Apabila kita mendengar kata “Bali” tentu yang terlintas dalam benak kita sebuah tempat yang kaya akan tempat wisatanya, cantik pemandangannya, dan tentu ramai turis-turis mancanegaranya. Bali juga memiliki kebudayaan yang sangat kental. Tak sedikit pula kebudayaan yang sudah menembus kancah dunia seperti, Tari Kecak, Tari Pendet dan seni lainnya. Tak heran, provinsi yang dijuluki ‘Pulau Seribu Pura’ ini meraih predikat sebagai salah satu situs warisan dunia dari UNESCO.
Penduduk di Bali mayoritas menganut Agama Hindu, akan tetapi hal tersebut tidak menjadi halangan terkait keberadaan penganut agama lain, seperti Agama Islam contohnya. Muslim menjadi minoritas dengan presentase sekitar 13% dari jumlah keseluruhan penduduk di Bali. Meski dengan jumlahnya yang sedikit, Islam yang tumbuh dan berkembang di sini juga memiliki khazanah keilmuan.
Menariknya, khazanah keilmuan Islam yang dimiliki oleh kaum minoritas ini sering kali tidak terjamah dan bahkan hampir terlupakan. Salah satu karya monumental tersebut adalah Al-Qur’an Terjemah Bahasa Bali. Dari beberapa informasi yang penulis himpun melalui wawancara sekilas dengan tokoh Agama, antara lain K.H Fathurrahim (Pengasuh Pontren Nurul Ikhlas Banyubiru Negara Bali) dan K.H Mustafa Al-Amin (Rois Syuriah PC NU Kota Denpasar). Beliau mengatakan sama sekali belum mengetahui keberadaan Alquran terjemah ini.
Pada tahun 2017, Menteri Agama RI (saat itu masih dijabat oleh Lukman Hakim Saifuddin) meluncurkan Al-Qur’an terjemah Bahasa Bali. Program ini merupakan satu dari sekian kegiatan dari Puslitbang Lektur bekerja sama dengan STAI Denpasar. Menurut K.H Mustafa Al-Amin (yang juga salah satu tim penerjemah), “Kegiatan penerjemahan Al-Qur’an yang dilakukan oleh Kemenag bekerja sama dengan STAI Denpasar merupakan Al-Qur’an Terjemah Bahasa Bali yang pertama dilakukan”.
Jauh sebelum itu, terdapat Qur’an terjemah Bahasa Bali yang berjudul Kutipan-kutipan Saking Al-Qur’an Sui Ring Bahasa Bali (1988). Kitab (dalam format pdf) ini didapat dari salah satu mentor ketika mengikuti program kursus di Kampung Inggris, Pare, Kediri pada awal tahun 2018. Sayang sekali tidak tertulis siapa nama pengarang dari kitab ini (anonim).
Pada cover kitab tersebut tertulis, Printed by Raqeem Press Islamabad Sheephatch Lane Tilford Surrey U K. Al-Qur’an ini disusun dengan format tematik (maudhu’i). Pembahasan dalam kitab ini berkisar seputar tema-tema utama yang ada dalam Al-Qur’an antara lain: Allah-Ida Sang Hyang Widi Wasa, Malaikat-malaikat, Al-Qur’an Suci, Nabi-nabi (Awatara) dan seterusnya. Jumlah keseluruhan terdapat 20 bab yang dibahas dalam Alquran ini. Uniknya, kitab ini sangat mudah diakses di https://www.alislam.org/ selaku website resmi milik Jamaah Ahmadiyah
Untuk mengetahui pengarang kitab ini, penulis membutuhkan waktu yang tidak singkat. Informasi mengenai karya ini sangatlah minim. Asumsi pertama yang penulis temukan adalah Alquran terjemah ini merupakan karya dari seorang tokoh Jama’ah Ahmadiyah Indonesia Bali. Hal itu ditunjukkan dari Keruna Pengawit (Kata Pengantar) dalam kitab ini yang tertulis “Pemilihan contoh-contoh ayat-ayat suci sane katurang ring penerbit puniki, kekaryanin olih Hazrat Mirza Tahir Ahmad pemimpin Jemaat Ahmadiyah se-Dunia”. Terdapat kata kunci “Hazrat Mirza Tahir Ahmad pemimpin Jemaat Ahmadiyah se-dunia”. Harzat Mirza Tahir Ahmad merupakan Khalifah ke-4 dari Jamaah Ahmadiyah Internasional (1982-2003) dan Qur’an ini ditulis dalam rangka memperingati satu abad Jamaah Ahmadiyah.
