Khairun Niam Mahasiswa sekaligus santri Pondok Pesantren Nurul Ihsan Yogyakarta

Peran Santri Milenial dalam Membangun Perdamaian di Era digital

2 min read

Salah satu lembaga pendidikan yang mempunyai peran besar dalam islamisasi di Nusantara adalah pesantren. Secara historis cikal bakal lahirnya pondok pesantren dipelopori oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim atau lebih dikenal dengan Sunan Ampel ketika mendirikan sebuah padepokan untuk santri-santri yang ingin belajar agama. Sejak saat itu sampai hari ini pondok pesantren dapat bertahan bahkan terus mengalami perkembangan. Sebagai pusat pendidikan agama sebagian orang beranggapan bahwa pondok pesantren dianggap mampu mencetak generasi yang baik dalam bidang kegamaan dan moral.

Berangkat dari pandangan positif tersebut sudah pasti para penghuninya yakni para santri juga dianggap mempunyai wawasan agama yang cukup dan mumpuni. Harapannya adalah ketika sudah terjun dimasyarakat para santri mampu menjadi agen dalam membangun dan membentuk kebaikan di tengah-tengah masyarakat. Di sisi lain, hari ini isu-isu terkait radikalisme, ekstrimisme dan intoleransi masih marak  terjadi. Terlebih lagi, di era digital seseorang dapat menyebarkan pemikirannya dengan mudah sehingga dapat diakses orang lain.

Lantas tugas para santri tidak hanya membangun perdamaian di tengah-tengah masyarakat dunia nyata, tetapi juga harus ikut andil menjadi agen perdamaian di era digital. Berkaitan dengan hal tersebut, hari ini kita sudah sampai bahkan telah memasuki dimana generasi milenial merupakan sebuah agen untuk menentukan masa depan di era digital.

Santri Milenial Aktif di Media Sosial

 Mengutip dari Syifa Dilla Khansa dalam artikelnya mendefinisikan generasi milenial sebagai generasi Y yang lahir pada masa awal perkembang teknologi sampai sekarang. Pada masa pertumbuhannya generasi ini yang selalu berinteraksi dengan teknologi sejak lahir. Oleh sebab itu generasi milenial mempunyai kelebihan yang jauh berbeda dengan generasi sebelumnya. sebagai generasi yang bersentuhan langsung dengan teknologi generasi milenial setidaknya mempunyai tiga karakter khusus. Pertama kreatif dan inovativ. Kedua, fasih dalam menggunakan internet. Ketiga, berorientasi pada passion masing-masing.

Baca Juga  Memanusiakan Korban Covid-19: Sebuah Catatan Keprihatinan [bagian 1]

Berbicara tentang generasi milenial tentu saja santri masuk di dalamnya. Oleh sebab itu para santri generasi milenial mempunyai tanggung jawab yang lebih besar untuk menyampaikan perdamaian serta menebar Islam yang moderat dimanapun dan kapanpun. Berbekal wawasan agama yang mumpuni dan kelihaian dalam bermedia sosial santri milenial seharusnya mempunyai kesempatan yang cukup besar dalam merespon bahkan mengcover informasi-informasi radikal yang tersebar di media sosial.

Ruang digital yang cukup luas akan membuka peluang yang besar bagi santri milenial untuk ikut berperan dalam membangun perdamaian. Penggunaan media sosial misalnya, beberapa kali lewat di beranda penulis para santri yang menjadi konten kreator dengan berdakwah, atau merespon fenomena sosial-keagamaan yang terjadi dengan kacamata kepesantrenan. Salah satu yang sering lewat di beranda penulis adalah akang anom dengan nama tiktok akanganom313.

Hari ini penulis juga melihat beberapa pondok pesantren yang juga aktif dalam mengembangkan minat santri di era digital dengan mengadakan berbagai pelatihan dan kegiatan semacam bedah buku, santri enterpreneur, dialog interaktif, pelatihan design grafis dan menulis di era digital. Berbekal dengan pelatihan tersebut diharapakan para santri mampu untuk merespon tantangan zaman sesuai dengan minat dan bakatnya masing-masing. Kegiatan selanjutnya yang tak kalah penting adalah penguatan literasi di dunia digital. Para santri diharapkan bisa menulis artikel di blog, website dan platfrom online lainnya.

Kemampuan menulis di era digital ini merupakan hal yang penting karena mempunyai peran yang cukup kuat dalam mengcover konten-konten negatif yang tersebar di dunia maya seperti berita hoax yang banyak bermunculan. Selain itu menulis di era digital juga menjadi salah satu media untuk mengkampanyekan Islam yang ramah dan damai. Jika tidak bisa menulis artikel para santri cukup dengan menulis story, atau juga bisa share konten-konten positif lainnya melalui platform sosial media masing-masing.

Baca Juga  Cyberreligion: Ekspresi Keberagamaan di Era Klik

Mengaplikasi Nilai-Nilai Kepesantrenan di Media Sosial

Jika di atas adalah cara bagaimana santri bisa ikut berkontribusi dalam membangun perdamaian di era digital dengan vlog, menulis, mendisgn grafis membuat video dakwah dan sebagainya, maka para santri dapat memasukkan nilai-nilai kepesantrenan sebagai isi dari konten tersebut. Contohnya adalah toleransi.

Seperti yang kita ketahui bahwa di pesantren tidak melihat status sosial, suku, warna kulit dan lain sebaginya. Semua santri di pesantren dianggap setara dan diperlakukan sama. Oleh sebab itu santri diajarkan untuk saling menghormati satu sama lain. Pengalaman-pengalaman seperti ini perlu dimasukkan ke dalam media sosial berbentuk meme, tulisan ataupun video tentang pentingnya toleransi dan menghargai.

Sebagai generasi yang lebih banyak aktif di dunia maya dan berangkat dari pengalaman keagamaan dan spiritual selama di pesantren, maka ketika sudah terjun di masyarakat para santri milenial ini mampu berkontribusi dalam membangun perdamaian dengan cara memanfaatkan dunia digital dimulai dari membuat konten-konten melalui video, tulisan, meme dan sebagainya. Karena bagaimanapun konten-konten negatif seharusnya dilawan dengan konten-konten yang positif. Wallahua’lam

 

Khairun Niam Mahasiswa sekaligus santri Pondok Pesantren Nurul Ihsan Yogyakarta