Abdul Mun'em Choiri Mahasiswa Aktif Tasawuf dan Psikoterapi UINSA Suarabaya.

Lebih Utama Mana Antara Bersyukur dan Bersabar ?

2 min read

Sebagai umat manusia yang pastinya tak luput dari ujian. Untuk itu tentu harus mempunyai bekal yang “cukup untuk menghadapinya. Sebab, tak jarang ketika manusia diberikan ujian ataupun musibah merasakan keresahan atau mengeluh lantaran tidak bisa menerima keadaan. Bahkan sudah banyak umat manusia terjerumus dalam kemusyrikan disebabkan karena tidak tahan banting dalam mengahadapi ujian itu. Naudzubilla.

Dalam agama Islam sendiri kita sebenarnya diajarkan bagaimana bisa “nyaman” hidup di tengah ujian itu. Islam mengajarkan bagaimana kita menjalani kehidupan dengan rasa bersyukur dan bersabar. Dengan bersyukur dan bersabar, kita dapat merasakan ketenangan, kedamaian dan kelapangan hati. Bekal inilah yang penulis maksud.

Namun terkadang kita bertanya-tanya pada kondisi itu mana yang perlu diutamakan antara bersabar dan bersyukur. Maklum, sebagai manusia biasa terkadang tidak mampu melaksanakan kedunya sehingga memilih untuk melakukan salah satunya agar tetap berpegang teguh kepada ajaran-ajaran agama Islam. Lebih baik melakukan salah satu diantara kedunya daripada tidak melakukan sama sekali dan terjerumus kepada jalan yang salah. Tentu, penulis disini membahas sekelumit tentang sabar dan syukur guna menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terkadang muncul di benak pikiran kita.

Dalam kitab Minhajul Abidin karya Syekh Imam Ghazali, dijelaskan bahwa masih ada perbedaan pendapat pada konteks ini. Sebagian ulama mengatakan bahwa lebih utama beryukur daripada bersabar karena berlandaskan kepada dalil ayat Al-Qur’an sebagai berikut,

وَقَلِيْلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُوْرُ

 “Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (Saba’:13)

Allah menempatkan orang yang beryukur sebagai orang yang terkhusus dari yang khusus. Dia Berfirman ketika memuji Nabi Nuh as.,

اِنَّهٗ كَانَ عَبْدًا شَكُوْرًا

“ Ia adalah hamba yang banyak bersyukur.”(Al-Isra’:3).

Demikian pula dengan apa yang pernah dimohon oleh nabi Ibrahim as, seperti dikisahkan dalam Al-Qur’an,

Baca Juga  Pemikiran Politik Moderat KH. Abdurrahman Wahid

شَاكِرًا لِّاَنْعُمِهِ

“ …lagi yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah.”(an-Nahl:121).

Dikarenakan keberadaan syukur ada pada tataran nikmat dan keselamatan, maka ada yang mengatakan, “ kalau aku diberi nikmat, kemudian aku bersyukur, maka hal itu lebih aku sukai daripada diuji kemudian bersabar”.

Di satu sisi, sebagian ulama berpendapat bahwa sabar lebih utama daripada bersyukur, dikarenakan berdalil kepada lebih beratnya kondisi untuk dihadapi. Sehingga pahala yang diperoleh lebih besar ketimbang pahala bersyukur. Pendapat ini berlandaskan pada Firman Allah dalam Al-Qur’an,

اِنَّا وَجَدْنٰهُ صَابِرًا ۗنِعْمَ الْعَبْدُ ۗاِنَّهٗٓ اَوَّابٌ

“Sesungguhnya kami dapati ia ( Nabi Ayyub) seorang yang sabar. Ia adalah sebaik-baiknya hamba (yang bersabar).” (Shaad:44)

اِنَّمَا يُوَفَّى الصّٰبِرُوْنَ اَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas” (az-Zumar:10)

Allah SWT juga berfirman,

وَاللّٰهُ يُحِبُّ الصّٰبِرِيْنَ

“Allah menyukai orang-orang yang sabar.” (Al-Imron:146)

Dari dua pendapat itu kita dapat menemukan titik temu pembahasan bahwa orang yang bersyukur itu pada hakikatnya adalah orang yang bersabar. Begitupun sebaliknya, orang yang bersabar itu pada hakikatnya sudah bersyukur. Karena, orang yang bersyukur ketika menerima ujian tidak terlepas dari ujian yang mana ia bersabar terhadapnya dan tidak larut dalam kesedihan. Sebab, syukur itu adalah mengagungkan Allah azza wa jalla dalam batas yang mencegahnya dari kedurhakaan terhadap-Nya. Sedangkan kesedihan yang berlarut-larut adalah suatu bentuk kedurhakaan. Dan orang yang bersabar tidak terlepas dari nikmat, seperti yang telah penulis sebutkan tadi, bahwa kesusahan-kesusahan itu pada hakikatnya merupakan nikmat.

Jadi, pada hakikatnya apabila seseorang itu bersabar terhadap ujian yang menimpa dirinya, maka itu merupakan bentuk perwujudan dari rasa syukur. Sebab, ia menahan hatinya dari kesedihan yang mendalam dengan cara mengagungkan Allah SWT. Pengagungan itu sebagai bentuk pencegahan dirinya dari pebuatan durhaka kepada Allah. Orang yang bersyukur dapat mencegah dirinya dari perbuatan kufur, sehingga ia mampu bersabar untuk tidak berbuat maksiat dan bersabar dalam bentuk ketaatan. Maka, pada hakikatnya ia orang yang bersabar.

Baca Juga  Semangat Berhalal bi Halal ala New Normal

Orang yang bersabar itu dimuliakan dan diberi penghormatan oleh Allah SWT dan bentuk penghormatan dari Allah berupa mencegah dirinya dari kesedihan yang mendalam saat menerima musibah. Hal itulah yang membuat dirinya tetap bersabar. Dengan demikian, ia telah bersyukur kepada Allah SWT, hingga hakikatnya ia menjadi orang yang bersyukur. Taufiq dan perlindungan yang diberikan terhadap orang yang bersabar itu adalah suatu nikmat yang sangat disyukuri oleh orang yang bersabar. Hingga salah satu dari keduanya tidak bisa dipisah dari yang lainnya. Sebab, pencerahan yang membangkitkan keduanya adalah cahaya istiqomah.

Berdasarkan dari beberapa sudat pandang penjelasan ini, bisa ditarik benang merah bahwa salah satu diatara keduanya tidak boleh dipisahkan. Keduanya saling memiliki keterkaitan yang erat, jika salah satunya cacat maka sulit untuk melakukan yang lainnya. Mungkin inilah pemahaman penulis mengenai sabar dan syukur. Jadi, sebagai umat manusia selayaknya bisa menerapkan keduaya ketika ditimpa musibah agar terhindar dari kekufuran. Semoga kita senantiasasi istiqamah di jalan Allah SWT. Wallahu A’lam. (mmsm)

Abdul Mun'em Choiri Mahasiswa Aktif Tasawuf dan Psikoterapi UINSA Suarabaya.