

Pemeluk agama seringkali terjebak pada pemahaman bahwa pengalaman kekudusan hanya dikenal dalam agama mereka saja. Mereka meyakini bahwa hanya orang-orang suci dalam agama mereka yang mengalami perjumpaan sufistik dengan Tuhan. Mereka kemudian terheran-heran, ketika mengetahui fenomena jenazah orang suci yang masih utuh setelah dikuburkan bertahun-tahun juga dialami oleh pemuka agama lain (yang dianggap ‘kafir’ oleh agama mereka).
Pengalaman kekudusan ditemukan dalam berbagai latar belakang keagamaan yang berbeda. Dua di antaranya adalah konsep Wahdat al-Wujud dari Ibnu Arabi yang berlatar belakang Islam, dan konsep Mysterium Tremendum et Fascinansdari Rudolf Otto yang berangkat dari tradisi Protestan.
Keduanya memiliki irisan mengenai sifat Realitas Tertinggi yang transenden dan melampaui akal, adanya daya tarik yang kuat atau kerinduan untuk bersatu dengan realitas tersebut, serta sifat paradoksal dari perjumpaan tersebut; meski tentu saja terdapat perbedaan signifikan antara keduanya. Penelusuran relasi keduanya penting untuk memperkaya pemahaman kita mengenai pengalaman kekudusan dari berbagai ragam tradisi keagamaan.
Wahdat al-Wujud: Kesatuan Wujud dalam Mistisisme Ibnu Arabi
Ibnu Arabi dikenal sebagai seorang mistikus dan filsuf Muslim terkemuka yang memberikan dimensi esoteris dan mistis pemikiran Islam ekspresi filosofis yang utuh dan sistematis untuk pertama kalinya. Ibnu Arabi lahir pada 28 Juli 1165, di Murcia, Valencia, san wafat pada 16 November 1240 di Damaskus.
Dalam tradisi sufi, ia dikenal dengan konsep: Wahdat al-Wujud dan al-Insan al-Kamil. Karya utamanya adalah Al-Futūḥāt al-Makkiyyah dan Fuṣūṣ al-Hikam (diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Ralph W. J. Austin berjudul The Bezels of Wisdom).
Wahdat al-Wujud Ibnu Arabi adalah konsep menyeluruh mengenai Keesaan Wujud (al-Haqq) yang merupakan realitas tunggal. Dzat (Essence) Ilahi sebagai realitas tunggal, bagi Ibnu Arabi, adalah sesuatu yang unik secara mutlak, melampaui semua polaritas (keterpisahan antara dua kutub, seperti Pencipta dan ciptaan), dan tidak membutuhkan yang lain.
Ia memahami hadits “Man arofa nafsahu arofa robbahu” (barangsiapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya) dalam arti seseorang yang mengenal diri pada level hakikat atau ruhnya yang tertinggi, yang masih berhubungan dengan aspek Ketuhanan (in divinis), maka ia mengenal Tuhannya yang khusus (Rabb al-khass) sebagai perantara bagi pembebasan dirinya sendiri ke dalam keberadaan.
Dalam kosmologi Ibnu Arabi, Rabb al-khass berarti manifestasi Tuhan tertentu yang menjadi “pengatur” dan sumber penciptaan bagi setiap individu (Ibn al-ʿArabī, 1980).
Wahdat al-Wujud sebagai tujuan akhir dari jalan spiritual, didorong oleh realitas tersembunyi (hidden treasure) yang rindu untuk dikenal, yaitu penciptaan kosmos yang dibentuk oleh Cinta Ilahi (Mahabbah). Dalam konsep Wahdat al-Wujud, ada juga aspek lain yang juga bisa dilihat, yaitu “ketegangan” antara keinginan Tuhan untuk menyatakan Diri dalam bentuk ciptaan yang beragam (tajalli), dan komitmen untuk tetap menjadi Diri-Nya yang Esa dan tak tersentuh (Ibn al-ʿArabī, 1980).
Hal ini bisa dilihat dalam hadis qudsi, Kuntu kanzan makhfiyyan fa ahbabtu an u’rafa, fa khalaqtul khalqa li ya’rifuni (“Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi. Kemudian Aku berkeinginan agar Aku dikenal. Maka Aku pun menciptakan makhluk agar mereka mengenal Aku”).
