Luluk Safitri Mahasiswa STAI Al Fithrah, Surabaya

Ahli Ilmu Versus Ahli Ibadah tapi Bodoh

2 min read

“Keutamaan dari orang yang berilmu sudah tidak asing lagi bagi siapa pun itu bahkan setan pun takut padanya meskipun ia dalam keadaan tertidur”

Kewajiban seorang hamba adalah beribadah kepada Tuhannya, hal tersebut memang tidak dapat dipungkiri dalam realita hidup ini. Dalam melaksanakan ibadah tersebut seorang hamba tersebut haruslah mengetahui ilmunya, agar nantinya ia tau cara-cara saat akan melaksanakannya nanti.

Syarat, rukun dan ketentuan-ketentuan lain perlu kita pelajari terlebih dahulu. Oleh sebab itu keberadaan ilmu dalam hal ini menjadi suatu hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Ilmu merupakan sifat yang melekat pada seseorang yang memiliki gelar pada bidangnya (kitab Ta’līm al-Muta’allim).

Keutamaan dari ilmu sudah tidak asing lagi bagi siapapun itu. Manusia merupakan makhluk yang diciptakan oleh Allah ang dikaruniai dengan keistimewaan berupa akal, berbeda dengan makhluk-makhluk yang lain. Ilmu hanya dikhususkan bagi manusia, karena sifat-sifat yang lain seperti keberanian, kekuatan, kemurahan hati juga dimiliki oleh makhluk lain seperti binatang.

Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap Muslim, hal ini jelas tertulis dalam sabda beliau Nabi Muhammad SAW:

طَلَبُ اْلعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

Artinya: “Mencari ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim.”

Allah mengunggulkan Nabi Adam dihadapan para malaikat-Nya dengan ilmu. Ilmu menjadi mulia karena ia menjadi perantara menuju ketakwaan kepada Allah SWT. Sebagai seorang insan kita tidak pernah luput dari kata salah dan lupa. Sifat-sifat tercela terkadang tanpa sengaja kita lakukan. Dalam hal tersebut tidak ada jalan lain untuk kita mampu menghimdarinya, kecuali dengan mempelajari hal-hal yang berlawanan dengannya, dalam hal ini peranan ilmu akhlaq sangatlah penting.

Keberadaan ilmu diibaratkan seperti makanan sehari-hari yang harus dikonsumsi oleh setiap individu. Hal ini membuktikan bahwa ilmu memiliki peranan pokok dalam kehidupan manusia sehari-hari. Selain diibaratkan seperti makanan yang harus dikonsumsi sehari-hari ilmu juga diibaratkan seperti obat, yang kadang-kadang dibutuhkan, sebagaimana orang sakit yang membutuhkan obat agar ia sembuh dari sakitnya. Hal ini tidak berlaku pada ilmu nujum, menurut Syeikh Burhanul Islam al-Zarnuji dalam kitab Ta’līm al-Muta’allim beliau mengibaratkan ilmu nujum itu seperti penyakit.

Baca Juga  Haji sebagai Sarana Menggapai Puncak Kesadaran

Artinya, keberadaan ilmu nujum tidak diperbolehkan untuk dipelajari karena berbahaya dan tidak bermanfaat. Berbeda halnya jika ilmu nujum tersebut dipelajari karena memiliki tujuan tertentu. Diantara tujuan yang menjadi sebab diperbolehkannya belajar ilmu nujum adalah jika mempelajarinya bertujuan untuk mengetahui letak atau arah kiblat dan kapan waktu-waktu untuk melaksanakan salat.

Dalam sebuah syair dalam kitab akhlaq dikatakan bahwa ilmu akan menghiasi pemiliknya, berikut adalah syairnya:

تَعَلَّمْ فَاِنَّ الْعِلْمَ زَيْنٌ لِاَهْلِهِ # وَفَضْلٌ وَعُنْوَانٌ لِكُلِّ الْمَحَامِدِ

Artinya: “Belajarlah karena seseungguhnya ilmu tersebut akan menjadi perhiasan bagi pemiliknya # keutamaan dan tanda dari segala perbuatan terpuji”

Dalam syair tersebut jelas dapat kita pahami bersama bahwa orang yang memiliki ilmu, maka ilmu tersebut akan menjadi perhiasan bagi pemiliknya, keutamaan dan menjadi tanda dari segala perbuatan terpuji. Selanjutnya disebutkan bahwa diantara keutamaan orang yang berilmu tercantum dalam sabda Rasulullah SAW:

وَقَالَ صَلَّى اللّه عَلَيْهِ وَسَلَّم : فَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ 

Artinya: “Nabi SAW bersabda: Keutamaan orang yang berilmu (yang mengamalkan ilmunya) atas orang yang ahli ibadah adalah seperti utamanya bulan dimalam purnama atas seluruh bintang-bintang.”

Diceritakan bahwa suatu ketika Rasulullah SAW melihat Setan berada di pintu masjid. Rasulullah bertanya padanya: “Apa yang engkau perbuat disini hai iblis?”. Iblis berkata: “Saya hendak mengacau salatnya pria yang sedang salat itu tetapi takut dari pria yang sedang tidur itu.”

Lalu Rasulullah pun bertanya kembali: “Kenapa engkau tidak takut dari orang yang salat itu padahal ia sedang beribadah dan menghadap Tuhan dan takut pada orang yang sedang tidur dan tidak sadar itu?”. Setan pun menjawab: “Karena orang yang sedang salat itu adalah orang bodoh yang mudah sekali untuk dikacau, sedangkan orang yang tidur adalah orang alim yang sewaktu-waktu, bila ia sadar dari tidurnya dapat menggagalkan usaha merusak dan mengacauku terhadap orang bodoh itu.”

Baca Juga  Kitab Dhikr al-Mawt: Mengingat Kematian [1]

Dari kisah tersebut dapat kita ambil pelajaran bersama bahwa keutamaan orang alim lebih utama daripada orang yang beribadah tapi bodoh. Hal ini karena fungsi ilmu untuk menambah pengalaman, memberi penerangan, memperbaiki perilaku dan merupakan salah satu cabang dari hidayah. Keutamaan-keutamaan tersebut bukan hanya diberikan kepada orang-orang yang alim (berilmu) saja, adapula keutamaan yang diberikan kepada para penuntut ilmu, sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Asakir, Rasulullah SAW bersabda:

طَلَبُ الْعِلْمِ تَبْسُطُ لَهُ الْمَلَائِكَةُ اَجْنِحَتَهَا رِضًا بِمَا يَطْلُبُ

Artinya: “Para Malaikat menggelar sayapnya kepada penuntut ilmu agama karena rida kepada ilmu yang dituntutnya”

Oleh karena itu hendaknya kita sebagai seorang Muslim tidak seharusnya mengabaikan diri dari hal-hal yang bermanfaat serta yang berbahaya bagi diri kita baik didunia maupun di akhirat. Memanfaatkan waktu sebaik-baik mungkin dan tidak pernah lupa untuk selalu berzikir kepada Allah SWT, merupakan salah satu cara agar kita bisa selamat dari bahaya tersebut. Selanjutnya Kita harus menyiapkan benteng pertahanan yang kuat dalam diri kita, yakni dengan memperluas wawasan pengetahuan kita dengan belajar lebih giat lagi menjadi insan yang bermanfaat bagi sesama. [MZ]

Luluk Safitri Mahasiswa STAI Al Fithrah, Surabaya