Ahmad Zainul Hamdi Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam dan Senior Advisor Jaringan GUSDURian

Tadarus Litapdimas (18): Islam Moderat Dalam Konteks Multi-track Diplomacy

3 min read

Dalam Rencana Strategis Kemeterian Luar Negeri Republik Indonesia 2015- 2019 dinyatakan bahwa sejak tahun 2004, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri RI dan Kementerian Agama RI telah melakukan serangkaian Dialog Lintas Agama (DLA), baik pada tingkat bilateral, regional maupun multilateral.

Pada tingkat multilateral, Indonesia telah aktif dalam berbagai forum DLA, a.l. melalui The Non-Aligned Movement (NAM) Interfaith Dialogue dan United Nations Alliance of Civilization (UNAOC). Bahkan pada Agustus 2014, Indonesia menjadi tuan rumah penyelenggaraan The 6th Global Forum of UNAOC karena Indonesia dinilai mampu mengembangkan kehidupan antarumat beragama dalam kerangka mencari solusi berbagai tantangan global.

Dialog Lintas Agama merupakan polugri yang dikembangkan Pemerintah Indonesia melalui strategi diplomasi soft power. Strategi ini menarik minat negara-negara sahabat untuk bekerja sama dengan Indonesia dalam mengedepankan sikap toleransi dan saling memahami antar sesama umat beragama dan antar peradaban.

Polugri ini dikembangkan Indonesia untuk melawan stereotype negatif tentang Islam yang berkembang di Barat di mana terdapat anggapan bahwa Islam berada di balik berbagai aksi terorisme. Kegiatan DLA melibatkan berbagai pemangku kepentingan yaitu tokoh agama, masyarakat sipil, akademisi, media, dan generasi muda.

Dalam konteks diplomasi soft power inilah multitrack diplomacy (diplomasi multijalur) dijalankan oleh Pemerintah Indonesia. Multitrack diplomacy adalah sebuah cara pandang terhadap proses diplomasi internasional sebagai sebuah sistem. Artinya, multitrack diplomacy tidak hanya mengandalkan para diplomat resmi, namun memanfaatkan berbagai stake holders untuk melakukan kerja-kerja diplomasi sesuai dengan kapasitasnya.

Multitrack diplomacy atau diplomasi multijalur setidaknya terdiri dari sembilan jalur: Pemerintah, NGO dan Profesional; Bisnis atau Perdagangan; Perorangan atau Individu; Penelitian, Pelatihan dan Pendidikan; Kegiatan Advokasi; Agama; Dana; dan Komunikasi dan Media. Hingga kini, agama menjadi salah satu jalur diplomasi yang dikembangkan oleh pemerintah Indonesia dalam menjalankan polugrinya.

Baca Juga  Tadarus Litapdimas [5]: Membela Manusia dalam Perspektif Teks Keagamaan

Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi menyatakan bahwa ada lima (5) prioritas polugri Indonesia 2019-2024: Diplomasi ekonomi, diplomasi perlindungan, diplomasi kedaulatan dan kebangsaan, peningkatan kontribusi Indonesia dan kepemimpinan, pembangunan infrastruktur dan diplomasi yang kuat. Dari lima prioritas ini, agama kembali masuk ke dalam skema polugri, terutama pada poin “Peningkatan kontribusi Indonesia dan kepemiminan” karena di situ ada isu countering extremism.

Sebagaimana yang dinyatakan dalam makalah Agus Salim, Dari Netral-Pasif ke Netral-Aktif, Islam moderat menjadi bagian dari diplomasi polugri Indonesia. Jika Islam moderat sebegitu penting dalam komunikasi internasional Indonesia, maka apa itu Islam moderat?

Di dalam buku Moderasi Beragama yang diterbitkan Kementerian Agama Republik Indonesia, dinyatakan bahwa moderasi beragama adalah cara pandang, sikap dan perilaku, yang mengambil posisi di tengah-tengah, selalu bertindak adil, dan tidak ekstrem dalam beragama. Posisi moderat juga merujuk pada keseimbangan antara komitmen terhadap agama yang diyakininya dan penghormatan terhadap keyakinan orang lain. Indikator moderasi beragama: komitmen kebangsaan, toleransi, antikekerasan, dan akomodatif terhadap kebudayaan lokal.

Sampai di sini, pemaknaan moderasi beragama tidak bermasalah. Namun pendefinisian atas istilah “moderasi beragama” akan jatuh pada penghakiman, bahkan pelanggaran kebebasan berkeyakinan, jika ia melangkah ke wilayah pemikiran. Sayangnya, kaki-kaki definisi “moderasi beragama” melangkah hingga ke wilayah pemikiran. Moderasi beragama juga dimaknai sebagai paham keagamaan yang berada di tengah antara konservatisme dan liberalisme, wahyu dan rasio.

