Mukhammad Zamzami Santri PP Mambaus Sholihin Gresik; Executive Editor Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam UIN Sunan Ampel Surabaya

Para Pendemo, Yuk Belajar Beramar Makruf Nahi Mungkar kepada Imam al-Ghazali

3 min read

Menyuruh kepada sesuatu yang makruf (amar ma‘rūf) dan mencegah dari yang mungkar (nahy munkar) termasuk pokok-pokok agama. Dengan kedua perkara inilah akan terwujud tujuan diutusnya para nabi sebagaimana firman Allah:

وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى ٱلْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma‘rūf dan mencegah dari yang mungkar (Q.S. al-Baqarah [2]: 104).

Secara ringkas—sebagaimana yang diulas oleh Abū Hāmid al-Ghazālī dalam kitab Ihyā’ Ulūm al-Dīn—amar makruf nahi mungkar memiliki empat rukun, yaitu: orang yang menegur, orang yang ditegur, perbuatan yang ditegurkan, dan esensi teguran itu sendiri.

Syarat seorang penegur harus Muslim serta mukalaf (dewasa). Yang termasuk dalam kriteria ini adalah setiap individu, di mana tidak terdapat syarat pelimpahan kekuasaan atau harus izin seseorang.

Syarat kedua ialah, karena ia sedang dalam posisi membela Islam. Para ulama masih berselisih pandangan seputar syarat keadilan atas diri orang yang menegur. Sebagian mereka mensyaratkannya berdasarkan pada firman Allah berikut ini.

 لِمَ تَقُولُونَ مَا لا تَفْعَلُونَ

Kenapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?

اَتَأْمُرُوْنَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ اَنْفُسَكُمْ

Mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri (QS. al-Baqarah [2]: 44)

Menurut al-Ghazali, pihak yang menegur tidak disyaratkan harus adil. Inilah pendapat yang benar didasarkan atas kemufakatan ulama, yakni tidak disyaratkan harus terbebas dari dosa-dosa kecil. Sebab mengenai tidak terbebasnya manusia dari dosa-dosa kecil yang menimpa atas diri para nabi, apalagi bagi selain mereka. Alasannya, jangan-jangan hal ini justru menyebabkan seseorang tidak mau beramar makruf nahi mungkar. Karena, syarat semacam itu sangat sulit untuk dipenuhi.

Baca Juga  Mengamati Tren Hijrah Masyarakat Urban

Syarat rukun lainnya adalah perkara yang ditegurkan harus benar-benar diketahui adalah sebuah kemungkaran yang riil dan nyata, tanpa memerlukan ijtihad terlebih dahulu. Artinya, bukan perkara yang masih diperselisihkan di kalangan para imam terkemuka.

Rukun lainnya adalah orang yang ditegur. Syaratnya adalah sesama Muslim. Sebab, seseorang juga harus melarang anak kecil apabila ia minum khamar. Memang, ada ha-hal yang tidak dianggap sebagai kemungkaran bagi orang gila dan anak kecil, sehingga mereka tidak perlu dilarang melakukakannya.

Adapun etika orang yang menegur, bahwa ia harus seorang yang berilmu, bersikap wara’, berakhlak mulia, bersikap lemah lembut dan tidak keras.

Kaitannya dengan ilmu, karena ia harus mengetahui batasan-batasan dan teguran yang dilakukan.

Kaitannya dengan wara’, karena ia hanya menegur tindakan yang terbatas pada hal-hal yang dianjurkan saja.

Kaitannya dengan akhlak, bersikap lemah lembut dan tidak keras, supaya ia tidak melampaui batas yang telah ditentukan oleh syariat. Sehingga tidak berakibat pada lebih banyak menimbulkan keburukan ketimbang mendapat kebaikan. Sebab—dengan begitu—tegurannya justru melanggar syariat.

Betapapun buruk pelanggaran yang telah dilakukan, teguran yang ditimpakan harus mengandung semangat kasih sayang. Dengan demikian, kalau ada seseorang menolak tegurannya atau bahkan menghadapinya dengan sikap tidak menyenangkan, maka ia tidak harus bersikap melampaui batas syariat, melupakan etika menegur dan melakukan kemungkaran lain dalam teguran itu sendiri.

Beramar Makruf dan Bernahi Mungkar kepada Penguasa

Esensi teguran itu memiliki empat tingkatan. Pertama, memberitahu. Kedua, menasihati. Ketiga, bersikap tegas dalam ucapan. Keempat, mencegah dalam tindakan.

