Khairun Niam Mahasiswa sekaligus santri Pondok Pesantren Nurul Ihsan Yogyakarta

Menemukan Kesetaraan di Pondok Pesantren Nurul Ihsan

2 min read

“Pondok Pesantren merupakan ladang patriarki.” Kira-kira kalimat itulah yang pernah penulis dengar dari teman yang merupakan seorang yang aktif sebagai pegiat kajian-kajian feminisme.

Hal ini tentu saja berangkat dari beberapa fenomena yang terjadi di beberapa pesantren yang dianggap memarginalkan perempuan, seperti kiai yang berpoligami dan peran perempuan yang selalu dijadikan kedua. Di sisi lain, pelajaran kitab-kitab kuning yang diajarkan di pesantren dianggap sebagai sumber utama berlakunya paham patriarki yang diterapkan di pesantren.

Apa yang teman penulis katakan tidak bisa penulis salahkan sepenuhnya karena apa yang dia katakan adalah ekspresi dari pengalaman yang dialaminya ketika di dalam ataupun di luar pesantren.

Walaupun begitu, perlu untuk diketahui bahwa tidak semua pesantren memiliki pemahaman patriarki tersebut. Salah satu pesantren yang masuk dalam kategori pesantren ramah gender adalah pondok pesantren Nurul Ihsan Yogyakarta.

Sebelum penulis membahas lebih lanjut, penulis ingin menjelaskan bahwa tulisan ini adalah refleksi dari penulis sendiri terkait pesantren Nurul Ihsan Yogyakarta. Penulis sendiri telah nyantri di sini kurang lebih 4 tahun. Tepat pada bulan Juli kemarin penulis kembali ke kampung halaman. Baik mari kembali ke pembahasan terkait pondok pesantren.

Sekilas Tentang Pondok Pesantren Nurul Ihsan

Pondok Pesantren Nurul Ihsan berada di Kecamatan Pakem Kab. Sleman, DIY Yogyakarta. Letaknya yang di tengah-tengah sawah membuat pondok ini terlihat sangat asri di pagi hari. Ditambah lagi, pemandangan gunung merapi pada pagi dan sore hari menambah kesyahduan dan ketenangan para santri yang sedang asyik mengaji.

Pondok pesantren yang telah dirintis oleh KH. Jazilus Sakhok, Ph.D sejak tahun 2020 ini awalnya memiliki lokasi asrama putra dan putri secara terpisah.  Hingga pada tahun 2022 pembangunan asrama putra, putri dan musholla dalam satu kawasan baru dimulai.

Baca Juga  Tindakan Erdogan untuk Hagia Sophia Cukup Memalukan

Saat ini pesantren Nuris (Nurul Ihsan), begitu kami menyebutnya, telah dihuni kurang lebih oleh 100 santri putra dan putri dari kalangan siswa Aliyah sampai Mahasiswa dari berbagai universitas di Yogyakarta.

Kegiatan pondok pesantren ini cukup padat, mulai dari pagi bakda subuh sampai malam hari. Adapun kegiatannya berupa ngaji kitab kuning, ngaji Al-Qur’an, dan Madrasah Diniyah yang diisi oleh para ustad-ustad berkompeten.

Ibarat seorang bayi, maka pesantren Nurul Ihsan masih belajar merangkak, sehingga asrama putri dan putri ini masih terbilang sederhana. Walaupun begitu, selama menjadi santri di sini penulis mengalami banyak tambahan tentang refleksi keislaman, kesetaraan, dan kemanusiaan.

Nilai-Nilai Kesetaraan

Sebelumnya penulis telah mengatakan bahwa banyak yang beranggapan pesantren merupakan ladangnya patriarki, salah satunya teman penulis tadi. Namun, tidak dengan pesantren Nurul Ihsan Yogyakarta.

Di sini penulis melihat bahwa bapak (panggilan kami kepada pengasuh) memperlakukan para santri baik putra dan putri dengan setara, artinya semua diberikan kesempatan yang sama dalam hal apapun, selama hal tersebut tidak melampaui batas. Adapun nilai kesetaranan tersebut.