Pertanyaannya adalah: Jika moderasi beragama diajukan sebagai antitesa dalam ekstremisme/radikalisme keagamaan yang melazimkan tindakan kekerasan, apakah liberalisme agama membawa ke arah kekerasan? Pertanyaan yang sama juga bisa diajukan dalam kasus pemahaman keagamaan konservatif, apakah konservatisme beragama melahirkan kekerasan?

Baca Juga  Mencintai Allah

Pertanyaan ini bahkan bisa diperlebar: Apa standar seseorang disebut sebagai moderat dalam beragama jika didefinisikan sebagai pemahaman keislaman yang seimbang antara rasio dan wahyu? Apakah pikiran-pikiran yang dikembangkan oleh Gus Dur, misalnya, masuk kategori moderat ataukah tidak? Kalau dikatakan ya (atau tidak), apa yang menjadi patokannya. Mungkin bagi pengikut Gus Dur, Gus Dur adalah pemikir Muslim moderat, tapi tidak sedikit yang menuduhnya sebagai liberal karena keberaniannya dalam melakukan reinterpretasi teks agama. Kasus serupa juga terjadi pada mantan Menteri Agama RI. Munawir Syadzali, yang mereinterpretasi ayat-ayat waris. Di sisi lain, banyak kiai pesantren yang mungkin di mata banyak kalangan dinilai sebagai Muslim konservatif. Apakah orang-orang ini akan kita keluarkan dari kamar Islam moderat?

Alih-alih mendefinisikan moderasi beragama (atau dalam hal ini Islam moderat) dengan cara membuat standar keabsahan tentang cara berpikir, istilah ‘Islam moderat’ sebaiknya diletakkan dalam konteks di mana istilah itu lahir. Istilah ini lahir sebagai antitesa dari cara beragama yang mengabsahkan penggunaan kekerasan dalam mencapai tujuan.

Muslim moderat bisa berwujud pada seorang Muslim konservatif maupun Muslim liberal. Konservatisme dan liberalisme dalam pemahaman keagamaan sama sekali tidak berkonsekuensi pada tindakan kekerasan. Oleh karena itu, istilah ‘Muslim moderat’ tidak harus mengeluarkan Muslim konservatif dan hanya memasukkan Muslim liberal, atau sebaliknya. Satu hal yang menandai Islam moderat adalah bahwa kelompok ini tidak menyetujui kekerasan sebagai cara untuk mencapai tujuan.

Esposito merumuskan definisi minimalis tentang siapa Muslim moderat. Menurutnya, “Minimal, Muslim moderat adalah mereka yang hidup dan bekerja dalam masyarakat, mengusahakan perubahan dari bawah, menolak ekstremisme agama, dan menganggap kekerasan dan terorisme sebagai sesuatu yang haram. …[Muslim] moderat merupakan kelompok masyarakat yang sangat beragam dan bermacam-macam yang      bisa menjangkau spektrum dari kelompok konservatif hingga reformis liberal”.

Baca Juga  [Cerpen] Skenario Tuhan yang "Rumit" untuk Sebuah Cinta

Jadi, Islam moderat merujuk pada orang atau kelompok Islam yang melakukan perubahan dari bawah sebagai konsekuensi dari misi dakwah, namun cara-cara yang dilakukan tidak ekstrem dan menolak kekerasan sebagai sarana mencapai tujuan.

Dengan meletakkan definisi Islam moderat seperti ini, kita tidak masuk dalam jebakan praktik inkuisisi pemikiran atau keyakinan seseorang. Yang kita fokuskan adalah pada kekerasannya, bukan pada mode of thought-nya. Karena itu, sejak awal diplomasi Islam moderat yang dibawa Indonesia ke luar negeri tidak merambah pada wilayah aliran pemikiran, tapi pada fungsinya sebagai antidote bagi kecenderungan keberislaman (keberagamaan) yang dipenuhi kekerasan dan penghancuran.

Mari kembali ke tiga tema penting yang dikembangkan pemerintah Indonesia dalam melakukan polugri dengan tema Islam moderat. Islam moderat diturunkan menjadi tiga tema besar: Islam moderat dan kebangsaan; Islam moderat dan perdamaian dunia; dan Islam moderat dan prinsip nir-kekerasan. Ketiganya sama sekali tidak mengadili cara berpikir, tapi menekankan pada fungsinya. Sekalipun tindakan bisa jadi didorong oleh cara berpikir tertentu, namun mendefinisikan Islam moderat dengan cara membentuk batasan-batasan pemikiran akan berisiko jatuh pada praktik inkuisisi. [FYI]

Ahmad Zainul Hamdi Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam dan Senior Advisor Jaringan GUSDURian

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *