
Pernahkah Anda berada dalam satu ruangan, satu bus, atau satu gerbong kereta dengan orang-orang dari minimal lima suku bangsa berbeda? Di Kanada hal itu umum sekali terjadi. Dalam banyak kajian, Kanada disebut sebagai negara paling multikultural di dunia. Kesimpulan ini didapat dengan memperhatikan tingkat keragaman budaya, agama, dan pilihan politik warganya. Penyematan Kanada sebagai negara paling multikultur juga dilihat dari tingkat kematangan warganya dalam menyikapi perbedaan.
Masyarakat Kanada menyadari bahwa secara realitas demografi mereka beragam dan mereka telah membuktikan bahwa dengan perbedaan-perbedaan tersebut mereka dapat hidup berdampingan membentuk sebuah komunitas warga negara yang unik. Tentu dengan tidak menafikan kasus tindakan rasial yang beberapa kali terjadi.
Keragaman sudah menjadi identitas Kanada. Negara dengan luas wilayah terbesar kedua di dunia ini sejak tahun 1970an telah menjadikan multikulturalisme sebagai ideologi negara. Konsekuensinya, setiap kebijakan politik dan produk hukum yang dihasilkan harus mengacu kepada semangat multikulturalisme. Oleh sebab itu, lahirlah Canadian Multicultrual Act of 1988 dan pada konstitusi mereka, Canadian Charter of Rights and Freedom section 27, disebutkan pentingnya menjaga warisan multikultural warga Kanada. Etika multikulturalisme sangat berperan dalam membentuk cara pandang orang Kanada yang inklusif dalam menyikapi keragaman di ruang publik.
Dampak lainnya adalah kebijakan negara untuk membuka diri terhadap para imigran. Dari total seluruh pencari suaka di dunia, sepersepuluhnya diterima dan menjadi warga negara Kanada. Hal ini menjadikan negeri ini sebagai tujuan imigrasi terbesar di dunia. Saat ini, kalau ada lima orang Kanada, satu di antara mereka tidak dilahirkan di Kanada. Jumlah penduduk yang lahir di luar Kanada lebih dari dua puluh persen. Dengan jumlah yang besar ini, kehadiran para imigran telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari berkembangnya multikulturalisme di negeri ini selama lebih dari setengah abad.
Dibanding negara-negara lain, publik Kanada dianggap paling terbuka terhadap para imigran, walaupun belakangan angka orang yang tidak setuju terhadap kehadiran para imigran mengalami kenaikan. Dari hasil survei misalnya, warga Kanada dianggap yang paling setuju dengan pernyataan bahwa kehadiran para imigran membuat negara mereka semakin nyaman untuk ditempati. Begitu juga, para pendatang ini dianggap berkontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, kecil kemungkinan warga Kanada menyatakan bahwa para imigran sudah terlalu banyak di negara mereka, atau para imigran telah mempersempit kesempatan kerja bagi penduduk asli Kanada. Hal ini tentu membuat para imigran yang berasal dari berbagai belahan dunia ini merasa betah untuk tinggal di Kanada.
Setidaknya itu pula kesan yang saya tangkap dari cerita beberapa imigran Muslim yang saya temui. Imigran Muslim di Kanada umumnya berasal dari Timur Tengah, Afrika Utara, Asia Tengah dan Asia Selatan. Keberagaman asal para imigran ini membawa warna keislaman yang berbeda-beda. Adapun jumlah penduduk yang mengaku Muslim di Kanada, menurut sensus tahun 2011, sekitar satu juta orang, atau 3,2 persen dari total penduduk saat itu. Jumlah itu tentu telah bertambah seiring dengan datangnya gelombang imigran dari Timur Tengah beberapa tahun terakhir.
Banyaknya jumlah umat Islam di Kanada juga bisa dilihat dari jumlah jamaah yang menghadiri salat jumat. Di Montreal, kota tempat saya studi, masjid bisa ditemukan hampir di setiap jarak dua kilometer. Beberapa masjid di pusat kota (downtown) bahkan menyelenggarakan salat jumat sampai dua atau tiga gelombang karena banyaknya jamaah dan terbatasnya daya tamping ruang untuk para jamaah.
Jadwal waktu salat untuk salat maktubah di masjid biasanya telah ditentukan sebelumnya, tidak mengikuti awal waktu. Sebab waktu salat terus berubah antara satu sampai tiga menit setiap harinya. Dalam beberapa kesempatan bahkan salat jamaah maktubah di masjid dilaksanakan dengan jamak karena memperhatikan prakiraan cuaca. Apabila diperkirakan akan terjadi cuaca ekstrem, salat jamaah diajukan atau di(t)akhirkan.
Selama masa pandemik ini, aktivitas salat jamaah yang menghadirkan banyak orang di masjid ditiadakan. Begitu juga aktivitas pengajian atau pembelajaran agama untuk anak-anak sementara ditiadakan. Sebagaimana di Indonesia, kajian keislaman oleh para imam masjid dialihkan secara online. Aktivitas Ramadan yang masih berjalan yaitu pembagian santunan makanan untuk warga di sekitar masjid, terutama untuk orang-orang tua dan para tuna wisma (homeless), dengan tidak membeda-bedakan latar belakang agama mereka. Beberapa masjid juga menjadi pusat penggalangan dan penyaluran bantuan untuk mereka yang rentan terdampak covid-19.
Satu hal yang menjadi perhatian pengurus masjid di masa pandemik ini, terutama untuk masjid-masjid “kecil dan menengah” dengan status sewa, yaitu biaya operasional dan sewa bangunan. Dana operasional masjid umumnya dikumpulkan dari para jamaah yang jumlah terbesarnya didapatkan selama bulan Ramadan. Disebutkan bahwa hampir separuh dari total donasi jamaah selama setahun didapatkan selama bulan Ramadan. Selama masa pandemik ini, masjid-masjid tidak mendapatkan pemasukan sebagaimana biasanya sementara mereka harus tetap membayar biaya sewa bangunan. Menyikapi kesulitan ini, beberapa masjid yang lebih mapan turut mengalokasikan cadangan dana mereka untuk membantu masjid-masjid ini agar tetap bertahan selama dan pasca-masa pandemik ini.
Mengakhiri Ramadan tahun ini, sebagaimana ketika memulainya, masyarakat Muslim Kanada umumnya berpatokan pada hasil hisab. Namun, ada juga yang berpatokan kepada hasil rukyat. Beberapa masjid dan lembaga keislaman merujuk hasil lembaga rukyah, Hilal Committee, yang sudah berdiri sejak awal tahun 1980an di Toronto.
Akhirnya, muslim Kanada merupakan bagian tidak terpisahkan dari Kanada. Sebagaimana pernyataan Perdana Menteri Trudeu ketika menyambut datangnya bulan Ramadan, “Muslim Canadians have always made our country a better, stronger place and this month will be no exception… And on that note, I want to recognize all of our essential workers who are taking care of us even while fasting.” []
Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya, Awardee 5000 Doktor MoRA, McGill University, Canada