Abraham Zakky Zulhazmi Pengajar di Prodi KPI, IAIN Surakarta

Menonton Unfinished Indonesia, Menghayati Keberagaman dan Moderasi Beragama

1 min read

“Kita berdiskusi pelan-pelan, dengan para uskup, dengan siapa saja. Jadi yang paling penting adalah memahami potensi, lalu bisa berbagi,” tutur Abah Rosyid, tokoh Muhammadiyah Maumere, di film Unfinished Indonesia.

Ia berkisah tentang caranya membangun relasi harmonis di Maumere, sebuah daerah di mana Islam yang sedikit jumlah pengikutnya hidup damai berdampingan dengan non-muslim. Di sana ia berhasil membangun IKIP Muhammadiyah yang kini terus berkembang. Abah Rosyid dan Maumere adalah teladan toleransi dan moderasi.

Saya berterima kasih kepada ISRL 2020 yang telah memutar dan mendiskusikan film Unfinished Indonesia. Salah satu film dari dari tiga film serial Indonesian Plurarities (dua lainnya: Beta Mau Jumpa, Atas Nama Percaya). Pemutaran dan diksusi film dihelat 2 November 2020.

Menurut saya, Unfinished Indonesia menjadi film penting karena ia merekam satu fase perjalanan bangsa terkait dengan keberagaman dan keberagamaan. Film itu cukup berhasil mendokumentasikan adanya suatu kelompok di Indonesia yang merasa Islam adalah agama yang superior sehingga harus “menguasai”, seorang pemimpin di Indonesia harus beragama Islam.

Kelompok itu seolah mengabaikan eksistensi agama lain yang diakui di Indonesia, yang juga memiliki kontribusi bagi bangsa. Fakta bahwa Indonesia adalah negara multikultur dan multireligi seakan diabaikan.

Menariknya, Unfinished Indonesia juga menampilkan kelompok yang tidak mempertentangkan antara agama dan nasionalisme, pun agama dan Pancasila. Mereka tidak sepakat dengan ide-ide khilafah yang mengebiri kebhinekaan Indonesia. Sehingga perjuangan yang mereka lakukan adalah menembuhkan cinta tanah air di tengah gempuran kolompok-kelompok yang menginginkan Indonesia berwajah tunggal. Mereka juga berjuang agar semboyan Bhineka Tunggal Ika tidak menjadi sekadar jargon tapi juga laku dalam keseharian.

Inaya Rakhmani, narasumber dalam acara diskusi film Unfinished Indonesia, berharap bisa menyaksikan lebih banyak lagi narasi lokal dari praktik beragama. Ia membayangkan bisa menyaksikan bagaiamana Islam di Padang, Islam di Aceh, Islam Papua dll. Semakin banyak keberagaman yang ditampilkan (dalam format dokumenter, misalnya) tentu akan semakin memperkaya kita.

Baca Juga  Menuju Implementasi Integrasi Keilmuan di PTKI dengan Kerja Induktif (Bag.2)

Bagi saya, film Unfinished Indonesia terasa relevan karena kebetulan kita juga sedang melihat sebuah tragedi di Prancis. Mencermati apa yang terjadi di Prancis hari ini dan respon atas kejadian itu membuat kita perlu merenungkan kembali makna moderasi beragama.

Beragama dengan cara-cara yang tidak berlebihan adalah kunci sikap moderat. Bahwa dalam beragama kita dituntut untuk tidak menyakiti hati pemeluk agama lain juga termasuk di dalamnya. Menyakiti hati saja tidak boleh apalagi sampai membunuh.

Kiranya film Unfinished Indonesia perlu mendapat layar dan penonton lebih banyak. Sebab menonton film garapan Watchdoc itu akan memantik diskusi yang kaya. Film itu boleh jadi menyadarkan kita bahwa pluralisme bukan sesuatu yang usang untuk dibahas. Sebab “pergolakan-pergolakan” di Indonesia seperti tak pernah usai. [AA]

Abraham Zakky Zulhazmi Pengajar di Prodi KPI, IAIN Surakarta