Mengikuti ilham atau dhawq tidak berarti mengikuti hawa nafsu atau hasrat diri [Ibnu Taimiyyah, Majmū‘ Fatāwā, Vol. 10, 479]. Dalam suratnya kepada Nasr al-Manbijī, Ibnu Taimiyyah menyebut intuisi ini sebagai al-dhawq al-īmānī (rasa yang dipandu keimanan). Sebagaimana dikatakan dalam penjelasannya mengenai al-Futūh, Ibnu Taimiyyah menegaskan pada dasarnya petunjuk yang diberikan oleh ilham itu meragukan. Kebenarannya harus diuji berdasarkan kriteria kebenaran al-Qur’ān dan sunnah.
Dalam pandangan Ibnu Taimiyyah, ilham tidak menggiring kepada kebenaran. Ilham hanya dapat dipergunakan untuk memberikan landasan kuat bagi seorang Muslim dalam memilih arah tindakan yang mungkin lebih benar dalam suatu keadaan tertentu dan membantunya menyesuaikan keinginannya dan kehidupannya, dengan kemauan Sang Pencipta dan Pemberi perintah kepadanya [Ibid., 162].
Dalam praktik sufistiknya, bagi Ibnu Taimiyyah, para sufi mencoba membangun cinta kepada Sang Pencipta. Bahkan kecintaannya yang mendalam membuat para sufi lenyap dalam objek cintanya, yaitu Allah. Dia akan menghadirkan Allah, bukan menghadirkan dirinya, mengingat Allah dan melupakan dirinya, mempersaksikan Allah dan tidak mempersaksikan dirinya, berada di dalam Allah dan tidak berada untuk dirinya.
Jika seorang sufi telah mencapai maqām ini, ia tidak lagi merasakan keberadaan dirinya. Karena itulah dalam keadaan seperti ini ia bisa saja mengatakan, anā al-haqq (Aku adalah Kebenaran), atau subhānī (Maha Suci Aku) dan mā fī al-jubbah illā Allāh (Dalam jubah ini hanya ada Allah). Ia mengatakan ungkapan seperti itu karena mabuk dalam cinta kepada Allah. Dalam limpahan kebahagiaan dan kesenangan semacam itu ia tak dapat mengendalikan dirinya.
Fenomena ini bisa benar dan bisa pula salah. Apabila—berkat gairah yang melimpah—seorang sufi menjejaki fase mabuk cinta (‘ishq) kepada Allah, ia akan meninggalkan pikirannya. Jika seorang sufi memasuki fase ketidaksadaran, maka seolah-olah ia tengah mengalami fase penyatuan dengan Allah (ittihād). Ibnu Taimiyyah tidak menganggap hal itu sebagai perbuatan dosa. Seorang sufi yang menjejaki fase itu dapat dimaafkan dan tidak seorang pun boleh menghukumnya, karena ia tidak menyadari apa yang dilakukannya.
Kewajiban diangkat dari seorang yang hilang ingatan hingga kesadarannya pulih. Meski demikian, apabila dalam keadaan seperti itu ia melakukan kesalahan, ia termasuk golongan orang yang dimaksud oleh firman Allah: Wahai Tuhan kami, janganlah engkau menghukum kami apabila kami bertindak lupa atau berbuat salah (QS. al-Baqarah [2]: 286). Kau tak patut dicela atau dihukum apabila engkau sebenarnya tak berniat berbuat kesalahan [Baca: Ibnu Taimiyyah, Majmū‘ Fatāwā, Ibid., Vol. 2, 396-397].
Terdapat sebuat cerita tentang dua orang yang saling mencinta hingga pada suatu waktu salah seorang darinya jatuh ke laut. Satu lainnya kemudian menyusul untuk mencebur ke laut. Kemudian yang pertama bertanya: “Apa yang membuatmu menceburkan diri?”. Ia menjawab:
Aku sudah luruh dalam dirimu dan tidak lagi melihat diriku. Aku kira kau adalah aku dan aku adalah kau”… Karena itu, selama seseorang tidak mabuk karena sesuatu yang dilarang, tindakannya itu dapat diterima, tetapi bila ia mabuk karena sesuatu yang dilarang (dengan niat yang buruk) maka ia tidak dapat dimaafkan [Baca Ibnu Taimiyyah, Majmū‘ Fatāwā, Ibid., Vol. 10, 339].
Kutipan-kutipan di atas menunjukkan keluasan dan kedalaman pengetahuan Ibnu Taimiyyah tentang tasawuf. Pengetahuan seperti ini hanya sebagian dari pendidikan seseorang yang menyatakan punya pengetahuan pada masa Ibnu Taimiyyah dan sebelumnya. Tasawuf bukanlah ilmu yang sepenuhnya terasing dari struktur besar ilmu-ilmu keislaman.
Ibnu Taimiyyah Masuk Kelompok Sufi Apa?
