Kulihat ibu pertiwi, sedang bersusah hati Air matanya berlinang, Emas intannya terkenang Hutan gunung sawah lautan, simpanan kekayaan Kini ibu sedang lara, merintih dan berdoa
Lagu “Kulihat Ibu Pertiwi” merefleksi negeri ini dalam kacamata keprihatinan. Merasakan dan mengalami sendiri panasnya suasana di negeri ini, rasa-rasanya kita sedang dilanda penyakit yang tak kunjung sembuh. Salah satu penyakit itu adalah penggunaan isu-isu keagamaan sebagai sarana untuk memecah belah bangsa.
Dengan melihat dalam kacamata damai, kita akan menyadari bahwa bangsa ini sebenarnya mempunyai begitu besar tenaga untuk menjaga damai. Tradisi gotong royong, tradisi kumpul-kumpul (makan gak makan asal kumpul), tradisi silaturahmi, tradisi mudik untuk menjaga persatuan, dan berbagai ikatan sosial yang menyatukan kita menguatkan bangsa ini.
Hal yang demikian tidak umum di beberapa negara. Saat saya tinggal untuk beberapa lama di Filipina, saya menemukan bahwa ada tempat yang menjadi blok tempat tinggal kelompok Muslim atau agama lain, sementara blok terbesar adalah agama Katolik dan Kristen.
Ketika saya mengatakan bahwa saya adalah pastor dan di keluarga saya ada banyak orang muslim, mereka tidak mudah percaya. Padahal, hal yang demikian banyak terjadi di tempat kita. Banyak keluarga yang anggotanya menganut beberapa agama berbeda, bahkan ada seorang teman pastor yang bersaudara dengan seorang haji dan seorang pendeta.
Ikatan agama tidak pernah menjadi satu-satunya ikatan di negeri ini. Sebenarnya Negara ini too big to fail, sudah terlalu besar dan kuat untuk bisa gagal dalam menjaga keberagaman. Namun, saat-saat ini begitu banyak energi negatif menggoncang ibu pertiwi.
Energi Negatif
Saya menyebut energi negatif ini dalam konteks relasi antar agama. Hal pertama yang jelas menjadi kentara adalah penggunaan isu “pertentangan antar agama” atau politisasi identitas agama dalam perpolitikan kita.
Di tempat dengan jumlah umat Katolik atau Kristen lebih banyak, isu pertentangan terhadap calon dari agama Islam muncul, sementara situasi yang sebaliknya muncul di tempat yang memiliki lebih banyak umat Islam. Hal ini menjadikan tema pemilu menjadi agak rancu. Pemilu yang mencari pemimpin terbaik, menjadi “perang antar agama.”
Energi negatif yang lain adalah berbagai bentuk teror. Salah satu terror yang pernah terjadi adalah tindak terror di gereja. Sejauh kita tahu bersama bahwa teror pertama-tama bertujuan untuk memunculkan perasaan takut di masyarakat. Teror bukan pertama-tama soal berapa orang yang mati atau berapa besar kerugian material, melainkan tentang rusaknya rasa aman untuk bersaudara.
Umat Katolik yang takut dengan orang Muslim, dan rasa curiga yang muncul menjadi bentuk keberhasilan teror. Saat saya mengungkapkan tentang ketakutan ini, teman saya, seorang ustaz mengatakan,
“Romo, orang Katolik-Kristen seringkali merasa bahwa mereka adalah korban satu-satunya dari tindak terorisme. Mereka tidak menyadari bahwa mereka bukanlah satu-satunya korban. padahal, sebenarnya kami juga merupakan korban yang merasakan double penderitaan dari situasi tersebut. Pertama, kami kehilangan saudara sebangsa setanah air. Kedua, agama yang kami gunakan untuk mencapai kemuliaan hidup, sekarang digunakan orang untuk membunuh.”
Saat itulah saya benar-benar menyadari betapa besar energi negatif dari tindak terorisme. Ini adalah ajang adu domba yang merusak negeri ini.
Jangan Takut, Kita Bersama
Lagu kulihat ibu pertiwi mengajak kita menemani ibu pertiwi melewati masa-masa sulit. Itulah yang saya sebut sebagai energi positif. Tentu negeri ini sudah memiliki energi positif persaudaraan sejak lahirnya gerakan kebangkitan Nasional, Sumpah Pemuda dan Proklamasi Kemerdekaan. Namun, ada dua hal yang rasa-rasanya menjadi energi positif yang terus membantu menjaga Indonesia.
Pertama, kehadiran Banser yang menjadi garda persaudaraan Indonesia. Di tengah maraknya aksi terorisme yang terjadi di Situbondo 10 Oktober 1996, Gus Dur memerintahkan Banser untuk merawat persaudaraan itu dengan menjaga Gereja-Gereja pada hari Natal.
Gus Dur mengatakan, “Sebab gereja itu ada di Indonesia, Tanah Air kita. Tidak boleh ada yang mengganggu tempat ibadah agama apapun di bumi Indonesia”.
Dalam beberapa kesempatan refleksi atas kehadiran Banser di kalangan Gereja Katolik, saya mengatakan, “Mereka hadir untuk merawat kesatuan Indonesia. Jangan sampai narasi permusuhan hidup di negeri ini. Yang melakukan aksi kekerasan itu adalah oknum dan tidak bisa mewakili Islam.”
Dari kehadiran Banser, seakan saya mendengar ungkapan, “Tindak teror merusak perdamaian, dan tidak mewakili Islam. Jangan takut. Kami bersamamu.” Inilah energi positif untuk negeri ini.
Energi positif yang kedua adalah hadirnya berbagai forum dialog antar agama. Di dalam dialog tersebut, kita menemukan usaha-usaha untuk terus menemukan ruang-ruang hidup bersama. Gerak bersama di ruang-ruang ekologis, pembelaan terhadap kaum yang kecil, upaya mengangkat peran perempuan, kehendak baik untuk terus terlibat di dalam upaya menjaga budaya dan berbagai keterlibatan sosial turut menjaga agar identitas agama tidak menjadi satu-satunya pembeda.
Kita tidak ingin menjadi Negara yang relasi antar warganya diatur seluruhnya oleh aturan seperti digambarkan oleh Max Weber soal sangkar besi, Iron Cage. Pemikiran ini menggambarkan tentang gaya hidup masyarakat kapitalis barat yang menjebak setiap pribadi dalam sistem sosial yang murni didasarkan pada kendali kalkulasi dan rasionalitas. Ikatan-ikatan sosial menjadi melemah dan mudah dipecahbelah.
Memang, rasional bahwa orang yang berbeda agama saling bertentangan, tetapi masyarakat kita tidak hanya didasarkan oleh rasionalitas. Kita hidup atas dasar ikatan-ikatan yang memungkinkan seorang muslim menjaga tempat ibadah orang Katolik dan seorang Katolik bersilaturahmi di saat orang-orang Muslim sedang merayakan lebaran.
Indonesia terus membutuhkan pengikat supaya menjadi seikat sapu lidi yang tak mudah dipatahkan, bukan sekedar sebuah lidi yang begitu rapuh.
Kulihat ibu pertiwi, kami datang berbakti Lihatlah putra-putrimu, menggembirakan ibu Ibu kami tetap cinta, putramu yang setia Menjaga harta pusaka, untuk nusa dan bangsa
Mari terus menjadi energi positif untuk kesatuan negeri ini. [AA]