Marzuki Wahid Dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Mudir Ma’had Aly Kebon Jambu Babakan, Ciwaringin, Cirebon

Tadarus Litapdimas (21): Legislasi Syariat Islam Dalam Negara-Pancasila, Bacaan Lain atas Formalisasi Syari’at Islam di Indonesia

5 min read

https://www.wowkeren.com/berita/tampil/00274052.html

Agenda Abadi

Diskursus syariat Islam vis-à-vis negara-Pancasila tampaknya menjadi agenda abadi yang tak akan pernah selesai. Sejak awal negara ini didirikan posisi agama dalam negara-Pancasila terus diperbincangkan. Hingga HTI (Hizbut Tahrir Indonesia)  dibubarkan pada 2017, Islam terus dianggap sebagai ‘momok’ bagi negara-Pancasila.

Sejatinya, Islam sulit dipisahkan dari negara. Karena Islam dan negara, menurut Imam Ghazali, seperti saudara kembar (taw‘amān). Agama adalah fondasi, sedangkan negara adalah penjaganya.

Segala sesuatu yang tanpa fondasi niscaya akan runtuh, dan suatu fondasi tanpa penjaga niscaya akan hilang. Benar adanya sepanjang sejarah Indonesia, Islam dan negara-Pancasila terus berelasi tiada henti, baik dalam keharmonisan maupun ketegangan, tergantung pendulum pada masanya.

Dua Paradigma Syariat Islam

Tak seorang pun mengelak dari pelaksanaan atau penegakan syariat Islam (iqāmat al-syarī‘ah al-islāmiyyah) dari bumi negara-Pancasila. Setiap muslim yang taat pasti mendambakan syariat Islam tegak di bumi Pancasila ini.

Dalam konteks ini, kita bisa membaca pemberlakuan syariat Islam dalam dua paradigma, sebagaimana yang dikemukakan Ibn Khaldun terkait dengan pandangannya terhadap negara Islam.

Pertama, paradigma syariat Islam eksklusif. Paradigma ini memandang bahwa syariat Islam bersumber dari Tuhan, bersifat sakral, sempurna, tidak bisa berubah, dan bisa berlaku untuk kapan dan di mana saja.

Syariat Islam tidak diproyeksikan untuk mengikuti proses evolusi peradaban manusia, justru manusialah yang harus tunduk dan mengikuti semua aturan Tuhan yang diyakini sudah lengkap (kāffah).

Manusia pada dasarnya tidak mempunyai hak untuk mempertanyakan hukum- hukum Tuhan yang suci. Umat Islam dituntut untuk melaksanakan syariat Islam secara apa adanya. Barang siapa yang tidak menerapkan hukum Tuhan, maka ia tergolong kafir, zalim, atau fasik. Hanya pada bagian-bagian detail yang belum dijelaskan oleh al-Qur’an atau Sunnah saja, manusia yang memiliki kapasitas sebagai mujtahid bisa melakukan improvisasi.

Dalam paradigma eksklusif, syariat Islam diposisikan sebagai undang-undang tertinggi di dunia. Undang-undang lain yang dibuat manusia harus menyesuaikan dengan ketentuan syariat Islam. Sebagai jaminan agar undang-undang tidak keluar dari aturan syariat Islam, setiap undang-undang yang dibuat manusia, termasuk yang dibuat oleh Parlemen, harus diawasi oleh lembaga yang disebut “pengawal Syariat Islam”.

Kedaulatan Tuhan berada di atas kedulatan manusia. Dalam menghadapi kemungkinan pertentangan antara ketentuan syariat Islam dengan tuntutan konstitusi, hak asasi manusia, dan hukum internasional, kelompok eksklusif lebih memilih berpegang teguh pada syariat Islam ketimbang harus menyesuaikan dengan tuntutan yang sekuler.

Kalangan eksklusif membatasi pemberlakuan syariat Islam hanya untuk orang Islam saja. Karena dalam pandangan mereka, kebaikan syariat Islam tidak bisa dilepaskan dari keyakinan agama. Orang yang mengingkari pelaksanaan syariat Islam dinilai telah keluar dari Islam atau murtad, dan harus dihukum dengan hukuman mati.

Baca Juga  [Resensi Buku] Memotret Wajah Wahhabi yang Sebenarnya

Demi keberhasilan penerapan syariat Islam, kelompok ini membolehkan, bahkan mewajibkan, untuk membentuk alat kekuasaan negara, yang disebut syariat state. Begitu pentingnya penerapan syariat Islam oleh negara, sehingga ukuran untuk menyebut negara itu negara Islam atau bukan adalah sejauh mana syariat Islam sudah diterapkan dalam wilayah negara tersebut.

