Muhammad Ihya’ Ulumuddin Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabaya IG: @ihya_017

Analogi Ketuhanan dalam Surah al-Ikhlas

2 min read

Foto: www.pinterest.com
Foto: www.pinterest.com

Persoalan mengenai ketuhanan ramai menjadi perbincangan antara kaum agamawan, intelektual dan kaum filosofis. Ketuhanan merupakan sesuatu yang menjadi puncak dari hakikat yang menjadikan adanya manusia, alam dan dunia ini. Dalam agama Islam, ketuhanan dikaji dari kitab suci Alquran dan hadis. Keduanya saling berkorelasi satu sama lain. Biasanya para ulama dan orang-orang Islam memakai Alquran dan hadis sebagai pedoman praktis dalam kehidupan.

Kitab suci Alquran merupakan mukjizat yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW, Alquran juga merupakan kitab suci umat Islam yang berisi firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan perantaraan malaikat Jibril untuk dibaca, dipahami, dan diamalkan sebagai petunjuk atau pedoman hidup bagi umat manusia. Orang-orang Islam (muslim), orang Iman (mukmin), dan orang Ihsan/baik (muhsin) berpedoman kepada Alquran dan hadis.

Salah satu surah yang membahas ketuhanan dari kitab suci Alquran adalah surah al-Ikhlas. Dikaji dari sudut pandang analogi akan dijelaskan secara konkret mengenai ketuhanan yang dibahas dalam surah al-Ikhlas, Allah SWT Berfirman:

﴿قُلۡ هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ ﴾ [ الإخلاص:1]

Artinya: Katakanlah: “Dialah Allah, Yang Maha Esa. [Al Ikhlas:1]

﴿ٱللَّهُ ٱلصَّمَدُ  ﴾ [ الإخلاص:2]

Artinya: Allah tempat meminta segala sesuatu. [Al Ikhlas:2]

﴿لَمۡ يَلِدۡ وَلَمۡ يُولَدۡ ﴾ [ الإخلاص:3]

Artinya: Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan. [Al Ikhlas:3]

﴿وَلَمۡ يَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدُۢ ﴾ [ الإخلاص:4]

Artinya: Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia”.

Keunikan dan Keesaan Tuhan tidak dapat dihindari ketika kita sebagai manusia ber-Tuhan dan beragama dalam rangka mendekatkan diri dan menjadikan Tuhan sebagai Maha yang tidak terbatas dan kebenarannya yang absolut. Analogi Ketuhanan dikaji dan dijelaskan di dalam surah al-Ikhlas, untuk memudahkan bagi mereka yang sedang memahami konsep ketuhanan dalam agama Islam, di antara lain:

Baca Juga  Film Tilik dan Karakter Bu Tejo yang Menjadi Katarsis

Pertama, Katakanlah: “Dialah Allah, Yang Maha Esa, Diibaratkan seperti angka 1 yang menjadi sebab dari angka 2,3 dan seterusnya. Angka 1 adalah angka yang tidak diciptakan dari penjumlahan, pengurangan, pembagian, perkalian, perumusan matematika tertentu. Melainkan angka 1 itu ada dikarenakan angka 1 itu adalah asal-muasal dari angka-angka paling besar dan paling kecil. Sehingga perhitungan akan angka-angka yang akan lahir dalam bentuk pasti disebabkan dari angka yang asal muasalnya itu penyebabnya pasti, yakni angka 1.

Kedua, vAllah tempat meminta segala sesuatu. Diibaratkan seperti anak kecil yang sedang minta kepada orang tua dikarenakan keinginannya untuk memiliki dan mendapatkannya. Akan tetapi, tidak semua orang tua mau memberi apa yang jadi keinginan dari seorang anak. Contoh kecilnya, ada anak kecil masih berumur 10 tahun tetapi minta nikah, secara otomatis orang tua akan berpikir secara dalam untuk mengambil keputusan yang akan menjadikan hal yang belum dibutuhkan oleh anaknya. Hal yang belum dibutuhkan anaknya yaitu nikah di umur yang belum saatnya, maka orang tua akan melarang anaknya untuk menikah karena dilihat dari latar belakangnya anaknya belum cukup umur, anaknya belum memenuhi syarat dan rukun nikah, dan anaknya belum siap menafkahi dan membangun rumah tangga dalam umur yang masih kecil. Manusia akan diberikan apa yang dibutuhkan oleh Tuhannya bukan apa yang diinginkan oleh sebab itu diharuskan kepada umat Islam dan orang yang beriman untuk menjadikan Allah sebagai tempat meminta segala sesuatu.

Ketiga, Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan. Jika Allah beranak maka Allah mempunyai alat kelamin perempuan, jika Allah punya alat kelamin berjenis perempuan maka Allah berwujud sama seperti manusia, punya nafsu dan bisa melahirkan anak dari rahimnya. Allah itu berbeda dengan makhluknya (mukhalafatu li al-hawadits) jika Allah itu sama dengan manusia maka tidak ada hal yang membedakan antara Tuhan dengan ciptaannya. Hal ini merupakan titik pembeda dari makhluk (sesuatu yang asalnya tidak ada kemudian menjadi ada) dengan Tuhan (sesuatu yang asal muasalnya ada dan abadi) tidak ber-ruang dan tidak ber-waktu, tidak bisa dibayangkan seperti manusia tetapi bisa dipahami dengan firmannya yang terkandung dalam kitab suci dan diuraikan dengan beragam bentuk penafsiran para ulama.

Baca Juga  Mereka Kira Kami Bodoh [Sajak Rakyat Jelata]

Keempat, Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia. Diibaratkan Tuhan adalah pabrik, sedangkan alam adalah mesin dan manusia merupakan produk. Produk dari pabrik yang diciptakan melalui proses dan tahapan penciptaan di dalam mesin tidak akan setara dan sama dengan pabrik. Produk jika diukur dengan pabrik dari perspektif tingkat kelebihan dan kekurangan maka pabrik yang akan menang dalam pengukuran kebenaran yang direalisasikan. [AA, MZ]

Muhammad Ihya’ Ulumuddin Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabaya IG: @ihya_017

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *