Lembaga pendidikan pondok pesantren dapat dikategorikan sebagai sebuah lembaga pendidikan yang unik yang mempunyai ciri khas tersendiri jika dilihat dari berbagai sudut pandang, baik dari segi metode pembelajaran, pergaulan, pendidikan.
Relasi yang terjalin antara santri dan kiai membuat pesantren menjadi salah satu lembaga pendidikan yang masih diminati oleh masyarakat Indonesia sampai hari ini.
Sebagai sebuah institusi pendidikan yang mempunyai sistem asrama, pada dasarnya pesantren mempunyai nilai-nilai dan tatanan sosial yang harmonis yang diperlihatkan dalam kehidupan sehari-hari baik antar sesama santri ataupun santri dan kiai.
Hal ini terjadi karena pondok pesantren tumbuh dan berkembang dari sebuah keragaman dan tradisi lokal. Keragaman tersebut terlihat dari para santri yang mempunyai background berbeda. Dari tradisi lokal terlihat pada pengajaran yang masih menggunakan kitab kuning dengan metode pembelajaran bandongan dan sorogan.
Dalam kehidupan di pesantren, semua santri berangkat dari latar belakang yang berbeda-beda, baik dilihat dari konteks finansial, suku, dan lingkungan. Walaupun begitu, semua santri dikumpulkan dan diajarkan berbagai nilai-nilai kehidupan yang sederhana, setara dan tentunya meningkatkan kesadaran solidaritas yang tinggi dalam bergaul sesama santri.
Selain ajaran islam, nilai-nilai kehidupan itulah yang nantinya akan dipraktikan oleh santri ketika telah lulus dan telah menjadi alumni.
Penerapan Pancasila di Pesantren
Sebagai sebuah lembaga pendidikan, pesantren sangat menjunjung tinggi toleransi, tidak memandang suku, warna kulit, dan kelas sosial para santri. Baik itu pesantren modern ataupun tradisional, kesemuanya menanamkan nilai-nilai kebangsaan dalam pembelajarannya yang identik dengan budaya lokal, kitab kuning misalnya.
Oleh sebab itu, terdapat nilai-nilai yang diajarkan di pesantren yang sangat identik dengan pancasila seperti: pada sila pertama, tentu saja pesantren sudah tidak diragukan lagi terkait penanaman nilai-nilai ketauhidannya.
Penanaman nilai-nilai ketauhidan di pesantren tentu saja dengan sumber kitab-kitab klasik yang moderat. Selain menanamkan nilai tersebut, para santri juga dituntun untuk mempraktikkannya.
Pada sila kedua, para santri diajarkan untuk bersikap menghormati sesama makhluk ciptaan tuhan, berlaku adil terhadap sesama, tidak ada yang mendapatkan privilese. Siapa yang melakukan pelanggaran maka akan mendapatkan sanksi sesuai level pelanggarannya.
Pada sila ketiga, para santri diajarkan untuk selalu bekerja sama dalam melakukan berbagai hal. Dengan latar belakang santri yang berbeda-beda tidak menutup kemungkinan terjadinya konflik antara mereka.
Oleh sebab itu, pesantren mengajarkan sikap saling menghormati, menghargai, dan saling membantu. Hal ini bertujuan untuk menciptakan persatuan serta kebersamaan di antara mereka.
Pada sila keempat, dalam memutuskan berbagai hal para santri diajarkan untuk tidak mengambil keputusan sepihak. Maka dari itu, pesantren mengajarkan pentingnya mengambil sikap musyawarah untuk menemukan solusi dari sebuah permasalahan.
Pada sila kelima, para santri mendapatkan hak yang setara, baik dari segi pendidikan, makanan, dan fasilitas pesantren yang sama. Walaupun begitu, penerapan nilai-nilai pancasila yang ada di pesantren tentu saja berlandaskan Al-Qur’an, sunah, ijmak, dan qiyas.
Secara garis besar memang penerapan pancasila pada kehidupan di pesantren tampak sederhana, tetapi kesederhanaan tersebut mempunyai nilai-nilai yang sangat bermanfaat untuk mereka terapkan di masyarakat ketika mereka telah menjadi alumni.
Miniatur NKRI
Rasanya tidak berlebihan jika penulis mengatakan kalau pesantren adalah miniatur NKRI. Hal ini disebabkan karena kehidupan di pesantren tidak jauh berbeda dengan masyarakat di Indonesia.
Sebagaimana yang kita ketahui kalau Indonesia identik dengan keberagaman. Sama halnya dengan pesantren, rakyat yang ada di pesantren (santri) pun beragam. bermacam-macam suku, warna kulit, tradisi dan budaya berkumpul dalam sebuah lembaga yang menyatukan mereka semua.
Selain nilai-nilai pancasila, kehidupan di pesantren juga dipenuhi dengan nilai-nilai multikultual yang secara tidak sadar telah mereka praktikkan, diantaranya: Pertama, kebersamaan. Para santri yang berangkat dari latar belakang yang berbeda, hidup bersama dalam satu lingkungan asrama sehingga menimbulkan kedekatan sosial di antara mereka.
Keakraban yang terjalin ini dapat terlihat dari bagaimana cara mereka makan dalam satu piring atau satu nampan secara bersama-sama. Ragam tradisi yang mereka bawa secara individu tidak menjadi penghalang dalam membentuk sebuah keakbaran, justru karena keragaman tersebut mereka dituntut untuk saling menghargai dan menerima perbedaan.
Kedua, kesetaraan. Jika dilihat dalam konteks pendidikan, pondok pesantren sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kesetaraan. Bagaimana tidak, dalam pesantren tidak ada perbedaan dalam menuntut ilmu, semuanya mendapatkan hak dan kewajiban yang sama tanpa membedakan ras, kulit, etnis, kaya ataupun miskin.
Seluruh santri mendapatkan perlakuan yang sama sehingga tidak ada yang mendapatkan privilage bagi orang tertentu.
Ketiga, gotong royong. Rasa persaudaraan yang telah terbentuk di antara para santri juga turut membentuk pola saling membantu satu sama lain. Dalam tradisi pesantren, terdapat sebuah tradisi “roan”, yaitu kerja bakti yang biasanya dilakukan satu minggu sekali, setiap hari Jumat atau hari Minggu.
Dalam kegiatan ini, para santri dituntut untuk melakukan kerja sama dan gotong royong dengan bersih-bersih di sekitar area pondok pesantren.
Tiga hal di atas merupakan nilai-nilai multikulutral yang ada di dalam pesantren. Melalui tiga hal tersebut, para santri diajarkan untuk selalu menjaga persaudaraan meskipun mereka berangkat dari latar belakang yang berbeda-beda.
Dari tiga hal itulah secara tidak sadar mereka telah mempraktikkan nilai-nilai pancasila yang termanifestasi dalam bentuk kegiatan sehari-hari.
Adanya nilai multikultural dan pancasila yang ada di pesantren menunjukkan bahwa pesantren merupakan miniatur atau gambaran kecil atas kehidupan masyarakat di Indoensia. Oleh sebab itu, sebagai miniatur, maka melihat kehidupan di pesantren sama dengan melihat Indonesia dengan ruang lingkup yang lebih besar. Wallahualam. [AR]