Zaman Kang Chairil kecil, para kiai kampung, yang merupakan guru-guru mengajinya memberikan khotbah kebanyakan semata untuk memenuhi rukun khotbah, yakni ada wasiat atau pesan yang disampaikan. Karena itu, para khatib memilih dan membacakan saja apa adanya isi khotbah dalam buku yang telah tersedia di atas mimbar. Tidak peduli khotbah itu sudah dibacakan puluhan bahkan ratusan kali. Kadang tidak peduli juga dengan konteksnya.
Maka ada suatu peristiwa pada masa kecilnya yang kini telah menjadi cerita klasik di kampungnya. Bosan dengan khotbah-khotbah yang itu-itu saja, macam kaset yang terus diputar ulang, pada suatu siang menjelang salat Jumat, anak-anak muda di kampungnya kemudian menyembunyikan buku khotbah yang telah kusam dan kumal itu.
Betapa kagetnya si khatib ketika sudah di atas mimbar, buku khotbah yang biasanya tinggal ia baca tidak ada. Turun dari mimbar dan menanyakan di mana buku khotbah jelas tidak mungkin. Wajahnya pucat dan tubuhnya gemetar. Keringat dingin keluar dari tubuhnya. Khatib itu bingung dan panik karena tak tahu apa yang harus disampaikan. Isi kepalanya saat itu betul-betul kosong.
Tapi di tengah kekalutannya, ia melihat ada lembaran kertas berisi khotbah yang masih tertinggal di atas mimbar. Rupanya itu halaman-halaman yang lepas dari buku khotbah yang memang sudah tua dan bagian jilidannya telah rusak. Alhamdulliah, hatinya lega. Kemudian ia bacakan saja materi khotbah yang ada di situ, yang berisi tentang hikmah isra mikraj.
Tentu saja para jamaah bingung karena ini masih syawal. Bulan Rajab, bulan peristiwa Isra Mikraj, sudah lewat empat bulan yang lalu. Sementara anak-anak muda yang iseng itu menahan tawa di bagian belakang karena telah berhasil ngerjain orang tua. Dan, tentu saja tidak sadar bahwa kelak suatu saat mereka juga akan dikerjain anak-anak muda.
Zaman berganti. Kini tradisi hanya membacakan dan mengulang-ulang buku khotbah sudah lama ditinggalkan. Para khatib generasi baru naik ke atas mimbar dengan tema khotbah yang konstektual dan pemaparan yang singkat, baru dan segar. Hal itu juga yang ingin dilakukan Kang Chairil.
Seperti khotbah Jumat kali ini, Kang Chairil mengangkat tema tentang niat baik. Tema ini muncul ketika ia mengobrol dengan takmir masjid yang mengundangnya memberikan khotbah. Si takmir bercerita tentang ditundanya ibadah haji akibat pandemi tahun ini. Para calon jamaah haji jadi kecewa dan sedih. Sebagian malah kuatir kalau-kalau mereka meninggal dalam penantian haji tahun depan dan lalu tak sempat berhaji.
Maka Kang Chairil pun naik mimbar dengan topik niat baik. Ia tidak tahu persis, apakah di kampung tempat ia memberikan khotbah ini, ada juga orang-orang yang rencana hajinya tertunda. Hal itu tidak penting, karena ia tidak menyinggung soal itu secara langsung dan hanya bermaksud mengajak untuk merenungkan betapa penting dan berharganya niat.
***
Pada hari kiamat, kata Kang Chairil memulai isi khotbahnya, datang seorang hamba. Lalu kepadanya diserahkan buku catatan amal yang ia terima dengan tangan kanannya. lalu, ia membuka dan membaca isinya, tertulis ada catatan amalan haji dan sedekah. Hamba itu heran karena ia merasa tidak pernah dan belum menunaikan haji. Selain itu, ia tak banyak melakukan sedekah. Ia kemudian bilang, ini bukan buku catatanku karena aku tak pernah melakukan hal-hal baik itu.
Allah lalu menjawab, itu buku catatanmu. Kamu hidup cukup panjang, dan kamu senantiasa berniat, “andai aku punya harta benda akan kupakai untuk menunaikan haji, andai aku punya harta benda akan kugunakan untuk bersedekah,” dan seterusnya. Itulah niat baikmu dan kami menganugerahkan pahala kebaikan atas niat baik itu.
Lalu Kang Chairil pun membacakan hadits:
وان الله عزوجل ليعطى العبد على نيته مالايعطيه على عمله
“Dan Allah Yang Mahakuasa akan memberi pahala bagi hamba atas niat baiknya sesuatu yang tidak ia berikan untuk amalnya.”
Mengapa niat itu penting dan niat baik dicatat sebagai kebaikan meski baru sampai niat, karena niat tidak ada riya’-nya. Berbeda dengan amal, yang sedikit banyak tercampur dengan riya’. Umum, membangga-banggakan apa yang telah dilakukan, secara langsung maupun tidak langsung, eksplisit maupun implisit. Sedangkan niat, karena hanya niat, memang belum dan tidak bisa dibanggakan, tapi justru disitulah kelebihannya. Ia tak tercemari oleh riya’ dan minta pujian.
Karena itu, kata Kang Chairil, tancapkanlah selalu niat baik. Meski ia secara fakta mungkin tidak realistis. Tidak mengapa, sebab rahmat Allah sangat luas dan rezeki yang diberikannya bisa saja datang tak terduga. Dan dengan niat itu saja kita telah beroleh pahala dan kebaikan.
Sebagai penutup khotbah, Kang Chairil membacakan sebuah bait awal puisi Hamzah Fansuri ini:
Hamzah Fansuri di dalam Mekkah
Mencari Tuhan di Baitil Ka’bah
Dari Barus ke Kudus terlalu payah
Akhirnya dijumpa di dalam rumah
***
Setelah salat Jumat selesai, di pintu keluar masjid tiba-tiba Kang Chairil disalami seorang tua. Ia mengucapkan terima kasih kepada Kang Chairil sembari menangis tersedu.
“Mas, saya hanya seorang pedagang mainan anak keliling. Tapi sedari dulu saya bercita-cita ingin naik haji. Tapi kini saya sudah 70 tahun. Saya tidak tahu apakah cita-cita saya akan terpenuhi. Saya tidak putus asa dan tetap berharap. Tapi jika tidak, semoga niat saya dicatat seperti khotbah sampeyan tadi. Terima kasih untuk membuat saya tidak putus asa dengan rahmat Allah.”
Demikian curahan hati orang tua itu, yang membuat hati Kang Chairil terharu luar biasa. Ia merasa tidak banyak belajar dari khotbah yang ia sampaikan, tapi justru dari ketulusan dan kepolosan orang tua itu.
Dari tangga masjid, ia tatap orang tua itu dengan sepedanya hingga hilang dari pandangannya. Wallau a’lam… [AA]