“Sebelumnya maafkan saya harus mengatakan ini, Num.”
Gus Hakim memulai pembicaraan kepada Ranum, salah satu santri putri di pesantrennya.
“Aku mencintaimu” lanjut Gus Hakim.
Tiba-tiba semua hening. Ruangan kecil yang biasa digunakan untuk memanggil santri jika ada keperluan khusus itu terasa hampa.
Dada Ranum mulai sesak menahan nafas yang seolah mulai sesak oleh gumpalan air mata yang hampir saja mencair. Matanya terpejam, tak membiarkan setetes air matanya jatuh.
“Saya tau ini berat. Tapi perasaan tak bisa dibohongi. Pun saya butuh orang lagi seperti Ning Ifah untuk membantu mengurus pesantren ini semenjak meninggalnya Abah. Dan saya rasa kamu orang yang tepat untuk itu, Num. Tapi semua saya kembalikan ke kamu, Num. Keputusan ada di tanganmu,” pungkas Gus Hakim.
“Maaf Gus, bukan saya suul adab kepada njenengan, saya tau kalau poligami itu halal, dan saya mengerti alasan njenengan. tapi saya tidak enak dengan Ning Ifah sebagai istri njenengan, Gus. Sedangkan beliau adalah guru saya sendiri. Begitu pula njenengan, Gus;” dengan mata masih terpejam, suara Ranum mulai keluar pelan.
“Masalah itu insyaa Allah Ning Ifah bisa mengerti. Dan justru kamu nanti bisa belajar banyak dengannya untuk mengurus pesantren ini, Num”
Kali ini air mata Ranum benar-benar sudah di ujung. Mulutnya tiba-tiba beku tidak bisa berkata apa-apa
“Jika sampean bersedia, tentunya saya janji akan memenuhi kewajiban saya sebagai suami. Insyaa Allah saya bisa memenuhi semua kebutuhan kamu, bahkan keluargamu juga, Num” lanjut Gus Hakim masih berusaha meyakinkan Ranum.
Bayang-bayang Usman seketika berkecamuk di kepala Ranum. Sosok laki-laki yang sedang berusaha di luar sana untuk segera meminangnya. Usman hadir bersamaan dengan setetes air mata ranum yang tak terbendung lagi.
“Maaf Gus, saya tidak bisa menerima tawaran Njenengan, Ngapunten sanget, Gus”
“Kalau boleh tau, kenapa alasannya, Num”
Kali ini, Ranum terpaksa mengatakan yang sebenarnya. “Maaf sebelumnya, Gus. Sudah ada yang nembung saya sebelumnya, dan saya pun mencintainya”
“Siapa Num?” Tanya Gus Hakim
“Usman, Gus. Santri alumni tahun kemarin.” Jawab Ranum.
Entah, dada yang semula terasa sesak tadi seolah mendadak longgar. Mata yang sedari tadi terpejam, kini sudah mulai terbuka.
Gus Hakim menghela nafas dalam-dalam “Baiklah kalau seperti itu, saya tidak bisa memaksa kamu. Ini hak kamu untuk menolak saya.” Gus Hakim memungkasi dengan senyum. Nampak sedikit ada kesedihan di wajah Gus Hakim.
***
Langit sore ini nampak cerah sekali. Mata Ranum menelisik jauh ke arah yang tidak jelas. Tatapan kosong. Wanita cantik itu memang didambakan banyak santri putra. Namun baginya, hanya satu orang yang sekarang menempati hatinya. Dan dia berharap selamanya.
Usman, adalah sosok laki-laki yang terus dicarinya dalam tatapan hampa itu. Ranum berharap menemukan Usman di langit-langit sore itu. Ranum ingin menumpahkan air mata di depannya. Dia ingin menceritakan semua kejadian pagi tadi. Kejadian yang tak pernah diduga.
“Assalamu’alaikum, dik. Sedang selo ndak, ya? Mas pengen nelpon.”
Sebait pesan WA masuk. Wajah Ranum langsung sumringah. Dengan bergegas ia menjawab pesan Usman
“Wa’alaikumsalam, mas. Sekarang adek selo, mas. Monggo kalau mau telpon”
Tak berselang lama gawai Ranum beregetar “Assalamu’alaikum dik, apa kabar?” suara Usman mulai terdengar di ujung sana melalui gawai Ranum.
“wa’alaikumsalam, mas. Alhamdulillah sehat, Mas sehat kan?”
