Sebagai muslim, penulis sangat akrab dengan kata umat (Arab: ummah). Alquran telah menyebutkannya sebanyak 64 kali tersebar di berbagai ayat. Begitu juga hadis, sering sekali nabi menyebutkan istilah ini di dalam perkataan-perkataan beliau. Hadis yang paling penulis ingat adalah perkataan nabi yang menyebutkan bahwa umatnya akan terpecah menjadi 73 golongan. Penulis menunda dulu membahas keterangan golongan yang akan selamat sebagaimana keterangan hadis ini.
Sekarang, kata ‘umat’ masih akrab di tengah kehidupan modern. Kata ini menjadi simbol kolektivitas yang bisa bermakna beragam bergantung latar belakang pembentukannya. Agama membentuk kolektivitasnya menjadi umat Islam, umat Kristen, Umat Hindu, Umat Buddha, dan seterusnya. Organisasi dan ideologi pun membentuk karakteristik keumatan seperti umat Muhammadiyah, umat Nahdhatul Ulama, umat Ahmadiyah, dan seterusnya. Lantas siapa sebenarnya yang punya hak otoritatif terhadap umat?
Di kala umat menjadi rebutan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap kolektivitas sebagai legitimasi ortodoksi atau politik dominasi, umat pun terpecah-pecah ke dalam fragmentasi agama ataupun ideologis yang saling bernegasi. Penyebutan umat Muslim-Sunni akan mereferensikan sekelompok muslim yang berbeda dengan umat Muslim-Syiah dan umat Muslim-Ahmadiyah. Meskipun semua bernaung dalam agama yang sama. Demikian juga misalnya kita menyebut umat Kristen yang tentu membedakan dengan umat Buddha atau umat Hindu. Padahal mereka adalah sama sebagai umat manusia.
Fragmentasi umat dan persoalan yang melingkupi justru lebih menarik di Islam dibandingkan dengan agama atau ideologi yang lain. Menurut penulis, hal ini tidak terlepas dari pernyataan nabi Muhammad tentang umat muslim yang akan terbagi menjadi 73 golongan, dan yang selamat hanya satu golongan, yakni kelompok yang bersama nabi dan sahabat. Tentu, frasa yang menjelaskan ‘golongan yang selamat’ ini sangat multi-tafsir. Terbukti dengan keberadaan klaim-klaim ortodoksi dari setiap kelompok.
Penafsiran ‘kelompok yang selamat’ ini kemudian mengarah pada persaingan ideologis internal umat muslim. Pertama kali terjadi ketika aliran-aliran kalam mulai berebut umat dengan mengklaim kebenaran atas interpretasi mereka terhadap teks suci. Kepentingan politik yang berkembang pasca pemerintahan empat sahabat dekat nabi turut meruncingkan perebutan legitimasi otoritas atas umat. Pada masa selanjutnya hingga sekarang, fragmentasi umat semakin mengarah pada persaingan otoritas tersebut sehingga membentuk suatu negasi antara kelompok ortodoks dan heterodoks.
Menurut hemat penulis, persoalan fragmentasi dalam tubuh umat semakin meningkat ketika kolektivitas di dalamnya menarik bagi sebagain pihak. Ketertarikan itu tidak hanya ditunjukkan kalangan ideologis, mazhabis, dan politis. Kini kalangan kapitalis pun memanfaatkan kolektivitas umat itu untuk industri, sehingga muncullah label-label produksi yang beratribusi keumatan. Yang paling tragis seperti munculnya istilah produk kafir dan produk muslim. Tidak hanya itu, bagi sebagain pihak secara personal pun mulai melirik kolektivitas pada umat untuk kepentingan profesi.
Kepentingan profesi, terutama yang bersinggungan dengan agama. Penulis hanya akan menyoroti yang muncul di Islam di Indonesia. Istilah ‘ustaz’ dan ‘ulama’ dewasa ini sudah mengalami pergeseran yang sangat jauh dari makna sebenarnya. Di negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, banyak pihak yang berebut kolektivitas umat untuk keuntungan pribadi. Kemunculun profesi ‘ustaz’ dan ‘ulama’ adalah realitas yang tak terhindarkan. Lebih-lebih ketika industri media dan hiburan sudah masuk ke ruang agama.
Penulis dalam hal ini tidak menafikan bahwa ada ustaz atau ulama beneran, yang bukan berorientasi profesi atau kepentingan individu yang lain. Melainkan karena memenuhi standar keulamaan yang diakui umum, terutama pada aspek keilmuan dan moral. Industri media dan hiburan yang buta akan agama (lebih-lebih pada bentuk media baru) hanya semata jualan produk yang banyak peminatnya dan memberi keuntungan. Islam bisa menjadi salah satu komoditi yang menjanjikan dari segi bisnis.
Dakwah Islam menjadi komoditi bisnis yang memiliki segmentasi pasar yang tinggi, mengingat lebih dari 80% penduduk Indonesia adalah muslim. Industri media dan hiburan pun menciptakan ruang-ruang yang mengakomodasi komoditi ini. Muncullah ustaz dan ulama yang bagi pelaku bisnis ini memberi keuntungan. Mereka dibuatkan panggung dengan kemasan dakwah Islam. Akhirnya, ustaz dan ulama ini menjadi profesi yang menggiurkan.