Asumsi kedua, dari artikel “Sectarian Translation of The Qur’an in Indonesia The Case of The Ahmadiyah” karya Ahmad Najib Burhani, tertulis The Translators of the Balinese and Batakese editions are not indicated in the book (hal.270). Walaupun tidak diketahui penerjemahnya, Najib Burhani menempatkan kitab ini sebagai produk dari Jamaah Ahmadiyah Indonesia yang menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa lokal (Bali) di Indonesia.
Pada Hari Rabu 13 November 2019, HMJ Studi Agama-agama (SAA) UIN Walisongo Semarang mengadakan forum diskusi mingguan rutin dengan tema “Pengenalan Ahmadiyah Secara Umum”. Pembicara pada kegiatan tersebut Mln. Syaefullah Ahmad Farouq (Mubaligh Cabang Semarang). Selain itu, Mln. Dudi Abdul Hamid, Mubaligh Cabang Salatiga juga turut serta dalam acara tersebut.
Penulis mencoba mewawancarai Bapak Dudi dan Bapak Syaefullah guna mencari informasi terkait siapa penulis Al-Qur’an terjemah Bahasa Bali tersebut. Dari informasi yang didapat, Bapak Dudi Abdul Hamid menyampaikan bahwa Qur’an ini ditulis oleh H. Ahmad Iwan Darmawan (I Wayan Rupa Mengwi). Ia menyampaikan H. Ahmad Iwan Darmawan saat ini berada di Tasikmalaya Jawa Barat. Berita tersebut juga dibenarkan oleh Hj.Fifi Shafiyah yang merupakan anak keempat dari H. Ahmad Iwan Darmawan
H. Ahmad Iwan Darmawan merupakan anggota Jamaah Ahmadiyah Indonesia yang memutuskan untuk memeluk Islam pada 16 Desember 1961. Beliau lahir pada 26 Desember 1937 di Mengwitani Bali. Terlahir dari keluarga asli Bali yang juga keturunan Puri Agung Denpasar. Ia terlahir dari pasangan I Made Rengkung dan I Made Pasek dan merupakan putra sulung dari dua bersaudara.
Saat ini H. Ahmad Iwan Darmawan dalam kondisi sakit stroke sehingga mengalami kesulitan untuk menjalankan aktivitas sehari-hari. Di Tasikmalaya, ia hanya ditemani oleh istri keduanya, Ibu Dedeh Rodiyah. Penulis sangat terkesan ketika sowan kepada beliau.
Di usianya yang sudah mencapai delapan dasawarsa dan dalam kondisi sakit, beliau masih sangat bersemangat untuk diajak diskusi seputar Islam dan Alquran. Ingatannya mengenai proses membuat Alquran menggambarkan jelas bagaimana prosesnya yang sangat rumit. Di suatu ketika, (ia bercerita) “untuk mengisi kepenatan, biasanya mencari inspirasi dengan mengitari kota hingga masuk ke pasar-pasar. Dan tak sedikit pula inspirasi muncul setelah melakukan ritual itu”.
Hal yang menarik yang bisa dilihat dari kitab terjemah ini ialah ketika H.A. Iwan Darmawan menerjemahkan dengan memilih kata-kata yang bernuansa lokal. Seperti memilih term “Ida Sang Hyang Widhi” ketika menerjemahkan lafal “Allah”. Ia mengatakan pemilihan kata ini untuk membumikan Islam agar dapat diterima oleh masyarakat pada saat itu. Terlepas dari pro-kontra mengenai karya ini,tentu masih banyak hal menarik yang perlu digali lebih dalam. Mengingat (menurut H. Ahmad Iwan Darmawan) belum ada akademisi yang menjamah kitab ini. “Jangankan meneliti, bisa jadi kitab ini tidak dianggap oleh masyarakat. Saya sangat bangga jika ada yang tertarik dan ingin mengungkap lebih jauh tentang terjemah Alquran ini” Ucap beliau sembari disambut tawa bersama. [MZ]