Term di atas seringkali digunakan oleh al-Syātibī dalam menjelaskan ontologi maqāsid al-syarī’ah. Nu’mān Jughaim juga selalu memberikan demarkasi istilah-istilah teknis dalam kajian maqāsid. Misalnya, istilah maqāsid al-khitāb al-syar’ī, maqāsid al-ahkām al-syar’iyah dan maqāsid al-syāri fi manhaj al-tasyrī’. Ketiga istilah ini memiliki karakteristik dan fokusnya masing-masing.
Pada tulisan ini, akan diuraikan penjelasan mengenai maqāsid al-khitāb al-syar’ī. Sebagaimana diketahui bahwa dalam setiap titah Tuhan yang termuat dalam al-Qur’an memiliki kandungan makna perintah maupun larangan. Demikian halnya di dalam hadis Nabi saw. Keduanya merupakan sumber primer dalam ajaran Islam.
Maqāsid al-khitāb al-syar’ī merupakan tujuan wacana hukum yang termuat di dalam teks-teks otoritatif keagamaan, baik al-Qur’an maupun hadis. Jughaim dalam bukunya al-Muharrar fī Maqāsid al-Syarī’ah al-Islāmiyah (hlm. 121) memberikan definisi sebagai berikut:
المراد بمقاصد الخطاب الشرعي المعاني المقصودة من الخطاب الشرعي المتمثل في نصوص القران الكريم والسنة النبوية الشريفة
Maksudnya: Yang dimaksud dengan tujuan wacana hukum adalah makna yang dimaksudkan dari wacana hukum yang direpresentasikan dalam teks Al-Qur’an dan sunnah Nabi yang mulia.
Oleh karena itu, orientasi maqāsid al-khitāb al-syar’ī adalah penetapan hukum atau ketentuan pembebanan syariat (taqrīr al-takālīf al-syar’iyyah), mengidentifikasi hak dan kewajiban mukallaf (tahdīd al-huqūq wa al-wājibāt) dan penjelasan seputar hukum syariat bagi umat manusia (bayān al-hukm al-syar’ī li tasarrufāt al-insān).
Pada konteks ini, untuk memahami maqāsid al-khitāb al-syar’ī dibutuhkan metode sistematis. Lebih lanjut, Nu’man Jughaim menjelaskan mekanisme dalam upaya mengidentifikasi maqāsid al-khitāb al-syar’ī sebagai berikut:
يعتمد تحديد المقصود من الخطاب الشرعي على عنصرين: أحدهما الوضع اللغوي للألفاظ وهو المعنى الذي وضعت له ألفاظ النص المراد تحديد المقصود منه، والثاني الاستعمال الشرعي وهو المعنى الذي استعمل فيه الشارع تلك الألفاظ في ذلك المقام الذي صدر فيه النص. ويساعد على تحديد الاستعمال الشرعي أمور هي السياق اللغوي للنص، والسياق التشريعي العام والمقام الذي صدر فيه ذلك النص.
Maksudnya: Penentuan makna suatu wacana hukum bergantung pada dua unsur: salah satunya adalah konteks linguistik teks, yang merupakan makna yang dimaksudkan untuk menentukan tujuan yang dimaksudkan oleh redaksi teks tersebut, dan yang kedua adalah penggunaan hukum syar’ī, yaitu makna di mana Syāri menggunakan redaksi teks tersebut dalam konteks teks itu dikeluarkan. Hal-hal yang membantu menentukan penggunaan syariat adalah konteks linguistik teks, konteks pensyariatan secara umum dan sosio-historis teks diturunkan.
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa dalam memahami maksud khitāb syar’ī harus memperhatikan tiga hal. Pertama, makna bahasa teks-teks keagamaan. Sebagaimana diketahui bahwa teks-teks keagamaan dalam Islam berbahasa Arab. Oleh karena itu, memahami maksud titah Tuhan tidak terlepas dari makna-makna linguistik bahasa Arab itu sendiri.
Meskipun demikian, bukan berarti makna linguistik menjadi satu-satunya cara untuk memahami maksud titah Tuhan. Justru sebaliknya, seringkali justru salah memahami maksud teks disebabkan terjebak pada makna tekstualis. Pada konteks inilah suatu teks keagamaan harus dilihat secara komprehensif dan kontekstual.
Nu’mān Jughaim menegaskan demikian (hlm. 125):
وقد يقع البعض في الخطأ في تحديد المقصود من الخطاب الشرعي عندما يرتكز علي الوضع اللغوي دون انعام النظر في السياق الذي يحدد الاستعمال الشرعي.
