Tragedi Al-Khoziny dan Cara Kita Membaca Pesantren

Peristiwa ambruknya musala tiga lantai di Pondok Pesantren Al-Khoziny kini menjadi wacana publik yang liar. Wacana yang ramai dalam horizon kepesantrenan ini menuai berbagai pembacaan dan penafsiran dengan ragam respons yang membawa sudut pandang, emosi, dan kepentingan. Di ruang publik, wacana ini tak hanya menjadi refleksi atas tragedi runtuhnya bangunan fisik, namun juga gelanggang bebas bagi pertarungan komentar dan tafsir.

Jika mengikuti pemberitaan yang terus berkembang di berbagai platform media sosial, komentar publik atas ‘tragedi Al-Khoziny’ dapat dibagi menjadi dua pola: pertama, komentar empati dan afeksi sosial; kedua komentar reflektif-kritis.

Pola pertama mencerminkan resonansi emosional yang kuat sebagai bentuk ekspresi duka, keprihatinan, dan solidaritas yang menempatkan tragedi Al-Khoziny sebagai peristiwa kemanusiaan yang menuntut kehadiran rasa, sedangkan pola kedua lahir dari kesadaran sosial yang mencoba membaca peristiwa dalam bingkai struktural.

Komentar reflektif-kritis tidak berhenti pada kehadiran rasa, melainkan menuntut kehadiran nalar intelektual yang mampu menganalisis aspek-aspek yang berhubungan dengan tragedi tersebut, mempertanyakan aspek teknis pembangunan, sistem pengawasan, legalitas mendirikan bangunan, hingga hal-hal yang berkaitan dengan etik kelembagaan.

Komentar dengan pola seperti ini dapat kita baca sebagai wujud kesadaran hermeneutik publik, yaitu upaya publik untuk membaca dan menafsirkan makna di balik sebuah peristiwa dengan mempertimbangkan konteks budaya, sosial dan agama yang mengelilinginya.

Kedua pola komentar publik atas tragedi Al-Khoziny tersebut, meski berbeda pendekatan, tapi sama-sama menjadi bagian dari proses produksi makna atas wacana. Di satu sisi publik mengafirmasi nilai-nilai kemanusiaan mereka melalui afeksi sosial, di sisi lain mereka harus mengandalkan nalar kritis sebagai bentuk tanggungjawab kolektif terhadap ruang sosial yang mereka diami.

Dalam perspektif etnosemiotika, hal ini menunjukkan bagaimana bahasa, emosi, dan kesadaran sosial bekerja secara bersamaan dalam menafsirkan realitas yang tragis namun sarat makna di baliknya.

Tak berhenti di situ, tragedi Al-Khoziny rupanya membangkitkan wacana-wacana baru yang berkelindan dalam horizon kepesantrenan. Peristiwa tersebut menjadi cermin yang memantulkan wajah pesantren yang dianggap sesungguhnya. Relasi kuasa, struktur otoritas, dan dinamika tradisi di lingkungan pesantren ramai-ramai ‘diarak’ ke hadapan publik.

Di media sosial, muncul perdebatan yang cukup intens mengenai hierarki kiai dan santri, tradisi roan (kerja bakti), hingga tudingan adanya feodalisme dalam sistem kepesantrenan.

Beragam narasi yang berkembang hingga saat ini memperlihatkan bahwa tragedi tersebut tidak hanya menyingkap problem teknis pembangunan, tetapi juga memancing publik untuk meninjau kembali fondasi etik-kultural yang menopang sistem kehidupan pesantren.

Topik-topik seperti ketaatan terhadap otoritas kiai, pembagian kerja berbasis tradisi seperti kegiatan ­­ngecor bangunan pesantren, dan tata hubungan sosial dalam lembaga keagamaan kini dibaca ulang melalui kacamata kritis masyarakat modern.

Dengan demikian, tragedi Al-Khoziny bertransformasi dari sekadar peristiwa material menjadi arena interpretasi simbol dan makna, tempat nilai-nilai pesantren diuji relevansinya dalam konteks sosial kontemporer.

Namun, di tengah derasnya tanggapan publik, terlihat jelas bahwa sebagian besar wacana yang dilahirkan justru bersandar pada prasangka epistemologis yang rapuh lantaran ketidakseimbangan sudut pandang dan ketidakhadiran horizon pemahaman.

Banyak pembacaan atas peristiwa Al-Khoziny tersusun dari luar horizon pesantren; dari ruang-ruang yang tidak pernah mengenal ‘bahasa batin’, logika tradisi, maupun sistem nilai yang menghidupi komunitas santri.