Melakukan amar makruf nahi mungkar terhadap penguasa itu hanya berlaku sebatas pada memberitahukan tentang kesalahan yang dilakukannya dan menasihatinya dengan kebenaran. Sebab, kalau sampai menggunakan sikap tegas dan mencegah dengan tindakan, hal tersebut justru akan menimbulkan persoalan yang lebih buruk daripada kezaliman yang sedang penguasa itu lakukan.

Baca Juga  New Normal Kampus Merdeka

Kendati demikian, jika seseorang memiliki kemampuan dengan bersikap tegas terhadap penguasa dan tidak sampai menimbulkan dampak negatif lainnya, maka hal itu boleh dilakukan. Karena di antara para penguasa itu terkadang ada juga orang-orang yang tidak mau memperdulikan teguran yang bresifat lisan saja.

Beramar Makruf Nahi Mungkar ala Pendemo

Jamak dilihat di beberapa waktu yang lalu banyak aksi demo kepada pemerintah atas nama pembelaan terhadap Islam. Pun demo minggu yang lalu. Ormas-ormas seperti FPI, GNPF, dan PA 212 berbondong-bondong dan bersama menyuarakan aspirasinya karena pemerintah “dianggap” tidak memihak kepada rakyat.

Isu utama yang diusung adalah menangkap inisiator RUU HIP, karena wacana dalam RUU HIP dinilai tindakan makar. Mereka berharap agar DPR mencabut RUU HIP yang dinilai sarat aspirasi komunis. Seruan mereka adalah di antaranya: ‘Selamatkan NKRI dan Pancasila Dari Komunisme’.

Jika diamati secara saksama, isu utama tersebut juga diiringi isu-isu yang lain. Misalnya “khilafah adalah solusi setiap hal”. Padahal isu yang diusung adalah upaya mempertahankan Pancasila. Mereka pun mengklaim pancasilais, walaupun mereka selalu teriak untuk memasukkan penerapan syariat Islam dalam butir Pancasila.

Pendemo pun variatif. Mulai laki-laki dan perempuan baik dewasa, remaja, dan bahkan anak-anak. Atribut dan yel-yel yang diusung pun bervariasi. Bendera bertuliskan Lā ilāh illā Allah berwarna hitam khas bendera HTI pun cukup banyak. Pamflet menolak liberalisme dan isu lain pun cukup semarak. Semua sepakat bahwa apa yang dilakukan mereka adalah bagian dari ibadah dan menjalankan dasar amar makruf nahi mungkar. Lantas, apakah semua hal-ihwal demo yang dipertontonkan pada khalayak tidak tanpa cela?

Menjadi aneh kalau kemudian aksi demo tersebut dilihat dari perspektif Abū Hāmid al-Ghazālī terkait rukun beramar makruf nahi mungkar. Empat rukun yang diijtihadkan oleh al-Ghazali apakah sudah diaplikasikan dengan baik? Orang yang menegur atau yang mendemo masih banyak anak kecil. Mereka belum mukalaf dan tidak dapat mencerna apa yang ditegurkan dan esensi teguran itu sendiri.

Baca Juga  Beragama di Era Digital

Selain itu, apakaha dalam aksi mereka sudah dibekali ilmu yang mapan mengenai materi yang disuarakan, apakah mereka bersikap wara’, berakhlak mulia, bersikap lemah lembut dan tidak keras?

Jikapun mereka dipaksa untuk membuka kembali literatur yang membincangkan bagaimana seharusnya beramar makruf dan bernahi mungkar—sebagaimana yang disampaikan oleh Imam al-Ghazali, mereka pasti akan menolaknya.

Mereka tidak perlu merujuk pada pandangan ulama. Mereka hanya perlu kembali kepada Alquran dan Hadis. Mereka tidak perlu tafsir, karena mereka bisa menafsirkan sendiri sesuai kebutuhan dengan langsung merujuk pada Alquran dan Hadis. Lantas, kalau sudah begitu, apa yang bisa kita pahamkan lagi kepada para pendemo tentang esensi amar makruf nahi mungkar? Semoga Allah memberi hidayah kepada kita semua.

Sumber: Abū Hāmid al-Ghazālī, Mukhtasar Ihyā’ Ulūm al-Dīn (Beirut: Muassasat al-Kutub al-Tsaqafīyah, 1990),  118-119.

Mukhammad Zamzami Santri PP Mambaus Sholihin Gresik; Executive Editor Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam UIN Sunan Ampel Surabaya