Tahun 2005, saya menulis skripsi tentang multikultural. Hampir semua referensi merujuk pada model multikulturalisme di negara Amerika. Saat itu yang terbayang adalah kemegahan multikultural oleh negara nomor tiga terbesar penduduknya tersebut. Terdiri dari berbagai bangsa, ras, imigran, namun dapat hidup bersama dengan damai dan harmoni. Konsep melting-pot, satu bejana dengan berbagai bahan dan bumbu yang beragam, menghasilkan rasa yang berselera, begitu filosofi yang diteorisasikan.
Baca Juga: Islam, Kemanusiaan Universal, dan Rasialisme
Konon, budaya amuk yang sering dipakai dalam mengatasi berbagai permasalahan masyarakat kita, adalah salah satu budaya “murni” masyarakat kita. Tradisi amuk ini konon pernah dijumpai dalam testimoni para peneliti asing, setidaknya oleh Wallace dan Thomas Raffles. Itulah mengapa jika ada praktik mengamuk, anarkisme massa, bakar-bakaran, penjarahan, beberapa pengamat mengatakan sebagai bagian dari karakter masyarakat pribumi kita. Analisisnya: masyarakat kita belum siap berdemokrasi.
Tetapi beberapa waktu lalu, amuk, bakar-bakaran, jarah-jarahan menjalar di Amerika Serikat, negara melting-pot yang kiranya sangat multikultural dan demokratis. Parahnya, aksi tersebut disulut oleh permasalahan yang—maaf—cukup sepele: seorang kulit hitam yang tewas setelah ditindih oleh seorang polisi berkulit putih.
Bak bola salju yang menggelinding, fenomena ini menjadi isu besar ‘anti-rasisme”, yang merebak di berbagai penjuru negeri, dalam kondisi pandemi, dimana Amerika menjadi “juara nomor satu” kasus terinfeksi positif Covid-19.
Beberapa sumber dan media mengatakan bahwa fenomena rasis ini bukan sekali ini saja terjadi di Amerika. Rasisme kulit hitam-putih senantiasa menjadi api dalam sekam, ketika tertimpa setetes bahan bakar saja, langsung tersulut dan berkobar.
Di Indonesia, fenomena rasisme tampaknya tidak separah di Amerika. Rasisme yang paling brutal, paling ekstrem tidak sampai terjadi amuk, paling banter hanya aksi demonstrasi, itupun lebih kental aroma politiknya.
Keterpesonaan terhadap multikulturalisme negara besar Amerika seketika runtuh. Men-tesis-kan masyarakat kita dengan warisan budaya amuk kiranya sudah tidak relevan lagi. Saya mau mengatakan bahwa setiap manusia mempunyai watak dan sikap primordialisme. Dia diikat oleh kesamaan sosial yang mengitarinya, baik itu ras, suku, bahasa, golongan, aliran keagamaan, dan sebagainya. Amuk dalam hal ini adalah luapan primordialisme yang universal, bisa terjadi oleh bangsa manapun, dan peradaban apapun.
Sampai sekarang saya masih belum bisa memahami, bagaimana kematian seorang “bersalah” oleh polisi, bisa menjadi bola salju besar rasisme di negara dedengkot demokrasi. Bisa jadi ini adalah api dalam sekam yang senantiasa menunggu angin, atau tetesan bahan bakar. Atau bisa jadi, ada balutan politik yang mengitari fenomena tersebut. Apapun itu, fenomena rasisme masih menjadi isu abadi bagi sejarah manusia.
Pertanyaan selanjutnya, isu rasisme dengan gejala amuk sosial apakah boleh dikatakan sebagai produk dari demokrasi? Atau sebaliknya, ketersendatan demokrasi menjadi pemicu bom waktu anarkisme massa tersebut? Bukankah dengan pembelaan terhadap warna kulit tertentu, sembari mengutuk warna kulit lainya adalah tindakan rasis juga?
Jikalau kita percaya bahwa demokrasi adalah peradaban kemanusian mutakhir, sebagaimana kita yakin dengan sistem demokrasi pancasila sebagai sistem kehidupan bernegara, maka seharusnya kita juga memahami ada efek samping dari pilihan tersebut.
Bagaimanapun, primordialitas adalah keniscayaan manusiawi, yang oleh demokrasi mencoba dikemas oleh persatuan sebagai bangsa. Artinya, ketika kemasan tersebut rusak, maka akan muncul juga karakter primordial tersebut dengan berbagai dampak bawaannya.
Fenomena anti-rasialisme di Amerika telah memberi pelajaran bagi kita semua, kemasan persatuan bangsa, nasionalisme, dan demokrasi jangan sampai robek dan rusak sehingga sikap primordial dan sektarian akan mencuat keluar, yang sangat riskan terhadap anarkisme dan budaya amuk. Nasionalisme sebagai komunitas terbayang telah mampu mempersatukan kita ke dalam satu bangsa dan negara dengan kedudukan dan hak yang sama.
Demokrasi telah mengajarkan kita bagaimana perbedaan itu tidak lebih sebagai sunnatullah yang harus senantiasa dirayakan. Pandangan multikultural seperti ini menjadi manifestasi sejarah panjang peradaban nusantara.
Nenek moyang kita terbukti telah merayakan multikultural tersebut melalui sebuah slogan agung “Bineka Tunggal Ika”, yang kemudian diadaptasi menjadi kredo nasionalisme dalam pita dasar negara. Tanpa bermaksud menyalahkan tragedi rasisme di Amerika, kiranya kita sudah mulai beranjak menjadi sebuah negara peradaban yang senantiasa menjunjung tinggi semangat perbedaan dalam sebuah persatuan. [MZ]