“Alhamdulillah sehat, dik. Hehe…”
Ranum tak kuasa untuk tidak menceritakan semuanya
“Mas, aku pengen cerita, tapi mas jangan kaget apalagi sedih ya, mas.”
“Cerita apa dik? Silahkan kalau mau cerita.” tanya Usman penasaran.
“Mas, sebelumnya maaf. Tadi pagi Gus Hakim nembung aku mas”
“Nembung gimana maksutnya, dik?” Tanya Usman penasaran
“Beliau mengungkapkan cinta ke aku, mas.” Jawab Ranum dengan berat lalu disusul dengan air mata yang pecah.
Sedang, di ujung sana langit-langit di kota yang berbeda pun nampak cerah. Namun tidak dengan hati Usman. Tiba-tiba saja terasa sesak.
“Lalu pripon, dik?” kini suara Usman mulai melemas.
“Mas, aku mencintaimu. Dan, aku katakan itu kepada beliau. Aku menolak tawaran beliau untuk jadi istri kedua mas. Aku milih kamu mas,” jawab Ranum mencoba menenangkan Usman.
Usman masih belum percaya. Baginya, Gus Hakim adalah sosok yang sangat dihormatinya. Gus Hakim adalah guru Usman ketika ia masih di pesantren dulu. Namun, bagi Usman, poligami adalah kata yang tidak bisa ia percaya jika itu terjadi pada Gus Hakim. Apalagi wanita ke dua yang dicintai oleh Gus Hakim adalah sosok yang sedang ia perjuangkan.
Usman menghela nafas dalam-dalam. Mencoba mencari celah ketenangan dalam ketidakpercayaan kejadian itu. Bagaimanapun juga, walaupun poligami itu boleh, tapi konteks zaman sekarang berat untuk diterima.
“Kenapa tidak kamu terima, dik? Kamu akan langsung diangkat derajatnya oleh beliau, kamu tak perlu menunggu ketidakpastian dariku. Mungkin kesejahteraanmu akan lebih baik,” jawab Usman dengan suara sedikit tersendu
“Mas, ada yang tak ternilai harganya dan tak pernah bisa terkalahkan kedudukannya. Adalah kesetiaan. Gus Hakim adalah guruku, begitu juga Ning Ifah. Dan aku, adalah wanita yang berhak memilih. Mas, aku sedang menunggu kamu. Aku memilihmu, Mas” kali ini lagi-lagi suara Ranum disusul oleh sesenggukan tangis.
Usman adalah orang biasa. Terlahir dari keluarga sederhana, tak banyak harta, hanya semangat belajar dan perjuangannya tak pernah berhenti. Kini, Usman sedang menempuh studi S2 di kota yang berbeda. Itu yang cukup membuat Ranum jatuh cinta kepadanya.
“Dik, terimakasih banyak atas kesetiaannya. Jujur, aku hampir belum bisa menerima kejadian ini. aku masih belum percaya ini terjadi. Namun, ada yang harus lebih aku apresiasi dari pada aku sesali. Adalah kesetiaanmu kepadaku, dik.” Suara Usman kini mulai lebih tenang.
“Mas, aku menunggumu.”
“Aku akan segera datang. Usai studiku selesai. Aku akan datang”
“Iya mas, aku percaya itu. Terimakasih mas.” pungkas Ranum. Kini langit-langit hati Ranum juga mendadak cerah. Kejadian ini menguatkan keduanya. Mungkin ini cara Gus Hakim mengajari kesetiaan kepada mereka.
***
Cincin itu sebentar lagi melingkar di jari manis Ranum. Ada kebahagiaan mendalam di dada Usman. Sosok wanita yang dicintainya sebentar lagi dipinang olehnya. Sosok wanita yang banyak mengajarkan tentang arti perjuangan dan kesetiaan.
Usman terpejam dalam. Menelisik kejadian waktu itu. Kini wanita anggun itu ada di depan matanya, bersamaan dengan keluarga dari keduanya.
Cinta Usman dan Ranum itu bukan jatuh, cinta mereka itu terbang bersama sejuta harapan, sayapnya adalah kepercayaan dan kesetiaan. Langit-langitnya adalah jagat doa yang selama ini mereka panjatkan. Kesetiaan tak pernah ternilai harga dan kedudukannya.
“Alhamdulillah, terimakasih Ranum,” bisik Usman dalam hatinya.
“Terimakasih, mas.” bisik Ranum dalam hatinya. Disusul seutas senyum dan tatapan mata dari keduanya. Ada yang tak ternilai harganya, yaitu kesetiaan. [AA]