Indonesia dalam pandangan ini belum bisa disebut sebagai negara-Islam (syariat state), selagi negara Indonesia belum memberikan jaminan konstitusional terhadap pelaksanaan syariat Islam yang bisa dipaksakan bagi pemeluknya.

Dengan alasan itu, kelompok ini senantiasa memiliki agenda abadi, yaitu mencantumkan kembali tujuh kata yang dicoret dari Piagam Jakarta ke dalam Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 29 UUD 1945. Bahkan capaian tertingginya adalah mengubah negara-Pancasila menjadi negara-Islam (syariat state).

Berbeda dengan itu, paradigma kedua, syariat Islam inklusif. Dalam paradigma inklusif, syariat Islam tidak lebih dari sekadar aturan yang digunakan untuk menjabarkan prinsip-prinsip fundamental ajaran Islam sesuai dengan konteks ruang dan waktu.

Oleh karenanya, syariat Islam tidak dilihat sebagai sesuatu yang divine, sakral dan kaku, melainkan sebagai sesuatu yang amat mungkin berubah dan diubah.

Prinsip dasar paradigma inklusif adalah selagi prinsip fundamental ajaran Islam dapat diakomodasi, maka aturan publik yang sekunder pada dasarnya bisa dirumuskan bersama oleh manusia dengan tetap mempertimbangkan kemaslahatan manusia (mashālihal-‘ibād). Pandangan ini amat mempercayai kebaikan dan kemampuan manusia dalam merumuskan aturan-aturan duniawi.

Kalangan inklusif mengutamakan kedaulatan manusia dalam urusan kehidupan duniawi. Ijtihad dalam pandangan ini betul-betul merupakan intellectual exercises yang liberal, tanpa dibatasi oleh hal-hal yang dipandang qath’iy. Selagi objek itu berkaitan dengan urusan publik, pintu ijtihad tetap dibuka. Ijtihad dalam paradigma inklusif merupakan refleksi pemikiran dinamis manusia yang pada akhirnya mengarah pada konsensus.

Oleh karena itu, dalam paradigma inklusif, implementasi syariat Islam bisa diubah dan disesuaikan dengan kondisi sosial tertentu sesuai dengan tuntutan demokrasi, hak asasi manusia, dan hukum internasional yang sudah menjadi kesepakatan bangsa-bangsa dunia.

Kelompok ini menerima Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai suatu bentuk final dalam pandangan keislaman. Tidak diperlukan lagi negara Islam dalam pengertian simbolik.

Legislasi Syariat Islam

Pada tahun 90an akhir, saya termasuk pengkritik keras atas gerakan formalisasi syariat Islam yang digalakkan oleh Islam politik pendukung syariat Islam eksklusif. Melalui perjuangan formalisasi syariat Islam, baik di tingkat nasional melalui perubahan konstitusi dan undang-undang maupun di tingkat daerah melalui peraturan daerah, gerakan ini dianggap akan berujung pada penggantian negara-Pancasila menjadi negara-Islam.

Baca Juga  Nuzul al-Qur’an: Mukjizat Hadir di Bulan Ramadan (Bag-1)

Saat itu, asumsi ini sangat kuat, karena mereka telah mempersiapkan secara sistematis gerakan kultural sepanjang di bawah tekanan Orde Baru melalui gerakan tarbiyah di kampus-kampus dan sekolah-sekolah. Riset M. Husnul Abid, dkk memaparkan strategi Islamisasi mereka yang sangat rapih di Jambi.

Gerakan Tarbiyah ini kemudian membentuk partai politik saat kran demokrasi dibuka pada tahun 1998. Agenda “pencantuman kembali Piagam Jakarta” juga tidak bisa disembunyikan lagi, muncul di sejumlah sidang umum dan sidang istimewa MPR pada akhir 1990an dan awal tahun 2000-an.

Namun, adalah suatu kenyataan yang tidak bisa diingkari bahwa sekarang syariat Islam tidak saja diakomodasi secara kultural bahkan telah menjadi hukum negara (state law) yang dilegislasikan, baik melalui undang-undang maupun sejumlah peraturan daerah.

Contohnya adalah UU Nomor 7 Tahun 1992 jo. UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan Syariah, UU Nomor 17 Tahun 1999 jo. UU Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU Nomor 38 Tahun 1999 jo. UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh, UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Daerah Istimewa Aceh, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Wakaf, UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, dan lain-lain.

Pertanyaannya adalah apakah kenyataan ini menunjukkan keberhasilan pendukung syariat Islam eksklusif untuk memformalkan syariat Islam dalam tubuh negara dan kegagalan pendukung syariah inklusif? Nanti dulu. Sebab, meskipun banyak syariat Islam telah dilegislasikan, baik dalam bentuk undang-undang maupun peraturan daerah, namun Indonesia masih tetap menjadi negara-Pancasila, tidak berubah menjadi negara-Islam. Bahkan, perjuangan di Parlemen mereka untuk mencantumkan kembali Piagam Jakarta dalam UUD 1945 selalu kandas, ditolak oleh sebagian besar anggota DPR/MPR.