Pertama, kesetaran intelektual. Dalam hal ini seluruh santri mendapatkan kesempatan yang sama dalam menuntut ilmu. Tidak ada perlakuan yang membeda-bedakan santri dalam hal mencari ilmu.

Seluruh santri berkumpul dalam satu majelis mengkaji kitab secara bersama-sama. Selain mengkaji tentang keislaman, para santri juga selalu dianjurkan untuk menempuh pendidikan setinggi mungkin. Hal ini terlihat dari beberapa santri putra dan putri yang melanjutkan S2 di beberapa universitas.

Kesetaraan intelektual juga terlihat ketika bapak menjelaskan hadis-hadis atau perkataan para ulama yang hari ini dianggap menyudutkan perempuan. Biasanya bapak selalu mengatakan, “Jika ini dikhususkan untuk perempuan, maka berlaku pula untuk laki-laki.” Dari penjelasan tersebut tampak sekali bapak tidak menyudutkan salah satu gender.

Baca Juga  Belajar Dari Cara Penyikapan Ulama Terdahulu Dalam Menghadapi Pandemi (Bag-2 Habis)

Kedua, kesetaraan bersuara,. Biasanya para kiai akan lebih senang jika dihadapkan dengan menghadapi santri yang selalu manut dawuh-dawuh dari mereka. Tapi, di sini para santri diajarkan berorganisasi, berbicara, dan menyampaikan pendapat.

Bapak selalu berkata, “Ojo nggeh-nggeh wae, ngomongo sampekno pandapatmu” (Jangan iya-iya saja, katakan dan sampaikan pendapatmu). Dari sini terlihat bahwa baik santri putra dan putri dilatih dan diberikan kebebasan untuk menyuarakan pendapat mereka.

Ketiga, kesetaraan peran di ruang publik. Dalam hal ini bapak selalu memberikan peran yang setara kepada santri-santrinya. Para santri baik laki-laki dan perempuan diberikan kebebasan untuk mencari kegiatan di luar pesantren seperti mengajar, berorganisasi, bekerja dan lain sebagainya.

Di sisi lain, terkadang jika pesantren mengadakan kegiatan yang cukup besar maka para santri ikut terlibat di dalamnya. Contoh kecil adalah saat Idul Adha. Pada momen ini biasanya dilakukan tradisi penyembelihan hewan qurban.

Setelah proses penyembelihan semua santri ikut berkontribusi dengan peran yang telah berikan. Ada yang memotong, memasak, membuat sate, dan membagikan hewan qurban. Setelah semua selesai maka dilanjutkan dengan makan bersama.

Di sinilah penulis melihat bahwa nilai-nilai kesetaraan itu ada, karena baik santri putri dan putra masing-masing diberikan peran yang sesuai dengan kemampuan dan keahliannya.

Walaupun begitu, bapak selalu menyampaikan untuk selalu berada dan fokus pada peran masing-masing karena apapun peran yang kamu dapatkan maka segitupula kapasitas yang ada pada dirimu. Oleh sebab itu, jangan selalu untuk mengambil peran orang lain jika kamu tidak memiliki kapasitas dalam bidang tersebut.

Jika dikatakan pesantren adalah ladangnya patriarki, maka penulis tidak sepenuhnya setuju, karena pemahaman patriarki tersebut akan muncul ketika guru yang menjelaskan terlalu literal dalam memahami teks-teks keagamaan.

Baca Juga  Bapakku bukan Perekayasa Konflik (2)

Oleh sebab itu, dalam menuntut ilmu perlu kiranya untuk mencari kiai/guru yang dapat menjembatani teks-teks masa lalu dan realita hari ini sehingga dapat memberikan pemahaman yang lebih kontekstual. Wallahua’lam [AR]

Khairun Niam Mahasiswa sekaligus santri Pondok Pesantren Nurul Ihsan Yogyakarta