Septya Melani Dwi Rahmawati Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya

Cara Meraih Kebahagiaan Menurut Al-Ghazali

2 min read

Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna, yang memiliki akal dan hak kebebasan untuk memilih jalan hidupnya. Kesempurnaan manusia dengan segala kelebihannya dituntut untuk menciptakan kehidupan yang seimbang dan serasi di dunia ini, dengan tujuan utama yakni bahagia. Semua manusia menginginkan kehidupan bahagia, bukan? Karena semua manusia selalu mendambakan kebahagian di dunia ini.

Kebahagiaan terletak pada kesenangan memerangi hawa nafsu dan menahan kehendak yang berlebih-lebihan. Untuk memerangi keduanya tersebut diperlukan sebuah ilmu, dan ilmu yang paling utama dan diutamakan adalah ilmu ketuhanan. Jadi objek itu yang paling mulia adalah Allah, hakikatnya itu dari Allah dan akan kembali keada Allah. Namun perlu diketahui bahwa Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ar-risalah Al-laduniyah mengatakan, ilmu itu dzatnya sendiri sudah mulia. Karena lawan dari ilmu adalah kebodohan yang salah satunya disebabkan dari bermalas-malasan lalu berujung keterpurukan dan tidak berbahagia.

Inti dari ajaran tasawuf Al-Ghazali adalah tasawuf akhlaki untuk perbaikan akhlak. Dari sebuah ilmu itulah perbaikan akhlak dimulai, dari perkataan, perbuatan, serta pengamalan. Al-Ghazali dalam kitabnya Kimiya’ Sa’dat, meringkas proses mencapai kebahagiaan manusia melalui 5 tahap, yaitu pengetahuan tentang diri, pengetahuan tentang Allah, pengetahuan tentang dunia, pengetahuan tentang akhirat, dan kecintaan kepada Allah. Kelima tahapan tersebut lah yang akan membawa serta mengantarkan manusia untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki.

Hakikat manusia adalah kalbu atau hati. Dengan menyatunya kalbu, ruh, akal dan nafsu yang dapat menguasai dan mengendalikan nafsu lawamahnya dan amarahnya, maka bersinarlah  sifat ketuhanan dalam dirinya yang muaranya membangkitkan watak cinta, kasih sayang, kebaikan, kesucian, kemuliaan, keadilan, kejujuran, dan keadilan. Pada derajat tersebut, mereka akan memiliki jiwa yang tenang yakni nafsul mutmainnah, jiwa bahagia tanpa gelisah. Dan watak ruh asli manusia adalah selalu rindu ma’rifat pada Allah yang mencapainya dengan kalbu bukan panca indera.

Baca Juga  Al-Ghazali dan Tesis Kemunduran Peradaban Islam

Ilmu yang paling tinggi yakni ma’rifatullah. Ma’rifatullah itu temunya dengan laku, yang akan diperoleh sendiri ketika dekat dengan Allah. Menuju kesana dengan jalan ilmu yang menguasai amarah dan syahwat. Waspadai amarah dan syahwatmu, jika tidak maka akan tergelincir pada kegelisahan dan tidak dapat muhasabah dengan baik. Perjuangan yang paling pokok menurut Al-Ghazali adalah untuk menampakkan sifat-sifat ketuhanan yang terpendam dalam lubuk hatinya, yakni dengan jalan mengenal, menguasai, dan membasmi watak-watak hewani yang memperbudak jiwanya. Jika hidup manusia dipersembahkan pada Allah maka tampaklah sifat ketuhananya.

Murni (2014) memaparkan bahwa. “Lebih jauh lagi Al-Ghazali memberi pandangan luas tentang kebahagiaan dan kelezatan bagi manusia untuk mencapai ma’rifatullah. Mengenal dan mencintai sang Pencipta dengan sepenuhnya. Dengan demikian manusia akan memperoleh kesenangan yang luar biasa dari yang lainya”.

Keistimewaan manusia adalah memiliki potensi untuk ma’rifat kepada Allah. Dengan didasarkan cinta lah sumber kebahagaiaan, maka dari cinta pada Allah harus dipelihara dan dipupuk yakni dengan sholat dan amal baik lainnya. Sebab-sebab manusia mulia itu karna ilmu, karna menuntut ilmu adalah taqwa, menyampaikan ilmu adalah ibadah, mengulang-ulang ilmu adalah dzikir, mencari ilmu adalah jihad, dan saripati ilmu yang sebenarnya adalah mengetahui sedalam-dalamnya apa arti taat dan ibadah. Allah telah menjamin untuk meninggikan derajat orang-orang berilmu sebagaimana dalam perkataan Imam Syafi’i :

مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا فَعَليْهِ بِالْعِلْمِ وَمَنْ أَرَاد الآخِرَة فَعَلَيْهِ بالعِلْمِ وَمَنْ أَرَادَهُمَا فَعَلَيْهِ بِالعِلْمِ

“Barangsiapa yang ingin (kebahagiaan) di dunia maka hendaklah dengan ilmu, barangsiapa yang ingin (kebahagiaan) di akhirat maka hendaklah dengan ilmu, dan barangsiapa yang ingin (kebahagiaan) pada keduanya maka hendaklah dengan ilmu (pula)”. –Imam Syafi’i

Seperti layaknya filsuf Plato dan Al-Farabi yakni jalan menuju bahagia adalah dengan ilmu. Namun ada perbedaan dengan Al-Ghazali dalam hal menawarkannya, Al-Ghazali menawarkan kebahagiaan dengan menawarkan kata-kata kenikmatan (kebahagiaan) didepan lalu syarat menuju kebahagiaan (ilmu) diletakkan di uraian belakang. Seperti “kamu ingin bahagia dengan cara yang mudah? Maka kontrol-lah emosi dan syahwatmu dengan berilmu” dengan sudah mengalahkan musuh dirimu yang tidak terlihat (emosi, sombong, tamak, dsb) maka dirimu akan siap dan mudah mengalahkan musuh yang terlihat. Jadi berbeda dengan filsuf lain, Al-ghazali dalam bertasawuf membagikan kenikmatan terlebih dahulu, setelah itu Al-Ghazali memaparkan proses-prosenya.

Baca Juga  Kelompok Muda Rentan Terpapar Paham Radikalisme, Beginilah Cara Mencegahnya!

Namun perlu diingat bahwa semata-mata memiliki ilmu belum tentu menjamin keselamatan di akhirat kelak, karena bahaya lidah sangat-lah besar. Tapi dengan ilmu pengetahuan manusia memiliki peluang untuk mencapai derajat malaikat, sementara jika manusia menuruti hawa nafsunya maka akan lebih rendah dari binatang. Dan potensi ilmu pengetahuan ini akan lebih tinggi jika terus di pelajari. Seseorang tidak disebut berilmu jika hanya sibuk menghafal tanpa memperhatikan filosofi atau makna dari rahasia-rahasia didalamnya. Jadi, kunci meraih kebahagiaan di dunia serta di akhirat dapat diperoleh dengan terus belajar dan mencari ilmu.

Septya Melani Dwi Rahmawati Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya