Di Balik Gerakan Hijrah (Bag. 1): Reduksi Makna dan Kemesraannya dengan Kapitalisme

Surce: https://bit.ly/365xmFk

Beberapa waktu lalu, Direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Noorhaidi Hasan membahas mengenai fenomena hijrah di kalangan kaum milenial kontemporer, yang awalnya ditayangakan di akun Youtube UGM. Isinya menuai kontroversi, yang akhirnya video tersebut dihapus oleh pemilik akun.

Perbincangan mengenai hijrah milenial di kalangan pemuda perkotaan ini menarik dicermati lebih lanjut. Istilah “hijrah” asalnya merujuk pada proses perpindahan Kanjeng Nabi Muhammad saw bersama para sahabatnya dari Mekah ke Madinah.

Hijrah adalah sebuah langkah awal untuk menempuh perjuangan yang lebih luas dan membangun peradaban. Selama di Madinah Nabi konsen pada pembentukan dasar-dasar keadaban manusia modern.

Pada perkembanganya, saat ini kata “hijrah” lebih dipetik dari makna generiknya, yakni perpindahan dalam arti umum. Pada 1990 Muhammad Abdullah Al-Khatib menulis risalah berjudul Min Fiqhil Hijrah, yang lima tahun kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi Makna Hijrah; Dulu dan Sekarang.

Dalam buku tersebut Al-Khatib, merujuk tafsir Ibn Katsir atas Qs. An-Nisa’: 97-99, menyatakan bahwa hijrah bersifat umum. Ia bisa berlaku bagi semua mukmin yang hidup di bawah kekuasaan kaum musyrik sementara ia mampu berpindah dan melepaskan diri menuju tempat yang lebih menjanjikan bagi keimanan.

Abdullah Gymnastiar yang akrab disapa Aa Gym juga pernah menulis buku tentang hijrah yang berjudul Hijrah Gerbang Kesuksesan (2012). Dalam buku tersebut, Aa Gym benar-benar memaparkan ruh dan spirit hijrah fisik pada masa kanjeng Nabi saw yang kemudian dikontekstualisasikan pada perkembangan kehidupan masyarakat muslim milenial, khususnya kaum muda urban di perkotaan.

Aa Gym mengurai makna hijrah dengan cakrawala yang lebih luas, seperti seruan hijrah dari kemusyrikan menuju tauhid, dari kemunafikan kepada shiddiq, dari kebodohan ke pengetahuan, dari yang haram ke yang halal, dan dari lingkungan yang tidak kondusif untuk beribadah ke lingkungan yang menguatkan iman dan takwa.

Model Keberislaman Baru

Bisa jadi berpangkal dari konsepsi-konsepsi kontekstual seperti itu, hijrah kemudian berkembang dan viral menjadi istilah yang bermakna konotatif, pertaubatan–sebuah perpindahan  dari pola dan gaya hidup yang tidak atau kurang islami ke hidup yang “islami” secara total atau kaffah.

Ia kemudian menjadi sebuah gerakan model baru keberislaman yang menyerukan kepada umat Islam, khususnya kaum muda, untuk “pindah” menjadi pribadi yang lebih baik dan konsisten menjalankan perintah agama. Gerakan ini membesar dan menyasar kaum milenial dengan menggunakan fasilitas media digital.

Dalam konteks Indonesia, akun Instagram @pemudahijrah adalah salah satu contoh yang paling kentara dan telah menjadi sebuah gerakan yang mapan. Hingga saat ini, akun tersebut telah diikuti oleh 1,6 juta orang.

Tentu, masih banyak sekali akun serupa yang umumnya telah mempunyai jumlah pengikut yang sangat banyak, kisaran belasan ribu hingga ratusan ribu orang. Penggunaan tagar “hijrah” di platform unggahan foto ini juga sangat marak, bahkan kiriman yang membahas topik ini hampir mencapai dua juta.

Pun demikian juga di Facebook, grup “Motivasi Hijrah Indonesia” mempunyai anggota lebih dari 1,6 juta pengguna. Akun-akun lain yang serupa juga banyak yang jumlah pengikutnya berkisar belasan hingga ratusan ribu.

Di twitter, akun-akun serupa juga mempunyai follower yang tidak kalah banyaknya. Masing-masing umumnya mempunyai hingga puluhan ribu pengikut. Jumlah itu tidak pernah berkurang, selalu bertambah.

Fakta ini menunjukkan hijrah kontemporer ini menjadi gerakan yang massif kendatipun hingga saat ini belum teridentifikasi siapa koordinator penggeraknya. Ia seakan berjalan dan merebak begitu saja.

Gerakan massif, khususnya di media sosial, itu lalu melahirkan model keberagamaan baru yang semarak dan khas. Ia sangat menekankan aspek penampilan yang “islami.” Misalnya dalam hal cara berpakaian, perempuan berpaikaian yang menutup hampir seluruh bagian tubuh seperti dengan menggunakan kain yang serba panjang atau cadar.

Sedangkan kaum laki-laki menujukkan keislamannya dengan memelihara jenggot, celana cingkrang, dan umumnya mengunakan bahasa yang dicampur dengan Bahasa Arab untuk menguatkan kesan kebudayaan Islamnya.

Munculnya sekelompok besar orang yang memiliki pola hidup “bersyariah” yang cukup kuat ini disambut dengan antusias oleh kapitalisme/modal dengan menyediakan kebutuhan atribut keberislaman. Industri dan modal memanjakan gerakan ini dengan memproduksi atribut-atirbut seperti jilbab, baju dan produk dengan label syar’i lainnya secara besar-besaran.

Modal lalu menawarkan konsep yang memukau, yakni “bersikap dan berpenampilan syar’i tanpa harus meninggalkan kesan fashionable.Konsep ini sangat menarik dan kompatibel dengan budaya produksi konten audio-visual yang mudah dibagikan melalui media digital.

Maka, tidak heran jika fenomena hijrah kemudian menghadirkan ide mengenai pusat-pusat perbelanjaan syariah, sistem transportasi syariah, destinasi wisata syariah, dan seterusnya. Pola hidup beragama kemudian terjerembab dalam kubangan pasar.

Pada tingkat-tingkat tertentu, antara gerakan hijrah dan modal berkelindan melakukan simbiosis mutualisme. Satu sisi gerakan ini menyediakan dan memperluas pasar bagi kapitalis. Di sisi yang lain, modal mendorong dan mendukung aspek akomodasi proses motivasi dan konsolidasi gerakan hijrah, seperti akomodasi publikasi di media mainstream, penyediaan tempat, dan fasilitasi lainnya. (AA)

0

Direktur Ma’had Al-Jami’ah dan Dosen Fakultas Syariah IAIN Jember

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Post Lainnya

Arrahim.id merupakan portal keislaman yang dihadirkan untuk mendiseminasikan ide, gagasan dan informasi keislaman untuk menyemai moderasi berislam dan beragama.