Moh Syaiful Bahri Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Sepotong Ingatan “Lebaran” di Rumah Kakek

2 min read

Lebaran kerap kali identik dengan mudik, baju baru, makanan dan bermaaf-maafan. Idul Fitri benar-benar ruang perjumpaan sekaligus media memperekat hubungan kekeluargaan. Kiranya, setiap hari raya, masyarakat Madura, khususnya di pulau tempat saya lahir, perantau akan mudik setahun sekali. Iya, ketika Idul Fitri. Barangkali, bagi perantau yang paling dirindukan adalah kampung halaman dan segala yang ada di dalamnya, termasuk cinta dan kasih sayang keluarga.

Idul Fitri tahun ini nyaris membuat saya terjebak di rantau. Pasalnya, saya ingin merasakan suasana Idul Fitri di tanah rantau. Seperti apa dan bagaimana momentum lebaran di rantau. Alih-alih meratapi kesendirian di kontrakan, saya justru pulang H-3 lebaran. Ibu adalah alasan saya untuk pulang. Iya, ibu segalanya bagi saya, dan karenanya saya bisa sekolah jauh-jauh ke Yogyakarta. Selebihnya, saya kangen suasana lebaran di rumah kakek, saudara nenek dari pihak ibu. Ji Kaddam, begitu disapa masyarakat sekitar.

Di rumah Ji (sebutan untuk kiai kampung) Kaddam, setiap lebaran banyak masyarakat berkumpul, mulai dari santri, alumni dan masyarakat sekitar. Di langgar yang terbuat dari bambu inilah semua kepentingan hilang seketika. Polemik pilkades, sengketa tanah, dan persoalan keluarga kerap diselesaikan dengan kekeluargaan (musyawarah). Yang paling saya suka lebaran di rumah Ji Kaddam adalah kue putri salju, kue kacang tanah, kue nastar dan tentu daging kambing.

Makanan khas di Madura, khususnya rumah kakek adalah nasi dan daging ayam. Cukup. Selebihnya adalah obrolan tentang ini dan itu. Pembahasannya ringan-ringan. Tidak model aktivis yang baru menginjakkan kaki di kampus. Tentu lebaran tahun ini bukan perkara angpao dan THR-an, ada banyak pertanyaan yang barang tentu saya cukup menundukkan kepala saat menjawab. Kapan mau nikah? Kuliahnya bagaimana? Tahun ini sudah lulus? Kerja apa di Yogyakarta? Dan pertanya-pertanyaan lain sambil membandingkan kehidupan teman-teman SD dan SMP. Sungguh mudik yang horor.

Baca Juga  Pemahaman Tekstual, Cikal Bakal Munculnya Aksi Radikal

Hasil keputusan sidang Isbat Kemenag Republik Indonesia menetapkan Idul Fitri 1 Syawal 1444 H jatuh pada hari Sabtu tanggal 22 April 2023, sedangkan Muhammadiyah melalui Maklumat Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 1/MLM/1.0E/2023 tentang Penetapan Hasil Hisab Ramadan, Syawal dan Zulhijah 1444 H, menyatakan bahwa 1 Syawal jatuh pada hari Jumat 21 April 2023. Kompas (20/04/2023). Artinya, Idul Fitri tahun 2023 dilaksanakan dua hari (versi Muhammadiyah dan Pemerintah). Muhammadiyah lebih dulu lebaran.

Perbedaan Idul Fitri tahun ini bukan pertama kalinya. Dua dekade terakhir, setidaknya masyarakat Indonesia merayakan lebaran Idul Fitri berbeda hari tiga kali. Tiga periode tersebut terjadi pada tahun 2006, 2007 dan 2011. Tentu perbedaan hari raya selalu diiringi dengan polemik di masyarakat. Alih-alih mencari titik tengah, justru saling caci maki yang menimbulkan gaduh. Sungguh beragama semacam ini cukup membosankan. Kerja-kerja perdamaian dalam menyikapi perbedaan perlu terus dipupuk. Toleransi dalam hal ini tidak cukup hanya menghargai perbedaan, tetapi mau hidup berdampingan, menerima dengan tenggang rasa atas perbedaan yang ada.

Berita mengenai Wali Kota Pekalongan yang menjawab Permohonan Izin Penggunaan Tempat dengan nomor surat 400.8/1335 di mana isi suratnya tidak bisa digunakannya Lapangan Mataram Kota Pekalongan untuk pelaksanaan salat idulfitri pada tanggal 21 April 2023. Cukup membuat kecewa. Model beragama seperti ini menunjukkan bahwa kita belum dewasa. Begitupun dengan Wali Kota Sukabumi juga mengeluarkan respons terhadap Pimpinan Daerah Muhammadiyah Sukabumi untuk melaksanakan salat Idulfitri di Lapangan Merdeka. Isi suratnya menunjukkan bahwa Lapangan Merdeka akan menggelar salat Ied yang akan dilaksanakan Pemkot Sukabumi.

Hal ini tentu menuai pro kontra di tengah masyarakat. Ada yang mencibir dan mengkritik habis-habisan dua daerah yang menolak pelaksanaan salat Idul Fitri di lapangan “fasilitas umum”, ada pula yang menyebut bahwa sikap tersebut adalah wajar mengingat Muhammadiyah lebarannya tidak sama dengan pemerintah. Sejak kapan fasilitas publik ditentukan oleh kuasa dan agama “organisasi” tertentu? Di sinilah ingatan saya kembali pada langgar Ji Kaddam. Langgar yang tidak pernah melaksanakan salat ied, tetapi masyarakat berkumpul sejak awal ramadan sampai lebaran ketupat. Tak ada perselisihan dalam obrolan dan silaturrahim di sana.

Baca Juga  Filosofi Kembang Telon: Mawar, Kenanga, dan Kantil

Langgar Ji Kaddam kerap berbeda dengan pemerintah. Beliau menggunakan metode hisab dalam menentukan awal puasa, tanggal 1 Syawal dan Zulhijah. Ji Kaddam memberikan kebebasan pada sanak keluarga, kadang menyuruh ikut pemerintah. Ia tidak pernah marah karena santri dan anak-anaknya ikut lebaran pemerintah. Sikap seperti ini membuat saya takjub. Jarang sekali ada tokoh masyarakat yang bersikap demikian. Di sini, saya tidak sedang menyalahkan siapapun, tidak sama sekali. Saya hanya mencoba mengenang dan mengingat kembali kampung halaman.

Idul Fitri tahun ini berbeda, mari kita hargai perbedaan ini sebenar-benarnya. Sikap dewasa dalam beragama sepatutnya ditampilkan dalam ruang-ruang publik. Beragama dengan ramah dan damai, tidak mencela dan mencaci pihak lain yang tidak sama ideologi, politik dan keyakinan. Selamat Idul Fitri 1444 H.

 

Moh Syaiful Bahri Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta