Situasi di Irak, termasuk Baghdad, telah mengalami banyak perubahan sejak invasi Amerika Serikat (AS) ke Irak pada tahun 2003. Invasi tersebut menggulingkan rezim Saddam Hussein, yang kemudian menyebabkan perubahan besar dalam dinamika politik, sosial, dan keamanan di negara tersebut.
Invasi Irak oleh AS pada tahun 2003, yang dikenal sebagai Operasi Iraqi Freedom, memiliki beberapa tujuan yang menjadi dasar bagi tindakan tersebut. Salah satu tujuan utama pemerintah AS adalah mengantisipasi klaim bahwa rezim Saddam Hussein memiliki senjata penghancur massal, seperti senjata kimia dan biologi serta program nuklir yang merupakan ancaman bagi keamanan regional dan global.
Pemerintah AS juga mengklaim bahwa rezim Saddam Hussein memiliki kaitan dengan kelompok teroris, termasuk al-Qaeda yang bertanggung jawab atas serangan 11 September 2001 di AS. Namun, pada kenyataannya, baik klaim soal senjata pemusnah massal maupun klaim yang ada hubungannya dengan kelompok teroris tersebut tidak pernah benar-benar terbukti.
Sayangnya, setelah invasi AS, Irak malah menghadapi sejumlah tantangan, termasuk konflik antar-etnis, antar-sektarian, serangan terorisme, dan ketidakstabilan politik. Konflik etnis dan sektarian yang terjadi di Irak cukup serius, terutama antara kelompok-kelompok Sunni dan Syiah. Bahkan hal ini mencapai puncaknya pada periode 2006-2007 ketika negara itu hampir tenggelam dalam perang saudara. Pembentukan pemerintahan baru juga malah memicu perdebatan dan konflik politik dalam negeri.
Setelah AS menarik sebagian besar pasukannya dari Irak pada tahun 2011, Irak masih menghadapi serangan terorisme, terutama dari kelompok ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) yang memaksa Pasukan AS kembali beroperasi di Irak untuk membantu melawan mereka. Selain itu, Irak juga menghadapi sejumlah tantangan ekonomi dan sosial, termasuk pengembangan infrastruktur yang terganggu, tingkat pengangguran yang tinggi, dan masalah kesehatan serta pendidikan.
Tentu, bukan berarti dengan berbagai konflik yang dialami Irak pascainvasi AS ini membuat rezim Saddam Husein menjadi rezim yang baik. Pemerintahan Saddam Husein dikenal sangat otoriter, karena represi politik dan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan. Namun, selepas invasi yang dilakukan AS yang berdalih untuk menyelamatkan Irak dari rezim Saddam Husein juga tidak membawa perubahan signifikan ke arah yang lebih baik.
Bahkan menurut survei yang dilakukan saat peringatan 20 tahun penggulingan Presiden Saddam Husein, 60% warga Irak merasa keadaan Irak saat ini tidak lebih baik ketimbang sebelum invasi yang dilakukan oleh AS tahun 2003.
Terlepas dari situasi Irak hari ini yang sangat dinamis. Dahulu, Irak atau lebih tepatnya Baghdad, sekitar abad ke-8 hingga abad ke-13 M adalah kota dengan peradaban paling maju pada masanya. Ibu kota Dinasti Abbasiyah itu menjadi salah satu pusat kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan perdagangan terkemuka di dunia.
Di bawah kepemimpinan khalifah-khalifah Abbasiyah seperti Harun al-Rashid dan Al-Ma’mun, kota ini menjadi tempat bagi para ilmuwan, filsuf, dan penyair terkemuka. Beberapa tokoh terkenal seperti al-Kindi dan al-Razi hidup dan berkarya di Baghdad. Para cendekiawan atau ilmuwan saat itu benar-benar dijamin negara agar memiliki hidup yang layak dan makmur, sehingga banyak cendekiawan-cendekiawan lain berdatangan ke Baghdad dan berkarya di sana.
Perpustakaan Bait al-Hikmah (Rumah Kebijaksanaan) didirikan di sana, yang berperan penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan pemikiran, yang salah satu proyek utamanya ialah penerjemahan besar-besaran yang dilakukan oleh para cendekiawan. Karya-karya klasik dari berbagai bahasa seperti Yunani, Romawi, dan Persia diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Aktivitas penerjemahan ini berdampak besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan, filsafat, dan literatur di dunia Islam dan selanjutnya memberikan kontribusi penting bagi warisan ilmiah dan intelektual dunia. Karena barangkali jika tidak ada aktivitas penerjemahan seperti ini, karya-karya klasik seperti milik Plato atau Aristoteles mungkin hilang dari peradaban.
Dalam aspek ekonomi, lokasi Baghdad yang strategis di sepanjang jalur perdagangan utama antara Timur Tengah, India, dan Asia Tengah, membuatnya menjadi pusat perdagangan yang makmur, dengan pasar-pasar yang ramai dan beragam barang yang diperdagangkan, seperti sutra, rempah-rempah, logam mulia, dan barang-barang mewah lainnya. Wilayah sekitar Baghdad, juga menghasilkan produk pertanian termasuk gandum, buah-buahan, dan sayuran.
Beberapa faktor tersebut juga menjadikan Baghdad sebagai tempat bertemunya berbagai budaya dan agama. Berbagai etnis, termasuk Arab, Persia, Yunani, dan Yahudi, hidup berdampingan dan berkontribusi bagi perkembangan budaya kota ini. Kehidupan sosial di Baghdad pada masa itu juga makmur. Pesta dan hiburan seperti pertunjukan teater, musik, dan tari menjadi bagian penting dari budaya kota.
Sayangnya, situasi Baghdad berubah drastis pada abad berikutnya. Pada abad ke-13, kota ini jatuh ke tangan Mongol selama penaklukan oleh pasukan Genghis Khan dan mengalami kehancuran yang parah. Baghdad benar-benar hancur, luluh lantak, dibantai habis oleh pasukan Mongol. Ribuan orang tewas dalam penyerangan tersebut, bahkan sejarah mencatat bahwa sungai Tigris saat itu berubah warna menjadi merah dan hitam karena darah manusia.
Setelah itu, Baghdad tidak pernah pulih sepenuhnya sebagai pusat budaya dan kekayaan seperti pada masa Abbasiyah. Meskipun begitu, sejarah keemasan Baghdad pada masa Dinasti Abbasiyah tetap menjadi salah satu periode yang penting dalam sejarah Islam dan tercatat manis dalam sejarah peradaban dunia. [AR]