Kedua, konteks makna teks dalam penggunaan syar’ī (al-siyāq al-tasyrī’ī al-‘āmm) dan konteks makna teks secara khusus (al-siyāq al-khās li al-nash). Kedua metode ini sejatinya melengkapi metode sebelumnya. Oleh sebab itu, dalam memahami maksud al-khitāb al-syar’ī harus mengidentifikasi makna-makna khusus dalam istilah hukum Islam secara spesifik, bukan sekadar memahaminya secara tekstual.
Dalam konteks ini, karena bisa jadi secara tekstual mengandung makna umum, tetapi yang dimaksud Tuhan adalah makna khusus. Atau, teks-teks tersebut bersifat mutlak sehingga butuh teks lain untuk membatasinya dan seterusnya. Al-Syātibī pernah berkata demian tentang kompleksitas makna al-Qur’an (Juz II, 50-51):
انزل على لسان معهود العرب في ألفاظها الخاصة وأساليب معانيها وأنها فطرت عليه من لسانها تخاطب بالعام يراد به ظاهره وبالعام يراد به العام في وجه والخاص في وجه، وبالعام يراد به الخاص، والظاهر يراد به غير الظاهر وكل ذلك يعرف من أول الكلام أو وسطه أو آخره. وتتكلم بالكلام ينبئ أوله عن آخره أو آخره عن أوله وتتكلم بالشيء يعرف بالمعني كما يعرف بالاشارة. وتسمى الشيء الواحد بأسماء كثيرة والأشياء الكثيرة باسم واحد. وكل هذا معروف عندها لا ترتاب في شيء منه هي ولا من تعلق بعلم كلامها.
Ketiga, konteks latarbelakang teks diturunkan (al-maqām al-ladzī shadara fīhi al-nash). Dalam hal ini, untuk memahami maksud titah Tihan dalam teks harus membaca aspek sosio-historis dimana dan kapan teks diwahyukan. Oleh sebab itu, untuk memahami maqāsid al-khitāb al-syar’ī harus mempertimbangkan asbāb al-nuzūl ayat-ayat al-Qur’an dan asbāb al-wurūd hadis Nabi.
Dengan demikian, tugas utama dari memahami maqāsid al-khitāb al-syar’ī adalah mengungkap maksud titah Tuhan berupa perintah dan larangan yang termuat di dalam teks-teks otoritatif keagamaan. Dengan kata lain, maqāsid al-khitāb al-syar’ī adalah hukum taklīf yang terkandung di dalam teks.
Dalam maqāsid al-khitāb al-syar’ī tidak berbicara tentang hikmah pensyariatan hukum, rahasia di balik hukum atau kemaslahatan suatu hukum. Akan tetapi, ia mengungkap maksud wacana hukum itu sendiri. Dengan begitu, setiap perintah atau larangan di dalam teks melahirkan kesimpulan hukum antara wājib dan sunnah atau harām dan makrūh. Maqāsid al-khitāb al-syar’ī berarti mengungkap maksud titah Tuhan berupa hukum wājib, harām dan hukum taklīf lainnya.
Sebagai misal, QS al-Baqarah 183: Yā ayyuhā al-ladzīnaā āmanū kutiba alaikum al-siyām. Untuk mengungkap maqāsid al-khitāb al-syar’ī dari ayat tersebut dapat dilalukan dengan tiga langkah di atas. Pertama, memahami makna linguistik kata kutiba yang berarti furidha (diwajibkan). Kedua, istilah al–siyām secara syar’ī memiliki makna khusus, yakni menahan diri dari perbuatan yang membatalkan puasa dari fajar hingga tenggelamnya matahari.
Sementara di pihak lain, jika menelusuri asbāb al-nuzūl ayat di atas, menurut Yusūf al-Qarādhawī dalam kitabnya Fiqh al-Siyām menjelaskan bahwa kewajiban puasa pada tahun kedua hijriah berhubungan erat dengan periode dakwah Islam pada zaman Rasulullah. Sebab pada periode pertama di Mekah, hal yang ditekankan adalah penanaman akidah dan tauhid. Sedangkan pada periode kedua di Madinah, syariat Islam sudah mulai menjelaskan tentang kewajiban umat muslim beserta ketentuan dan hukumnya, salah satunya adalah kewajiban berpuasa.
Jadi, mengungkap maqāsid al-khitāb al-syar’ī merupakan upaya untuk memahami wacana hukum yang terkandung dalam titah Tuhan berupa hukum taklīf, baik hukum wajib, haram dan seterusnya. Dengan kata lain, maqāsid al-khitāb al-syar’ī menjawab tentang apa maksud perintah atau larangan Tuhan yang termaktub dalam kitab suci-Nya. Bukan berbicara hikmah, rahasia di balik kewajiban atau pelarangan hukum itu sendiri. [MZ]