Di antara tipologi yang dikembangkan oleh para akademisi dalam menginventarisir mazhab pemikiran sufisme populer, agak sulit menempatkan sufisme yang digagas oleh Ibnu Taimiyyah dalam tipologi tasawuf Sunnī/‘Amalī, bahkan tasawuf Falsafī/Shī‘ī. Oleh Abū al-Wafā al-Ghanīmī al-Taftāzāni, tokoh-tokoh yang dikategorikan sebagai role model sufi Sunnī adalah Abū Hāmid al-Ghazālī. Pengaruh sufisme al-Ghazāli pada akhirnya mempengaruhi generasi selanjutnya, seperti Sayyid Ahmad al-Rifā‘ī, ‘Abd al-Qādir al-Jīlanī, Abū al-Hasan al-Shādhilī, Abū al-‘Abbās al-Mursī, dan Ibn ‘Atā’ Allah al-Sakandarī.
Sedangkan generasi sufi yang mengelaborasi doktrin sufisme dan filsafat adalah Suhrawardī al-Maqtūl dengan Hikmat al-Ishrāq-nya dan Muhy al-Dīn b. ‘Arabī, ‘Umar b. al-Fārid, dan Ibn Sab‘īn yang populer dengan doktrin wahdat al-wujūd. Mereka masuk dalam kategori tasawuf Falsafī [Abū al-Wafā al-Ghanīmī al-Taftāzānī, Madkhal ilā al-Tasawwuf al-Islāmī, 18-19].
Beberapa akademisi seperti Fazlur Rahman, merasa perlu menggagas tipologi baru yang mewadahi “gaya sufisme” Ibnu Taimiyyah di luar tasawuf Sunnī dan Falsafī. Adalah neo-Sufisme yang disematkan Rahman kepada khazanah sufisme Ibnu Taimiyyah dan murid setianya, Ibn Qayyim al-Jawzīyah. Kedua tokoh klasik ini dianggap pionir neo-sufisme; sebuah pemikiran sufisme yang ditandai dengan penekanan pada motif moral dan penerapan metode zikir dan murāqabah pada Tuhan [Fazlur Rahman, Islam, 195].
Tujuan sufi baru ini adalah untuk memperkuat akidah dan membantu dalam pemurnian moral jiwa, sama dengan doktrin salafi. Fenomena kelompok sufi ini berkontribusi pada upaya menghidupkan doktrin salafi dan sikap positif terhadap dunia [Fazlur Rahman, Revival and Reform in Islam, 130]. Sampai batas tertentu mereka menerima kashf (pengalaman menangkap kebenaran Tuhan) dari para sufi atau inspirasi intuitif mereka, tetapi mereka menolak klaim sufi tentang infalibilitas (ma‘sūm). Ibnu Taimiyyah dan Ibn Qayyim juga mengakui bahwa mereka telah mengalami kashf. Legitimasi kashf sama dengan kebersihan moral dan pemurnian hati.
Berbeda dengan Rahman, Muhammad Mustafā Hilmī, ‘Abd al-Fattāh Muhammad Sayyid Ahmad, dan ‘Abd al-Qādir Mahmūd menginventarisir posisi sufisme Ibnu Taimiyyah di luar tipologi tasawuf Sunnī dan Falsafī, yakni “Tasawuf Salafi” [Baca: ‘Abd al-Qādir Mahmūd, al-Falsafah al-Sūfīyah fī al-Islām]. Tipologi ini dianggap selaras dengan model ideologi salafisme Ibnu Taimiyyah [‘Abd al-Fattāh Muhammad Sayyid Ahmad, al-Tasawwuf bayn al-Ghazālī wa Ibn Taymīyah, 311].
Salaf secara etimologis berarti “masa lalu”. Yang termasuk golongan salaf adalah para sahabat, tābi‘īn, dan tābi‘ al-tābi‘īn. Secara istilah, salafiyah berarti sekelompok Muslim yang menjaga akidah dan metode Islam sesuai dengan pemahaman Muslim awal yang mendapatkan ilmu langsung dari Nabi Muhammad. Mereka berpegang teguh pada al-Qur’ān dan Sunnah Nabi [Ibid].
Antara tasawuf Salafi dan Sunnī sangat berbeda. Jika tasawuf Sunnī masih menerima takwil dengan dasar akal yang berpedoman pada aspek sharī‘ah, maka tasawuf Salafi menolak dengan tegas takwil terhadap teks-teks keagamaan [‘Abd al-Qādir Mahmūd, al-Falsafah al-Sūfīyah, 137]. Tasawuf Salafī mempunyai kecenderungan pada antropomorphisme, sedangkan Tasawuf Sunnī menghindari apapun bentuk yang mengarah pada dimensi antropomorphisme dalam mengkaji Tuhan. Tasawuf Salafī mendasari semua doktrin sufismenya pada fondasi al-Qur’ān, Sunnah, dan tradisi generasi al-salaf al-sālih. Tidak ada satupun pandangan para sufi yang punya derajat luhur kecuali semuanya didasarkan pada pengetahuan yang bersumber pada sumber autentik Islam. Doktrin sufisme apapun harus berpegang teguh pada prinsip-prinsip shar‘ī [Ibid., 78-79].
[Kolom ini diterbitkan pertama kali di Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam UIN Sunan Ampel Surabaya]