Keberadaan ustaz dan ulama produk media ini tidak semua memiliki kapasitas yang sesuai dengan standar keulamaan yang ketat. Tren ini pun menjadi fenomena publik, sehingga semakin mengaburkan profil ustaz dan ulama. Kemunculannya pun membentuk fragmentasi kolektivitas umat yang beratribusi kepada sosok tertentu yang menjadi idola, muncullah umat ustaz Soleh, umat ustaz Mamad, dan seterusnya. Parahnya, atribusi ini mengarah pada negasi dan konflik.
Pihak-pihak yang berkepentingan atas kolektivitas umat seperti disebutkan di atas semakin mereduksir makna universalitas umat, sehingga menciptakan fragmentasi yang kontra-produktif. Menelisik dari aspek bahasa, Quraish Shihab (1996) menyebutkan, bahwa akar kata umat adalah serapan dari istilah Arab ummah berasal dari akar kata (amma-yaummu) yang berarti menuju, menumpu, dan meneladani. Ada dua kata yang berasal dari akar kata yang sama, yaitu umm (Ibu) dan imam (pemimpin).
Alquran sendiri menyebut umat tidak hanya untuk golongan manusia saja, melainkan juga golongan binatang (QS. al-An‘am [6]: 38). Namun yang paling besar porsi peryebutan umat dalam Alquran untuk golongan manusia yang terikat oleh kesamaan visi seperti pemeluk agama-agama, teladan seperti umat nabi-nabi, atau sikon tertentu seperti umat-umat terdahulu. Berdasarkan penggunaan yang menunjukkan kolektivitas namun tidak membatasi pada subjek tertentu, maka bisa ditarik benang merah bahwa pangkal pengikat kolektivitas itu adalah kesamaan sebagai makhluk.
Bila dirunut, fragmentasi umat pada tingkat paling bawah terbentuk sebab atribut yang membedakannya berdasarkan latar pembangun kolektivitas itu. Namun, saat ditarik ke lebih atas, kolektivitas umat itu semakin menyatu dalam ikatan yang dapat meleburkan fragmentasi yang ada. Misalnya begini, umat nabi Isa tentu tidak sama dengan umat nabi-nabi lainnya karena sebab latar dogmatis, geografis, dan sosiologis. Tapi semua umat nabi-nabi merupakan pemeluk agama tauhid. Di titik ini fragmentasi umat nabi-nabi itu menemukan kesamaan atas kolektivitasnya sebagai pemeluk agama tauhid.
Apabila ditarik ke simpul yang lebih atas lagi, fragmentasi umat akan semakin melebur sehingga membentuk suatu kolektivitas yang tunggal, seperti umat manusia (dalam bahasa Alquran disebut dengan ummah wahidah) seperti yang termaktub dalam beberapa ayat: QS. Yunus: 19, QS. Hud: 118, al-Nahl: 93, al-Anbiya’: 92, al-Mu’minun: 52, al-Shura: 8, al-Zukhruf: 33, al-Baqarah: 213, dan al-Maidah: 48. Dari seluruh ayat-ayat ini, hal menarik bagi penulis adalah setiap penyebutan ummah wahidah selalu diikuti frasa yang menjelaskan fragmentasi umat, atau secara sederhana disebut golongan kiri dan golongan kanan. Kecuali pada dua ayat pada QS. Anbiya’: 92 dan QS. al-Mu’minun: 52.
Bisa saja disimpulkan bahwa ummah wahidah sebagaimana Alquran menjelaskannya bersifat utopis mengingat setiap awalan ayat sering kali di dahului ‘jika Allah berkehendak’ (walaw sya’a). Namun, sebagian ayat memberikan penegasan bahwa ummah wahidah adalah realitas asal dari kejadian manusia karena bersumber pada hakikat yang sama sebelum manusia terfragmentasi dalam bentuk umat-umat kecil karena perbedaan dan perselisihan (QS. Yunus: 19 dan QS. Hud: 118). Hal paling penting dari penyataan yang Allah sampaikan dalam Alquran tentang ummah wahidah bahwa pemilik umat tidak lain adalah dzat-Nya selaku Rabb al-‘Alamin.
Akhirnya, fragmentasi umat merupakan bentuk alamiah karena seluruh makhluk diciptakan dalam wujud berbeda-beda. Manusia kenyataannya memang berbangsa-bangsa, bersuku-suku, berbeda agama, berbeda ideologi, berbeda bahasa, dan seterusnya. Tetapi fragmentasi itu perlu diupayakan tidak mengarah ke negasi yang dapat memicu konflik. Di sinilah Alquran kemudian mengenalkan suatu kriteria umat moderat (ummah wasath). Mereka berdiri di posisi tengah supaya terlihat dari semua penjuru, memoderasi perbedaan dengan cara berdialog, berinteraksi, dan terbuka terhadap semuat umat (yang berbeda agama, budaya, dan peradaban)
Moderasi cara untuk menemukan titik temu di mana kesamaan visi terbangun di atas perbedaan yang memang kodrati. Sejatinya umat bukan milik siapa-siapa, ia bebas menentukan menjadi apa dan bagian dari umat yang mana. Karenanya, tidak ada otoritas di dunia ini yang berhak atasnya, apalagi menggerakkannya untuk kepentingan-kepentingan pribadi atau golongan. Fragmentasi dalam umat jangan menghambat untuk berbaur dan memulai menyatukan visi bahwa pada simpul terakhir kita tersatukan dalam ikatan kemanusiaan. Wa Allah A‘lam.