Dalam konteks pemberlakuan syariat Islam di Indonesia, legislasi syariat Islam harus dilihat dari sejumlah motif politik yang beragam, baik dari pendukung syariat Islam eksklusif maupun syariat Islam inklusif. Ada tiga bacaan legislasi syariat Islam yang harus dipastikan pada gerak perkembangan selanjutnya pascalegislasi.

Pertama, legislasi syariat Islam sebagai upaya gradual sistematis untuk menaiki tangga negara-Islam. Mereka menyadari bahwa perjuangan mewujudkan negara- Islam, negara-syariat, atau khilafah Islamiyyah secara konstitusional masih sangat berat. Legislasi syariat Islam adalah cara yang strategis untuk dilakukan sambil menunggu momentum politik yang tepat.

Baca Juga  Kajian Hadis (3): Pandemi dan Cinta Negara Ala Rasulullah

Kedua, legislasi syariat Islam sebagai kebutuhan instrumental pelaksanaan syariat Islam yang mau tidak mau membutuhkan perangkat kekuasaan negara. Contohnya adalah wali hakim dalam perkawinan, pencatatan perkawinan, sidang perceraian, pencatatan tanah wakaf, diplomasi penyelenggaraan ibadah haji, pemotongan pajak atas zakat, pemungutan dan pengelolaan dana publik melalui zakat, dan lain-lain.

Adapun pelaksanaan syariat Islam yang bersifat individual, relasi manusia dengan Tuhan, seperti ibadah shalat, dzikir, qirā’atul qur’ān, tentu tidak membutuhkan perangkat kekuasaan negara. Legislasi dalam bidang ini tidak dibutuhkan.

Penguatan instrumentalisasi syariat Islam ini membutuhkan legislasi (taqnīn). Legislasi ini tidak bersifat politis-ideologis, tetapi kebutuhan legal yang tak terhindarkan.

Dalam bahasa Asep Saepudin Jahar, legislasi ini untuk memperkuat birokratisasi pelaksanaan syariat Islam agar profesional, akuntabel, dan transparan sesuai dengan tuntutan administrasi negara modern.

Ketiga, legislasi syariat Islam sebagai bagian dari pemenuhan hak asasi manusia, khususnya hak beragama dan kebebasan menjalankan agama dan kepercayaan. Pemenuhan ini dijamin dan dilindungi oleh UUD 1945. Negara berkewajiban untuk memfasilitasi dan melindungi pelaksanaan syariat Islam di negara-Pancasila tanpa diskriminasi.

Dalam kerangka pemenuhan hak-hak konstitusional ini, negara hanya memfasilitasi kebutuhan pelaksanaan syariat Islam yang spesifik dan hanya berlaku untuk kalangan umat Islam saja. Negara tidak boleh memaksakan pelaksanaan syariat Islam kepada umat agama lain.

Tantangannya adalah negara seharusnya bersikap dan berlaku adil kepada semua agama di Indonesia untuk memfasilitasi hal yang sama sebagaimana privileges yang diberikan kepada umat Islam.

Keempat, legislasi syariat Islam sebagai upaya dialog, negosiasi, dan akomodasi negara atas tuntutan formalisasi syariat Islam dan keharusan negara-Pancasila yang bersifat mutlak. Negara menawarkan suatu formula legislasi dalam kerangka negara-Pancasila dengan substansi syariat Islam yang menjadi kebutuhan dasar umat Islam.

Formula legislasi ini juga mengakomodasi sebagian tuntutan pendukung syariat Islam eksklusif dan sebagian tuntutan pendukung syariat Islam inklusif. Negara mendialogkan, menegosiasikan, dan mengakomodasi berbagai tuntutan umat Islam tanpa harus menggeser posisi Pancasila dari dasar negara dan UUD 1945 dari Konstitusi Negara Republik Indonesia.

Demikianlah, kita tidak bisa membaca legislasi syariat Islam ini secara monolitik.

Penutup

Tantangan terbesar kita sebagai penduduk mayoritas yang hidup di tengah negara-Pancasila yang pluralistik ini semestinya adalah bagaimana mewujudkan syariat Islam sebagai rahmat (penebar damai) dan rujukan keadilan yang dapat diterima secara tulus oleh seluruh komponen bangsa Indonesia, baik melalui legislasi maupun non-legislasi. Negara-Pancasila kita terima secara utuh sebagai keniscayaan sejarah yang sudah final dalam pandangan keislaman kita. Wallāhu a’lam bi ash- shawāb. [FYI]

Marzuki Wahid Dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Mudir Ma’had Aly Kebon Jambu Babakan, Ciwaringin, Cirebon

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *