang menunjukkan kesalingterkaitan dan keterhubungan antara sains dan agama yang terpatri dalam ikon mozaik pada dinding luar gedung bangunan UIN—diambil dari ornamen pada dinding Istana Alhambra masa Khalifah Bani Umayah di Granada, Spanyol.
Kedua, lokalitas (Locality). Pada aspek ini, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan UIN Sunan Ampel Surabaya lebih eksplisit mengungkapkannya daripada UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Lokalitas itu nampak pada tulisan-tulisan berbahasa Jawa yang merupakan kutipan kalam dari masing-masing tokoh sunan. Bahkan di UIN Sunan Ampel Surabaya lokalitas itu sampai pada ritus keagamaan berupa tawassul (mengirim doa secara berjenjang dari nabi, hingga Sunan Ampel).
Di UIN Sunan Ampel Surabaya, penampilan lokalitas lain terlihat pada “Quote of Corner”, yang menampilkan wajah Sunan Ampel dengan kutipan kalamnya: “ilmu ingkang sayaketi, den dhemit anggonipun” (Sunan Ampel/Bong Swi Hoo (1401-1481). Tulisan ini terpampang di sudut ruang Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam.
Sedangkan di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta simbol lokalitas tertera pada dinding depan Masjid Kampus yang diambil dari Serat Lokajaya (nama muda dari Sunan Kalijaga) yang berbunyi: “Anglaras Ilining Banyu Angeli Ananging Ora Keli (Lokajaya, Lor. 11. 626).” Jika diartikan, “Selaras Dengan Aliran Air Mengalir Namun Tidak Hanyut”. Tulisan tersebut memiliki pengertian bahwa hakikat hidup manusia itu bagaikan aliran air sungai.
Sementara itu, di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang lokalitas tidak ditampakkan secara eksplisit. Hanya melalui sebuah prasasti yang berada di Ma’had al-Jamiah, di mana di bawah prasasti itu adalah gundukan tanah yang diambil dari tanah kuburan sembilan makam Walisongo yang ada di pulau Jawa. Tanah itu konon juga didoai oleh para kiai yang ada di kota Malang.
Ketiga, modernitas (Modernity). Wujud modernitas dari UIN Maulana Malik Ibrahim Malang nampak pada bangunan gedung, kajian integrasi keilmuwan, corak penelitian dan karya ilmiah dosen, pengembangan fakultas kedokteran, sain dan teknologi.
Sementara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menampilkan modernitasnya melalui bagunan gedung (integrasi-intekoneksi), kajian-kajian keislaman yang memadukan corak Islam klasik dan kontemporer, seperti pada matakuliah Studi Islam Interdisipliner (SII) yang mengangkat topik dari tokoh-tokoh yang dianggap sangat liberal dan “kemajon” dalam pemikiran Islamnya serta matakuliah “Integrasi Islam, Sains dan Teknologi” pada Fakultas Saintek.
Adapun UIN Sunan Ampel Surabaya menampilkan modernitasnya dalam bentuk bangunan gedung menara kembar dan juga kajian-kajian Islamic Studies sebagai Mainstreaming program yang dikembangkan. Aspek modernitas pada UIN Surabaya ini nampak dari pengembangan gedung baru yang berkonsep “integrated twin tower”. Konsep tersebut memiliki tujuan untuk membangun struktur keilmuan di mana antara ilmu agama dan ilmu umum berkembang sesuai dengan karakteristik dan objek kajian dari masing-masing disiplin.
Namun, keduanya diharapkan berjalan secara bersama, memadai, wajar dan saling menyapa dengan berpedoman pada Alquran dan hadis. Di sisi lain, nuansa integrasi antara ilmu agama dan ilmu umum juga tergambar pada logo UIN Sunan Ampel yang merangkum perpaduan tradisi lokal dan kemajemukan sebagaimana cara dakwah Sunan Ampel.
Sedangkan UIN Yogyakarta mewarisi dakwah Sunan Kalijaga yang lebih banyak menggunakan pendekatan konsep akulturasi budaya, dalam bahasa lain konsep; “integrasi-interkoneksi” merupakan upaya untuk mendialogkan dan mengkombinasikan antara agama-ilmu atau ilmu-agama, sehingga terbentuk suatu keilmuan baru yang mengkaji ilmu umum dan agama yang pada akhirnya melahirkan suatu keilmuan yang sejalan dengan agama Islam atau sebaliknya.
Berbeda dengan UIN Yogyakarta dan UIN Surabaya, UIN Malang memiliki semangat Islamisasi dengan konsep integrasi “pohon-keilmuan”. Pemilihan nama Maulana Malik Ibrahim muncul setelah konsep integrasi keilmuwan sudah matang dan dijadikan sebagai pedoman pengembangan akademik dan kelembagaan kampus.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa ketiga UIN tersebut telah berhasil membangun grand design integrasi spirit dakwah Walisongo dengan keilmuan yang dikembangkan. Namun dalam wujud ideal, hal itu masih menyisakan pekerjaan rumah yang tidak mudah. Setidaknya, upaya mewarisi spirit dakwah Walisongo ini diharapkan tidak berhenti hanya pada tataran wacana saja, melainkan juga dapat menghasilkan produk-produk nyata yang manfaatnya dapat dirasakan masyarakat luas. [FM]