Akibatnya, komentar terhadap pesantren kerap terdengar nyaring tetapi dangkal; mengabaikan kerumitan historis dan elemen kultural yang membentuk dunia pesantren sebagai entitas sosial yang khas.

Sering kali publik, terutama di jagat maya, membaca pesantren melalui lensa modernitas yang hegemonik, yang menjadikan sistem rasionalitas, profesionalitas dan efisiensi yang lahir dari paradigma dunia luar sebagai ukurannya.

Dengan lensa pandang itu, hubungan santri dan kiai terburu-buru dicap sebagai relasi feodal, tradisi ‘ro`an’ dianggap sebagai praktik eksploitasi, pola asuh otoritatif dipandang otoriter, dan hierarki kepemimpinan dinilai tidak demokratis. Tanpa adanya pemahaman atas sistem nilai kepesantrenan, pembacaan seperti itu sama dengan menafsir teks tanpa memahami bahasanya. Memaksanakan simbol-simbol tradisi tunduk pada logika yang bukan miliknya.

Kritik semacam ini merupakan sikap intelektual yang menilai ‘yang lain’ dengan standar dirinya sendiri pada horizon dunianya yang sangat terbatas. Dunia pesantren kemudian direduksi sekadar menjadi citra eksotik antara kesalehan dan keterbelakangan, antara tradisi dan irasionalitas.

Padahal, pesantren bukanlah ruang yang beku; ia adalah ruang tafsir yang dinamis di mana tata nilai terus dinegosiasikan dalam keseharian santri dan kiai. Membaca pesantren dari luar tanpa perangkat kultural yang memadai sama halnya dengan melihat gunung dari balik kabut tebal. Yang tampak hanyalah siluet bagian puncak, sementara substansi dasarnya lenyap di balik kabut yang mengaburkan pandangan.

Dalam konteks ini, wacana publik tentang pesantren perlu dikritisi bukan karena ia salah berbicara, tetapi karena ia berbicara tanpa pemahaman bahasa yang tepat. Ia membaca tanpa elemen yang utuh, menilai tanpa etnografi, menafsir tanpa hermeneutika, dan menghakimi tanpa memahami. Kesalahan bukan terletak pada keberanian untuk mengkritik karena memang wacana tentang pesantren selalu terbuka, tetapi pada ketidakhadiran pengetahuan terhadap dunia yang sedang dikritik.

Meski demikian, dari arah yang berlawanan, pesantren juga perlu ‘melihat’ dirinya sendiri dalam bingkai refleksi. Pesantren kerap terjebak dalam romantika simboliknya. Menjadi lembaga yang “dipahami hanya oleh dirinya sendiri” dan cenderung menutup diri dari tuntutan komunikasi dunia luar. Padahal, tak bisa dipungkiri bahwa zaman terus melaju, menuntut pesantren untuk hadir di ruang wacana yang lebih luas.

Pesantren tidak dituntut meninggalkan tradisi atau tata nilai yang menjadikannya khas, melainkan ia perlu membahasakan ulang tradisinya agar dapat berkomunikasi menggunakan dialek zaman.

Nilai-nilai luhur yang ditanamkan di pesantren seperti khidmah, adab, dan barakah sering kali tidak terbaca oleh publik karena kekosongan narasi komunikatif dan tidak adanya jembatan makna yang mengaktualisasikan. Nilai-nilai seperti itu berdenyut dalam praktik keseharian santri, tetapi gagal menjadi bahasa yang dapat dipahami oleh masyarakat luas.

Di sinilah tantangan pesantren yakni, bagaimana menerjemahkan spirit ke dalam bahasa, dan membahasakan ruh menggunakan dialek zaman. Tentunya tanpa mengorbankan kesakralan maknanya.

Pesantren tidak boleh mengubah jiwanya, tetapi perlu memperluas ‘bahasanya’. Sebab ‘bahasa’ bukan sekadar alat, melainkan jembatan antara nilai dan realitas, antara dunia simbolik pesantren dan horizon publik yang lebih luas. [AA]

3

Mahasiswa Doktoral Pendidikan Bahasa dan Sastra UNESA dan Pengajar di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya

Post Lainnya

Arrahim.id merupakan portal keislaman yang dihadirkan untuk mendiseminasikan ide, gagasan dan informasi keislaman untuk menyemai moderasi berislam dan beragama.