Dalam suatu kesempatan, saya mendengarkan pernyataan yang begitu “mantap” dari seorang tokoh agama, yang saya anggap telah memiliki perspektif keagamaan yang inklusif. Inti dari peryataan tersebut menyatakan bahwa fikih itu terbagi menjadi dua, yakni fikih ibadah dan fikih dakwah.
Dalam penjelasannya, ia menyatakan bahwa fikih ibadah itu sangat tegas kaitannya dengan hubungan muslim dengan non-muslim. Muslim menjaga jarak yang aman dan bertoleransi itu bersifat pasif, sekadar tidak menganggu. Berbeda dengan fikih dakwah, bersifat lebih longgar. Menurut hemat saya, yang demikian itu sama halnya dengan hanya diperbolehkan bergaul dengan orang yang berbeda agama dalam rangka berdakwah.
Lebih jauh, pernyataan tersebut juga meneguhkan bahwa menjalin hubungan yang baik kepada orang yang berbeda agama tanpa tujuan dakwah bukan lah ibadah. Kalau ingin kegiatan tersebut bernilai ibadah harus ada unsur dakwah, bukan hanya untuk saling mengenal dan berbuat baik kepada sesama manusia ciptaan Tuhan.
Saya kira yang demikian itu tentu bertentangan dengan Surat Al-Hujurat ayat 13 terkait perlunya saling mengenal diantara masyarakat. Pun demikian dengan sabda Rasulullah yang menjelaskan bahwa manusia yang terbaik adalah manusia yang memberikan manfaat kepada manusia yang lain, tanpa memandang perbedaan suku, ras, agama, dan kewarganegaraan.
Sebelumnya, yang juga terkait dengan perspektif di atas, hasil survey Centre for Strategic and International Studies (CSIS) tahun 2017, meskipun 90.5% kelompok milenial (umur 17-29 tahun) tidak setuju ketika Pancasila akan diganti dengan ideology lain, 53.7 % milenial menyatakan tidak bisa menerima pemimpin Negara yang berbeda agama.
Selain itu, dalam poling yang dilakukan oleh Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (LAKPESDAM) Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Pasuruan tahun 2019 terhadap 4144 pelajar, dari Dari 92 % atau 3797 pelajar yang tidak setuju mengganti Pancasila, ternyata 45% memiliki opini keagamaan yang eksklusif. Hal itu berdasarkan 1726 jawaban dari 3797 Pelajar tersebut.
Indikator eksklusif tersebut seperti menyatakan setuju terhadap pengerusakan tempat ibadah agama lain, menyatakan setuju terhadap penegakan ajaran agama dengan cara kekerasan, menyatakan tidak bersedia bertetangga dengan yang orang berbeda agama, menyatakan tidak bersedia bertetangga dengan orang yang berbeda agama, dan tidak bisa menerima pemimpin negara yang berbeda agama.
Melihat kondisi tersebut, penulis mengkategorikan perspektif tersebut dalam perspektif pseudo-inklusif. Sebuah perspektif yang tetap memberikan perlakuan yang berbeda kepada seseorang hanya dikarenakan perbedaan aliran dan/atau agamanya. Meskipun, Ia telah menyadari adanya realitas dalam kehidupan yang beragam aliran di satu agama dan perbedaan antar agama. Contohnya adalah menganggap orang yang berbeda agama sebagai saudara sebangsa namun tidak bersedia memilihnya menjadi pemimpin Negara (Makhfud: 2020).
Menyadari itu semua, menjadi penting untuk melanjutkan perjuangan, pemikiran, dan keteladanan Gus Dur dalam meneguhkan agama Islam sebagai agama yang mengarusutamakan dimensi kemanusiaan. Sebagaimana dalam disertasi Dr. Johari (2019), Gus Dur memiliki kontribusi yang luar biasa dalam pengembangan hukum Islam di Indonesia. Adapun karakteristik pemikiran fikih Gus Dur adalah dinamis dan kontekstual (Al-Waqi) serta humanistik.
Karakteristik dinamis dan kontekstual dalam fikih Gus Dur dapat dilihat dari upaya Gus Dur untuk menjelaskan bahwa fikih adalah produk ijtihad, kontektual, dan menggunakan seperangkat metodologi. Sedangkan karakteristik humanistik dalam fikih Gus Dur dapat dilihat dari upaya Gus Dur meneguhkan Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi kemanusiaan.
Wajar kemudian ketika Gus Dur menggunakan al-kulliyat al-khams, menempatkan hifzun nafs (keselamatan fisik atau jiwa) diurutan pertama, disusul dengan hifzud din (keselamatan agama masing-masing) dan seterusnya.
Dalam bukunya, Johari menjelaskan contoh-contoh produk dari pemikiran fikih Gus Dur tersebut, seperti: pertama, perempuan memiliki hak untuk menjadi pemimpin; kedua, syarat adil dalam poligami itu menurut istri, bukan suami; ketiga, penegasan terkait hubungan Pancasila dengan agama adalah hubungan interpretatif, bukan ideology; keempat, keselarasan Islam dengan demokrasi dan pluralisme, serta perhargaannya terhadap hak asasi manusia, dan lain-lain.
Saya mencoba menggunakan karakteristik fikih Gus Dur terhadap dua persoalan diatas. Pertama, Kaitannya dengan penerimaan terhadap pemimpin Negara yang berbeda agama, ini harusnya senada dengan telah jelasnya bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan Islam. Terkait memilih pemimpin Negara yang berbeda agama, ini soal politik. Ketika kita memilih tak memilih pemimpin yang berbeda agama, itu adalah hak dan tidak perlu mengatakan Islam melarang memilihnya.
Terlebih, menurut Nadirsyah Hosen (2017) terkait larangan memilih pemimpin yang berbeda agama, utamanya terkait surat Al-Maidah ayat 51, menyatakan bahwa kata awliya, memang dalam terjemahan Alquran Kemenag RI sebagai pemimpin. Dalam tafsir klasik seperti at-Tabary dan Ibn Katsir, tidak menunjukkan kata awliya sebagai pemimpin, melainkan semacam sekutu atau aliansi.
Bahkan, dari sepuluh kitab, yakni Tafsir Al-Baidhawi, Tafsir Fi Zhailalil Qur’an, Tafsir Jalalain, Tafsir Al-Miqbas min Tafsir Ibn Abbas, Tafsir Al-Khazin, tafsir Al-Biqa’i, Tafsir Muqatil, Tafsir Sayyid Thantawi, Tafsir Al-Durr Al-Mansyur, Tafsir Al-Khazin, dan Tafsir Ibn Katsir, kesemuanya tidak ada yang mengartikan awliya dalam surat Al-Maidah ayat 51 sebagai pemimpin. Ia juga menegaskan, memilih pemimpin tidak harus Islam, yang penting punya komitmen terhadap keadilan.
Kedua. Terkait pergaulan dengan orang yang berbeda agama, baik dalam bingkai negara Indonesia dan persaudaraan manusia secara universal, merupakan bagian dari menjalankan perintah agama, bernilai ibadah. Hal ini berdasarkan Surat Al-Hujurat Ayat 13 yang menjelaskan pentingnya saling mengenal diantara masyarakat dan perkataan Rasulullah tentang manusia yang terbaik adalah manusia yang memberikan manfaat kepada manusia yang lain, tanpa memandang perbedaan suku, ras, agama, dan kewarganegaraan.
Mudah dikatakan, sulit dilakukan bukan? [AA]