Ajaran agama Islam di dalamnya tidak perlu di tambah hal-hal yang baru karena Nabi Muhammad SAW telah menyampaikan semua ajaran Islam dan tidak ada sama sekali yang tertinggal. Namun semakin berkembangnya zaman, sedikit demi sedikit umat Islam mengalami berbagai perkara baru yang sebelumnya di zaman Rasulullah dan para sahabat belum pernah ada. Berbagai perkara baru itu yang kemudian disebut dengan bidah.
Bidah menjadi sebuah hal yang diperbincangkan, khususnya di kalangan umat Islam. Isu tentang bidah sebenarnya persoalan klasik, namun ia seakan tak kunjung selesai dibahas. Pada dasarnya yang melakukan bidah dan yang anti-bidah sama-sama mempunyai fondasi kuat untuk mempertahankan pendapatnya, sehingga tidak jarang muncul perdebatan bahkan saling menyalahkan satu golongon atas lainnya yang terkadang berujung konflik.
Kebanyakan motif perdebatan tersebut untuk merebutkan klaim aliran Ahl al-Sunnah wa al-Jamā‘ah yang paling autentik, walaupun tak jarang hal itu memuat unsur politik di dalamnya.
Perdebatan mengenai bidah juga terjadi pada kalangan kiai di Bangkalan, di antaranya KH. Zubair Muntashor. Kiai Zubair—yang dianggap berpaham Nahdlatul Ulama oleh masyarakat—mengartikan dan menanggapi bidah lebih fleksibel sehingga ia mengedepankan harmoni antara budaya lokal dengan nass syariah.
Menurut Kiai Zubair, bidah adalah sesuatu yang baru dalam agama, yang belum pernah ada atau dicontohkan pada masa Rasulullah dan sahabat, namun bidah tidak semuanya sesat dan terlarang, karena yang harus dijauhi adalah yang dilarang oleh Rasulullah, bukan yang belum pernah dilakukan oleh beliau.
Bagi Kiai Zubair, sesuatu yang baru yang biasa disebut dengan bidah tidak akan terlarang jika tidak bertentangan dengan Alquran dan hadis sebagai pedoman umat Islam seluruh dunia. Kegiatan keagamaan yang tercampur dari budaya lokal yang sebelumnya tidak ada di zaman Rasulullah seperti maulid Nabi, tahlil, acara tujuh bulan kehamilan dan lain sebagainya bisa masuk dalam ketegori bid‘ah hasanah jika untuk beribadah atau mendekatkan diri kepada Allah serta memperbanyak pahala.
Seperti yang dijelaskan Muhammad Syafiq Alidrus dalam bukua NU versus Wahabi: Menghadang Visi Salafi di Pulau Madura, bahwa budaya lokal atau tradisi memang sulit untuk dihapus dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, budaya tersebut dapat dilakukan dengan cara mengubah isi tradisi sesuai ajaran Islam.
Sama seperti yang dilakukan oleh Rasulullah dalam berdakwah di zaman Jahiliyah, melalui pendekatan tradisi dan kemudian lambat laun tradisi orang Jahiliyah tersebut di dalamnya dimasuki ajaran Islam.
Strategi inilah yang dilakukan oleh Walisongo dalam mendakwahkan Islam di Indonesia, dan diteruskan oleh para ulama lainnya, khususnya di Bangkalan Madura. Maka tradisi yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam, hal itu boleh dilakukan dan masuk dalam kategori bid‘ah hasanah.
Sedangkan KH. Shinwan Adra’ie—yang dianggap kiai berpaham Wahabi oleh masyarakat—menafsirkan bidah dalam agama secara tekstual sehingga implementasinya terhadap ibadah terkesan rigid dan terbatas yang ada di Alquran dan yang dijalankan oleh Nabi.
Kiai Shinwan berupaya melakukan purifikasi (pemurnian) pemikiran keislaman dari segenap bidah. Kiai Shinwan menjelaskan dalam bukunya yang berjudul Panduan Islam dalam Logika bahwa bidah diartikan sebagai hal yang baru setelah wafatnya Rasulullah dan wahyu dihentikan. Namun bidah yang dilarang hanya berkaitan dengan masalah agama dan tidak boleh dilakukan karena berkaitan dengan keyakinan dan peribadatan yang sifatnya tawqīfīyah.
Semua hal itu harus disandarkan kepada Alquran dan hadis, tidak menerima ijtihad, tidak menerima istinbat, dan tidak menerima rasionalisisasi yang dilakukan oleh manusia.
Karena Rasulullah sudah mengajarkan tentang syariat tanpa ada yang tertinggal satupun dan Allah telah menyempurnakan agama Islam sebelum Rasulullah wafat, maka wajib hukumnya jika umat Islam hanya boleh bertaklid kepada Rasulullah saja, karena Islam adalah ittibā‘ (mencontoh) bukan ibtidā’ (membuat perkara baru).
Kiai Shinwan menjelaskan lebih lanjut bahwa umat Islam hanya boleh bertaklid secara manhajī (ikut ajakannya) ulama dan para imam dalam menyembah Allah namun tidak boleh bertaklid mazhabī (ikut pemikirannya), karena pemikiran manusia belum tentu benar sesuai dengan syariat Islam yang diwahyukan pada Rasulullah.
Kiai Shinwan berupaya untuk memurnikan agama Islam dengan cara memberi pengetahuan kepada umat Islam khususnya di Bangkalan tentang syariat dan bidah.
Dalam praktiknya Kiai Shinwan tidak pernah melarang kegiatan keagamaan yang tidak ada di zaman Rasulullah, karena ia tetap menghadiri undangan acara maulid Nabi, selamatan, haul dan lain sebagainya. Hanya saja ia berupaya memberi pengetahuan kepada masyarakat tentang bidah dan sebuah tradisi sehingga masyarakat tidak salah niat dalam melakukan kegiatan tradisi keagamaan tersebut.
Kegiatan tradisi keagamaan itu boleh dilakukan hanya sebagai wadah atau sarana dalam melakukan kebaikan yang disunahkan oleh Rasulullah sehingga umat Islam tidak salah niat dalam melakukannya. Namun tradisi itu tidak boleh dijadikan sebagai syariat yang wajib dilakukan karena itu akan masuk dalam kategori bid‘ah dalālah.
Perdebatan antara kedua kiai ini sama halnya dengan perdebatan yang terjadi antara seorang sufi, al-Muhasibi dan seorang muhaddits, Ibn Hanbal. Perbedaan tersebut hanya berkisar pada persoalan metodologi dan persepsi penalaran saja, bukan substansi.
Kiai Zubair mendukung kegiatan keagamaan yang berasal dari tradisi dan Kiai Shinwan juga tidak melarang kegiatan tersebut. Hanya saja Kiai Shinwan mengingatkan kepada masyarakat bahwa kegiatan keagamaan yang berasal dari tradisi hanya sebagai wadah untuk melakukan apa yang disunahkan Rasulullah bukan sebagai syariat yang wajib dilakukan dan merasa melakukan sebuah dosa jika ditinggalkan. [MZ]