Mysterium Tremendum et Fascinans: Anatomi Pengalaman Numinous
Rudolf Otto adalah seorang teolog Protestan, filsuf, dan sejarawan agama asal Jerman. Ia lahir pada 25 September 1869 di Peine, Prusia dan meninggal pada 6 Maret 1937 di Marburg, Jerman. Ia dikenal karena memberikan pengaruh global melalui penyelidikannya tentang pengalaman manusia akan yang sakral (the holy), berdasar penelitiannya mengenai kehidupan dan pemikiran Martin Luther.
Karyanya yang paling penting adalah Das Heilige (ditulis pada 1917) lalu diterjemahkan menjadi The Idea of the Holy pada 1923 oleh John W. Harvey. Dalam buku itulah Ia memperkenalkan konsep mysterium tremendum et fascinans untuk menggambarkan pengalaman menghadapi Realitas Ilahi atau numinous.
Mysterium mengacu pada sifat Realitas Tertinggi yang melampaui konsepsi atau pemahaman (beyond conception or understanding) (Otto, 1958). Tremendum adalah bagian dari respons dualistik yang ditandai dengan penolakan (repulsion), kengerian, dan perasaan tidak nyaman. Sementara Fascinans adalah bagian dari respons dualistik yang ditandai dengan daya tarik yang kuat (overwhelming attraction) (Murphy, 2018).
Otto menegaskan bahwa inti dari yang suci adalah sesuatu yang melampaui kemampuan akal rasional (non-rational) untuk memahaminya. Mysterium didefinisikan sebagai sesuatu yang tersembunyi dan esoteris, yang melampaui konsepsi atau pemahaman, luar biasa, dan asing. Dalam pengertian religius, yang misterius adalah “sepenuhnya lain” (wholly other). Ini berarti Realitas Ilahi berada di luar lingkup hal-hal yang biasa, dapat dipahami, dan akrab (Otto, 1958).
Meskipun Realitas Ilahi adalah misteri yang melampaui akal, aspek kedua, fascinans, menunjukkan bahwa Realitas tersebut secara unik menarik dan menawan. Realitas ini adalah “objek pencarian dan keinginan dan kerinduan, dan itu… demi dirinya sendiri” (Murphy, 2018). Realitas ini “memesona” (entrances) dan “memabukkan” (intoxication), serta membawa pada kebahagiaan yang tak tertandingi (beatitude beyond compare). Aspek rasional dari fascinans ini mencakup ide-ide tentang kasih, rahmat, belas kasih, dan penghiburan yang dipahami secara mutlak (Otto, 1958).
Inti dari konsep ini terletak pada sisi paradoksnya. Seseorang ditarik menuju yang suci (fascinans), tetapi pada saat yang sama, dia merasakan kebutuhan untuk menjauh (tremendum). Tremendum (kengerian) tidak hanya berarti rasa takut biasa, tetapi rasa ngeri yang tidak wajar (Murphy, 2018). Dualitas ini menunjukkan sifat yang suci sebagai Realitas yang menindas dan menggentarkan (quelling) namun pada saat yang sama memukau dan menggetarkan jiwa (entrancing the soul) (Otto, 1958).
Perbedaan Signifikan: Ontologi vs. Fenomenologi
Kedua konsep tersebut memiliki perbedaan yang signifikan. Konsep Wahdat al-Wujud–nya Ibnu Arabi dibangun dalam sisi ontologis yang fundamental, sementara konsepnya Otto jelas bersifat fenomenologis. Wahdat al-Wujud secara mendasar menegaskan bahwa segala sesuatu pada hakikatnya tidak dapat menjadi lain selain Dia, sementara dalam pengalaman tremendum-nya Otto, Realitas dilihat sebagai “sepenuhnya lain” (wholly other).
Ibnu Arabi melihat Essensi (al-Haqq) adalah unik dan tak terpahami, tetapi Dia secara simultan mewujudkan diri-Nya dalam bentuk kosmos. Sedangkan Otto menggambarkan Yang Suci sebagai tidak dapat diukur (incommensurable) dengan jenis atau karakter kita sendiri.
Meski terdapat perbedaan signifikan antara kedua konsep tersebut, dari penelusuran ini kita bisa melihat beragamnya pengalaman kekudusan dari latar belakang agama yang berbeda. Pemahaman pada sisi ini, bisa semakin memperdalam toleransi kita dalam menghormati pengalaman keagamaan seseorang, bahkan untuk orang di luar tradisi keagamaan kita.
Dengan demikian, pluralisme agama tidak lagi dibicarakan pada tataran permukaan, tetapi lebih mendalam hingga pada titik perjumpaan kekudusan antara pemeluk agama dengan Tuhan. [AA]
Mahasiswa Pascasarjana program Agama dan Lintas Budaya (CRCS), UGM