Falsafah Tembang Lir-Ilir Sunan Kalijaga

Sunan Kalijaga adalah salah satu dari sembilan Walisongo yang menyebarkan ajaran agama Islam di tanah Jawa. Sunan Kalijaga menciptakan tembang lir-ilir ketika mementaskan pertunjukan wayang di kerajaan Majapahit, yang mana saat itu kerajaan Majapahit sedang berada di fase krisis kekuasaan.

Pada saat itu Raden Patah memberi wewenang kepada Sunan Kalijaga untuk melakukan penyerangan terhadap Majapahit. Akan tetapi Sunan Kalijaga enggan melakukannya. Baginya, kerajaan Majapahit sudah tak punya apa-apa. Maka langkah yang dilakukan Sunan Kalijaga adalah dengan menggubah sebuah tembang Jawa yang sarat akan makna (Wamugi, 2005).

Tembang tersebut dilantunakan di hadapan para raja, pejabat kerajaan serta rakyat. Ia berprinsip bahwa menangkap ikan harus dilakukan tanpa membuat air menjadi keruh. Melalui cara ini, Sunan Kalijaga mampu mengajarkan nilai-nilai Islam tanpa menyerang agama nenek moyang masyarakat pada saat itu.

Semua boleh menafsirkan tembang ini sesuai dengan keinginannya, karena tembang ini merupkan teks yang sangat kontekstual dan terbuka untuk ditafsirkan.

Lir-ilir.. lir-ilir… (seperti membangunkan orang)

Bangunlah. ayo bangun dari tidur kalian, saat di mana orang-orang yang sedang berselimut. Mereka sedang terlelap kemudian diperintah untuk bangun, mengerjakan salat, melihat keindahan sang Maha Pencipta, mentadabburi setiap anugerah yang diberikan, dan menuai hikmah dengan kalam Tuhan.

Tandure wis sumilir

Lihat tanaman-tanamannya (padi, jagung, kacang kacangan, dan lain-lain) sudah tumbuh subur. Siapa lagi yang menumbuhkan kalau tidak Yang Mahapencipta

Tak ijo royo-royo

Subur sekali tanaman-tanamannya, memang negara Indonesia ini gemah ripah loh jinawe. Sebatang kayu pun bisa menjadi bahan pangan (singkong), warna hijau melambangkan warna kejayaan. Seperti Agama Islam

Tak senggoh penganten anyar..

Saking subur dan hijaunya, membuat hati riang gembira seperti rasa riangnya pengantin baru. Rasanya sungguh bahagia. Sebagaimana menyambut agama baru, Islam.

Bocah angon bocah angon

Siapa yang dimaksud bocah angon? Hakikatnya kita semua sedang angon. Bocah angon ini bisa diartikan untuk siapa saja, terlebih untuk diri kita sendiri. Kullukum rā’in, setiap orang adalah pemimpin, tentunya pemimin untuk dirinya sendiri.

Penekna blimbing kuwi

Kenapa harus buah blimbing, kenapa tidak buah semangka atau jeruk atau yang lainnya. Bagi sebagian kalangan, buah blimbing adalah buah pribumi. Ada blimbing waluh dan blimbing buah, yang kesemuanya memiliki sisi yang berjumlah lima.

Ini menggambarkan bahwa bangunan agama Islam itu ada lima, seperti yang terdapat dalam kitab Arba’in Nawawi karangan Syaikh Nawawi al-Bantani dijelaskan pada hadis yang ketiga. Kemudian fondasi negara Indonesia, yakni pancasila terdiri dari lima pilar. Pun dengan jumlah waktu salat terdiri dari lima waktu.

Lunyu-lunyu penekna, Kanggo mbasuh dodotiro

Meskipun licin, tapi harus kamu memanjatnya. Walaupun susah, tapi pohon blimbing itu harus dipanjat. Dodot itu semacam pakaian kebesaran, dipakai saat-saat tertentu saja. Bisa diartikan pula pakaian takwa.

Adapun buah blimbing biasanya dipakai untuk mencuci pakain pada zaman dahulu, biar tetap awet warnanya. Keutamaan keutamaan itu harus kita panjat, kita dapatkan, lalu kita amalkan. Untuk apa? Untuk membasuh dan mensucikan diri kita dari berbagai kotoran-kotoran terlebih nafsu dan syahwat. Kenapa harus disucikan?

Dodot iro-dodot iro kumitir bedah ing pinggir, Dondomono, jlumatono,

Karena bajumu itu sudah sobek dan koyak, ia tidak utuh lagi seperti baju baru. Maka, jahitlah bajumu, rawatlah ia supaya bisa menjadi bagus lagi. Artinya, manusia yang sudah banyak melakukan dosa. Terkadang iri, dengki, hasad, marah, ghibah, zina mata, dan lain sebagainya.

Bersihkanlah dirimu, beristighfarlah, kembalilah ke jalan yang diridai Allah, bertobatlah. Untuk apa melakukan semua itu?

Kanggo sebo mengko sore

Sebo itu artinya menghadap atau sowan. Biasanya kalau menghadap atau sowan ke orang-orang mulia, seperti raja atau gusti. Maka orang Jawa mengenal paseban, yaitu tempat untuk menghadap raja. Maka pakailah baju yang bagus. Yang pantas dilihat. Maksudnya, perbaiki dirimu. Apalagi kali ini sowanmu kepada Allah Maharaja Diraja.

Mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane

Mumpung masih ada kesempatan yang Allah berikan kepadamu, mumpung masih bisa memperbaiki diri, mumpung belum terlambat, segeralah perbaiki semuanya. Ini mengajarkan kepada kita untuk memanfaatkan sebuah kesempatan sebelum datangnya kesempitan.

Yo surak o, surak iyo

Tak usah berpikir panjang, mari kita bersorak sorai. Katakanlah iya untuk sebuah kebaikan, dan katakan tidak untuk suatu keburukan. Lalu lakukanlah semua kebaikan-kebaikan itu untuk mendaatkan keutamaan-keutaman dan anugerah dihadapan Tuhan-Mu. Ini juga bisa diartikan marilah bersorak gembira untuk menyambut agama Islam, dan menjalankan semua syariat-Nya begitu pula menjauhi larangan-Nya.

Pada akhirnya, Sunan Kalijaga telah menggubah suatu syair Jawa atau yang disebut tembang untuk berdakwah, mengajak rakyat jelata hingga golongan atas untuk menerima agama Islam dengan halus dan hati lapang.

Keindahan alunan, kandungan makna falsafahnya serta keramahannya telah memikat siapa saja, dan berhasil mengislamkan masyarakat Indonesia, khususnya tanah Jawa. [MZ]

1

Santri PP Mambaus Sholihin Suci; Mahasiswi Ilmu Alquran dan Tafsir Institut Keislaman Abdullah Faqih Gresik

Post Lainnya

Arrahim.id merupakan portal keislaman yang dihadirkan untuk mendiseminasikan ide, gagasan dan informasi keislaman untuk menyemai moderasi berislam dan beragama.